Menyaksikan Lukisan Diponegoro yang Penuh Kisah Misteri

Lukisan berjudul Tepeng karya Setyo Priyo Nugroho dipamerkan di Jogja Gallery dalam Pameran Sastra Rupa Gambar Babad Diponegoro.

oleh Yanuar H diperbarui 07 Feb 2019, 05:00 WIB
Diterbitkan 07 Feb 2019, 05:00 WIB
Lukisan Pangeran Diponegoro
Lukisan berjudul Tepeng karya Setyo Priyo Nugroho dipamerkan di Jogja Gallery dalam Pameran Sastra Rupa Gambar Babad Diponegoro. (Liputan6.com/ Bayu Yanuar)

Liputan6.com, Yogyakarta - Lukisan berjudul Tepeng karya Setyo Priyo Nugroho yang dipamerkan di Jogja Gallery dalam Pameran Sastra Rupa Gambar Babad Diponegoro menarik perhatian pencinta seni rupa. 

Lukisan itu menceritakan tentang sekelumit kisah Pangeran Diponegoro saat didatangi seekor harimau yang sedang menggiring seekor rusa untuk diberikan kepada sang pangeran. Kejadian itu juga tercatat dalam Babad Diponegoro sesuai dengan adegan yang digambarkan Setyo.

Setyo mengatakan, Diponegoro dalam masa pelarian di daerah Kebumen di tanah Remo ditemani dua punokawan, yaitu Joyo Suroto dan Banteng Wareng. Mereka masih kecil belasan tahun, dan sudah perang itu akhir perang. Setelah itu mungkn tidak ada perang. Waktu itu beliau lari lompat ke jurang kehilangan baju masuk hutan akhirnya sampai sakit malaria di dalam hutan lebat.

Saat kejadian harimau menggiring rusa itu, kata Setyo, membuat dua pengawal yang berusia belasan tahun itu ketakutan. Namun, Diponegoro tahu bahwa kedatangan harimau itu tidak untuk berniat jahat.

"Kijang tidak mati hanya ketakutan, nah pengawalnya kan bocah bocah ya girap-girap (takut) semua. Sudah mau menangis tapi Diponegoro tahu tidak ada niat jahat dari harimau itu, wes tenang wae. Setelah itu ya harimau kasih kijang dan pergi," katanya.

Pengalaman Diponegoro dalam Babad Diponegoro ini dinilai multi-tafsir dan terkesan hanya sanepo atau kiasan. Namun, bagi Setyo kejadian itu benar-benar terjadi seperti yang diceritakan Babad Diponegoro. Sebab, keluarganya dekat dengan pengalaman bersama harimau.

"Tahun 45 ikut kolonisasi Belanda dan buka kopi, karena tanam palawija maka buat jebakan babi. Suatu sore yang masuk itu anak harimau dan mengaum-ngaum lalu ditolong karena kakinya (anak harimau) luka kena bambu kakek saya nyobek kaosnya diblebet (dibalut) dan diantar pinggir hutan," katanya.

Lalu, kakeknya heran karena keesokan paginya di depan pendopo rumah sudah ada kijang kejel-kejel (kejang-kejang). Kakeknya mengetahui kijang atau rusa itu baru saja diantar oleh harimau yang ditolongnya.

"Kakek saya tahu itu dari harimau kan harimau kan penciumannya tajam dari kaosnya nah ini balas budinya. Ini bukan sanepo ini bener-benar Pangeran Diponegoro seorang spiritualis jadi mengerti," katanya.

Setyo menjelaskan melukis adegan Pangeran Diponegoro didatangi harimau ini juga berdasarkan riset dan napak tilas. Riset yang dilakukannya salah satunya berkomunikasi dengan sejarawan Peter Carey. Hasilnya, ternyata harimau selalu membantu Pangeran Diponegoro dengan menghalau penjajah.

"Banyak yang menyebutkan orang belanda mati karena Harimau. Ada laporannya di mereka, mati dua besok tiga malemnya dicolong dua.Ini gambaran yang bantu perang diponegoro itu tidak hanya manusia tapi ada binatang," katanya.

Kejadian aneh juga dialaminya saat napak tilas ke Karisidenan Magelang ketika Pangeran Diponegoro ditangkap. Ketika itu ia juga tengah mencari sosok rusa untuk dilukis yang ada di lokasi namun berulangkali tidak berhasil.

