Liputan6.com, Yogyakarta Orangtua kerap bingung ketika sang anak menjadi korban bullying. Hal itu tidak bisa dilepaskan dari salah satu anggapan, bullying adalah hal biasa.
Namun, orangtua seharusnya tidak tinggal diam. Apabila menganggap bullying adalah hal biasa, maka perlu dipertanyakan kondisi emosional dan kejiwaan orang tersebut.
"Orangtua fokus untuk stabil dengan dirinya sendiri," ujar Sekartaji Ayuwangi Purbapuri, konselor sekaligus pendiri Rumah Kasih Sekartaji Yogyakarta, kepada Liputan6.com pekan lalu.
Advertisement
Baca Juga
Menurut Arta, panggilan Sekartaji, lingkaran pertama anak adalah keluarga, yang berpotensi membuat lubang jiwa atau patah hati anak. Orangtua harus fokus menyembuhkan lubang jiwanya, tidak menyakiti anak dan ketika mereka merasa memiliki lubang jiwa maka perlu disembuhkan.
Selain itu, ketika anak jadi korban bullying, orangtua harus merunut luka batin si pelaku dari mana. Pelaku bisa teman sang anak, guru, atau anggota keluarga.
Kedua, orangtua perlu membentuk supporting system, baik ketika anak menjadi pelaku atau korban bullying. Langkah itu bisa dilakukan lewat terapi sederhana dengan mencari minat dan bakat anak.
"Seni bisa menjadi metode untuk penyembuhan luka batin, salah satunya metode katarsis, anak diberi ruang untuk bercerita lewat musik, lukisan, menulis, untuk merilis luka batinnya," ucapnya.
Katarsis adalah salah satu teknik untuk menyalurkan emosi yang terpendam atau pelepasan kecemasan dan ketengangan yang ada di dalam diri seseorang, misal dengan curhat, menulis, melukis, dan sebagainya.
Menurut Arta, musik juga dapat digunakan sebagai terapi psikologis bagi korban bullying. Sebab, musik merangsang kognitif, afektif dan psikomotorik pada anak.
Saksikan video pilihan berikut ini: