Liputan6.com, Cilacap - Dasarian kedua 2018, Samudera Hindia, termasuk pantai selatan Cilacap, Jawa Tengah masuk peralihan musim dari angin timuran ke angin baratan. Arus laut yang kuat menyebabkan material dasar laut, termasuk sampah laut, naik ke permukaan.
Curah hujan tinggi pada masa puncak musim penghujan Desember 2018 ini juga menyebabkan perairan selatan keruh. Yang lebih fatal, air keruh itu dibarengi hanyutnya berton-ton sampah dari muara-muara sungai.
Hasil tangkapan ribuan nelayan pun menurun drastis. Padahal, saat ini adalah musimnya bawal putih, ubur-ubur, layur, dan udang.
Advertisement
Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kabupaten Cilacap, Sarjono mengungkapkan, sampah yang hanyut dari hulu sungai ke laut itu menyebabkan nelayan semakin sulit memasang jaring.
Baca Juga
Jaring nelayan dipenuhi sampah yang semakin menumpuk. Sampah yang keluar dari muara sungai itu hanyut ke tengah laut setelah lama menumpuk di hulu sepanjang musim kemarau.
“Jaring-jaring nggak dapat ikan, tetapi dapatnya sampah. Karena dari muara-muara itu semua keluar airnya. Air hujannya turun ke laut, membawa material sampah, jaringnya akhirnya kena sampah,” dia menerangkan, Kamis, 13 Desember 2018.
Akibatnya, wilayah tangkapan nelayan pun semakin sempit. Terutama untuk nelayan dengan perahu di bawah 10 gross ton. Mereka terpaksa lebih jauh meaut dengan risiko terjebak cuaca buruk.
Sampah plastik juga berdampak panjang. Sebab, plastik adalah jenis sampah laut yang tak bisa terurai.
Pencemaran Laut, Siapa Bertanggung Jawab?
Sampah yang menumpuk di dasar laut akan mengganggu biota laut. Karang, misalnya, tak akan tumbuh jika tertutup sampah plastik.
Efeknya pun kini semakin dirasakan oleh nelayan. Hasil tangkapan terus menurun dari tahun-ke tahun.
“Bukan hanya biota laut saja, semuanya turut merasakan. Harusnya kita sadar, sampah plastik itu, sangat berbahaya untuk biota laut. Harus kita jaga,” dia menegaskan.
Celakanya, selain berhadapan dengan masalah sampah laut, nelayan Cilacap juga menghadapi pencemaran dalam skala besar akibat aktifitas industri besar di Cilacap. Seringkali bahan bakar tercecer dan membuat ikan menjauh dari perairan Cilacap yang tercemar.
Dia mencontohkan, seringkali terjadi ceceran batu bara dan minyak di perairan pantai. Sesaat itu, ikan seolah raib.
“Sering itu kebocoran minyak di teluk penyu,” dia mengungkapkan.
Aktifitas industri besar juga membuat nelayan tersingkir dari wilayah tangkapan. Kapal-kapal buang jangkar di area yang sebelumnya adalah wilayah tangkapan tradisional.
Imbasnya, nelayan perahu kecil mesti menyingkir. Mereka menyabung nyawa lebih ke tengah laut meski perahunya tak layak.
“Hari ini saja ada kapal-kapal tanker, ada 10-an yang buang jangkar di wilayah tangkapan nelayan. Kalau nelayan menangkap di situ, risikonya jaringnya rusak kena jangkar atau baling-baling kapal,” dia menerangkan.
Karena itu, ia pun mengajak masyarakat, entah yang tinggal di pesisir maupun daratan untuk mulai belajar melestarikan alam. Cara paling mudah dan sederhana adalah dengan tidak membuang sampah sembarangan.
“Jangan lagi membuang sampah di sungai. Karena itu akan berefek jangka panjang,” dia menambahkan.
Advertisement