"Ketika duduk ditangga, ada kijang datang. Lalu saya kasih minum mau. Hampir setengah jam disitu. Jadi adegan itu (rusa mengarah ke Diponegoro) saya ambil ketika saya di serambi itu. kijangnya masih hidup. harimau tahu kalau Diponegoro seorang muslim jadi tidak makan dari yang tidak disembelih," katanya.

Setyo menjelaskan wajah Pangeran Diponegoro yang muram dan terlihat sakit di lukisannya karena keadaan waktu itu. Sebab, di akhir perang itu ia mengalami kesedihan yang luar biasa salah satunya karena meninggalnya adik.

"Itu dalam kondisi nelongso pasukannya ada yang belot. Adiknya meninggal. Waktu itu ada tiga harimau yang menjaga jasad adiknya dari penjajah. Itu kepedihan Diponegoro," katanya.

Menariknya lagi ketika melukis adegan ini dalam dua bulan pembuatan ada kejadian aneh. Saat itu ia tengah memotret ruangan beserta lukisan yang tengah ia selesaikan.

"Ada orbs transparan pas hampir jadi itu ada banyak. Bulat penuh itu putih semua. Nempel di lukisan ada dua. Kalau kata orang cina itu spiritnya orang suci atau spirit yang mengiringi orang suci," katanya.

 

Harimau Tepeng

Pangeran Diponegoro ketika pelariannya di Kebumen tentu diketahui rakyatnya. Bahkan warga di desa yang berdekatan dengan hutan itu merawat dan melayaninya.

"Mereka kasih makan. Tanya apa keperluan dan kebutuhannya. Warga desa itu juga minta jangan jauh-jauh ke dalam hutannya agar mengantar nasi tidak kejauhan," katanya.

Lukisan berteknik pasto dan glasir berketebalan lima kali lapis ini menggambarkan sosok harimau besar penghuni hutan. Harimau itu dikenal warga sebagai raja hutan atau yang melindungi hutan itu.

"Posisinya kan Diponegoro kan tamu. Harimau itu Tepeng. Orang desa sebut itu harimau Tepeng yang mengusai hutan itu," katanya.

Berbeda dengan Setyo, pelukis lain Astuti Kusumo yang melukis pupuh 37 di serat Tembang Asmorodhono atau laporan cinta, kasih sayang saudara keluarga atau pun orang dicintainya. Pupuh 37 ini mengungkapkan kesedihan karena ditinggal meninggal tiga orang yang disayanginya.

"Pamannya Pangeran Ngabhei Joyokusumo. Dua orang putra sekaligus menantunya Diponegoro," katanya.

Kesedihan yang mendalam yang dialami Pangeran Diponegoro ini memurutnya sangat ironi. Sebab, pamanya yang sejak kecil mengasuhnya dan guru perang ini meninggal dalam keadaan kepala terpenggal.

"Meninggal dimana kepala dimakamkan di Banyusumurup deket Imogiri satunya di makam Kulon Progo," katanya.

Menurutnya Serat Asmoorodhono semacam puisi kesedihan yang teramat dalam. Layaknya cinta terputus karena kehilangan tiga orang di waktu bersamaan.

"Saya kasih judul lukisannya Tembang Cinta karena saya ga mungkin saya ungkit kesedihan tentang kesedihan kan," katanya.

Astuti mengaku juga melakukan riset dan napak tilas untuk menghasilkan karyanya itu. Proses eksekusi tidak lama namun untuk mendapatkan ide gagasan yang lama hingga ia mengalami kejadian misterius.

"Setelah ziarah kubur ke makam Joyokusumo di Kulon Progo dan Imogiri. Setelah dari sana setelah sholat malam baru dapat gambaran itu dan benar aku liat warna biru dominan monokrom warna biru, ungu," katanya.

Hal ini yang membuat karya ekspresifnya bernuansa biru. Namun karena belajar dari sejarah dan menyelami semangat juang Pangeran Diponegoro membuatnya yakin dapat menyeelsaikan lukisan ini.

"Gaya teknik tidak jauh berbeda saya merasakan ikut benar-benar kesedihan. Masing-masing punya cerita kebetulan saya mengungkapkan bathin diponegoro itu tantangan saya," katanya.

 

Simak juga video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya