Mengurai Benang Kusut Ratusan Bencana di Aceh Selama 2018

Ratusan ribu orang di Aceh terdampak bencana sepanjang 2018, sekitar 10 ribu di antaranya mengungsi.

oleh Rino Abonita diperbarui 03 Jan 2019, 10:02 WIB
Diterbitkan 03 Jan 2019, 10:02 WIB
Banjir Aceh
Foto: Rino Abonita/ Liputan6.com

Liputan6.com, Aceh - Sepanjang tahun 2018 tercatat 294 terjadi bencana di Aceh. "Total kerugian akibat bencana tersebut mencapai 848,2 miliar," kata Kepala BPBA, Ahmad Dadek.

Jumlah tersebut meningkat secara signifikan, dari tahun 2017 yang hanya 185 kejadian. Catatan BPBA, kebakaran pemukiman menjadi bencana yang paling terjadi di tahun 2018, yakni sebanyak 143 kali kejadian. 

Disusul puting beliung 93 kali, banjir 90 kali, kebakaran hutan dan lahan sebanyak 44 kali. Wilayah paling banyak mengalami bencana, yakni, Kabupaten Aceh Besar, disusul Aceh Tengah, Aceh Barat, Aceh Jaya, Bireuen, dan Aceh Tenggara.

"Kebakaran pemukiman paling banyak terjadi di Aceh Besar sebanyak 18 kali, Aceh Tenggara 7 kali dan aceh barat 6 kali. Kebakaran Hutan dan lahan juga masih banyak terjadi di Aceh Besar, Aceh Tengah dan Aceh Barat," sebut Dadek kepada Liputan6.com, Rabu malam (2//1/2018).

Sedangkan banjir genangan paling banyak terjadi Aceh Selatan, Aceh Tenggara, Aceh Tamiang, Bireuen, Aceh Jaya dan Aceh Barat. Adapun banjir bandang, seringkali menerjang Aceh Tenggara, sebanyak 4 kali, yang terakhir terjadi pada 31 Desember 2018.

"Aceh juga banyak potensi terjadi longsor, seperti yang terjadi di Aceh Tengah sebanyak 9 kali, dan Aceh Barat 4 kali. Sedangkan puting beliung paling banyak di Kota Sabang dan Aceh Besar, dan terakhir abrasi paling banyak terjadi di Aceh Barat Daya," lanjutnya.

Setidaknya, 30.763 Kepala Keluarga (KK) atau 110.624 jiwa terdampak sepanjang 2018, dengan jumlah yang mengungsi sebanyak 10.754 KK atau 36.696 jiwa. Korban meninggal dunia akibat bencana sebanyak 46 orang, dan Luka-luka sebanyak 33 orang.

Kerugian akibat bencana paling banyak dialami Kabupaten Aceh Utara sebesar 239,5 miliar, disusul Aceh Tenggara 81,9 miliar. Selanjutnya, Aceh Barat 81,8 miliar, Aceh Besar 68 miliar, dan Bener Meriah sebesar 63,5 miliar.

 

Salah Siapa?

Kebakaran Aceh
Foto: Rino Abonita/ Liputan6.com

Kebakaran masih menjadi bencana yang paling banyak terjadi, terutama kebakaran pemukiman. Kata Dadek, kebakaran dapat diminimalkan dengan meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat.

"Misalnya, dengan memeriksa instalasi listrik yang sudah tua, yang menjadi sebab utama kebakaran. Sedangkan penyebab lainnya, perlu kewaspadaan dalam mengelola sumber panas di rumah tangga seperti mematikan kompor dan barang-barang eletronik yang harus diawasi dengan baik," saran Dadek.

Banjir di Aceh tahun lalu, mencapai rekor tertingginya, termasuk banjir bandang yang menimbulkan paling banyak kerugian baik kepada masyarakat maupun infrastruktur. Meluapnya air sungai dan pembalakan liar menjadi sebab utama dari bencana yang terakhir disebut.

Sebagai catatan, Plt. Gubernur Aceh, Nova Iriansyah telah menginisiasi agar pusat dan kantong banjir diidentifikasi untuk dilakukan studi kelayakan secara bertahap. Nova mengambil contoh negara Belanda yang perlu seratus tahun untuk mewujudkan perencanaan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana.

"Aceh juga harus memulai walaupun butuh waktu lama tapi kita berusaha naik diatas rel penyelesaian sehingga semua pihak terfokus ke sana," ujar Nova, pada satu kesempatan.

Dadek mengakui, penanganan banjir di Aceh menemui banyak kendala. Ini faktor luasnya wilayah yang harus dikendalikan, biaya yang besar, serta, faktor sebagian besar sungai besar di Aceh yang berada di bawah kewenangan pusat.

Kondisi ini diperparah oleh tata kelola lingkungan di Aceh yang buruk, serta masih banyaknya pembalakan liar serta pembakaran hutan dan lahan di negeri syariah itu. Maka perlu penanganan jangka pendek, seperti mempersiapkan desa tangguh dengan memanfaatkan dana desa untuk kesiapsiagaan dan penanganan darurat.

"BPBA merencanakan memperbanyak membangun shelter vertikal untuk korban banjir. Sedangkan penanganan masa darurat masih seputar pemenuhan kebutuhan masyarakat, sandang, pangan, kebutuhan air bersih dan huntara," kata Dadek.

Menurutnya, dalam hal kebakaran lahan dan hutan, cara yang paling baik adalah pencegahan dan penegakan hukum. Beberapa kasus hukum yang sudah inkrah paling jitu memberikan efek jera kepada masyarakat.

"Sebenarnya banyak hal dapat dilakukan untuk pencegahan kebakaran lahan seperti polhut lebih intensif lagi dalam melakukan patroli menjelang musim kemarau, memperkuat koordinasi dengan kepolisian dan TNI," pungkasnya.

Pernyataan serupa datang dari Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh, Muhammad Nur. Dia mendukung pernyataan Kepala BPBA, Ahmad Dadek bahwa banjir di Aceh, salah satu penyebabnya akibat pembalakan liar.

Dia mencontohkan banjir bandang yang terjadi di Kabupaten Aceh Tenggara yang terjadi akibat laju deforestasi hutan. Itu diakibatkan illegal logging, alih fungsi hutan menjadi perkebunan coklat, penamanan jagung di atas perbukitan dan sebagainya.

"Bencana yang terjadi, itu bagian dari akumulasi prilaku kita juga sebagai pengelola sumber daya alam yang masih buruk. Artinya, bencana itu sesungguhnya kita undang. Bukan secara alami. Untuk Aceh Tenggara, sebagai daratan tinggi, punya kontur tanah yang basah atau lembab karena setiap hari ada saja hujan kecil," ungkap M Nur kepada Liputan6.com, belum lama ini.

Musim penghujan, yang membawa air dalam jumlah banyak, sebutnya, mengakibatkan gunung atau perbukitan melebur dan turun lalu menjadi fenomena yang kita pahami selama ini sebagai bencana banjir bandang. Baginya, kesiapsagaan bencanaan harus diawali dengan perspektif lingkungan yang baik terlebih dahulu.

 

Simak juga video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya