Maskumambang Sampai Pucung, Kisah Manusia Sampai Mati dalam Macapat

Tembang Macapat mengisahkan perjalanan hidup manusia dari sebelum dilahirkan sampai mati.

oleh Liputan6dotcom diperbarui 10 Mar 2019, 05:00 WIB
Diterbitkan 10 Mar 2019, 05:00 WIB
Ilustrasi pohon (iStock)
Ilustrasi pohon (iStock)

Liputan6.com, Jakarta - Tembang macapat tentu bukan hal asing bagi pegiat sastra Jawa. Macapat adalah puisi Jawa bertembang. Dilihat dari periodisasinya, macapat masuk ke dalam puisi Jawa baru.

Dosen Sastra Jawa Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI), Karsono H. Saputra menjelaskan, macapat disebut sebagai puisi bertembang karena pembacaannya dengan ditembangkan. Pembacaan itu berdasarkan susunan titilaras atau notasi yang sesuai pola metrum atau pakemnya.

"Karena pembacaan harus dengan cara ditembangkan inilah, macapat disebut tembang macapat atau dalam raga krama menjadi sekar macapat," ujar Karsono dalam bukunya, 'Puisi Jawa Struktur dan Estetika' (Jakarta, 2001).

Sebagai sebuah puisi bertembang, macapat memiliki beragam jenis pola metrum atau pakem. Karsono menyebut, secara tradisional ada 15 pakem dalam macapat. Namun, secara umum macapat hanya memiliki 11 pola metrum.

Sesuai pakem itu, dikenal 11 tembang macapat yakni maskumambang, mijil, sinom, kinanthi, asmaradana, gambuh, dhandanggula, durma, pangkur, megatruh, dan pucung. Kesebelas tembang macapat itu menggambarkan perjalanan kehidupan manusia.

Masing-masing tembang macapat sesuai pola metrum punya makna falsafah tersendiri. Mulai dari makna tentang alam ruh manusia sebelum dilahirkan, fase manusia lahir, tumbuh, mengenal cinta, sampai pada manusia meninggal dunia dan kembali ke alam ruh.

Berikut 11 tembang macapat yang menggambarkan atau menceritakan perjalanan kehidupan manusia.

1. Maskumambang

Maskumambang menceritakan tentang keadaan manusia saat masih di alam ruh yang kemudian ditanamkan dalam rahim atau gua garba seorang ibu.

2. Mijil

Pola metrum ini merupakan ilustrasi dari proses kelahiran manusia. Mijil atau mbrojol dan keluarlah jabang bayi bernama manusia.

3. Sinom

Sinom berarti penggambaran masa muda. Masa muda yang indah, penuh dengan harapan dan angan-angan.

4. Kinanthi

Pada pola kinanthi ini dicertiakan tentang masa pembentukan jatidiri dan meniti jalan menuju cita-cita. Kinanti berasal dari kata kanthi atau tuntun yang bermakna bahwa kita membutuhkan tuntunan atau jalan yang benar agar cita-cita kita bisa terwujud.

5. Asmaradana

Asmara artinya cinta. Sehingga ilustrasi pada pola metrum ini mengisahkan akan masa-masa kisah asmara, percintaan, atau larut dalam lautan kasih cinta.

6. Gambuh

Awal kata gambuh adalah jumbuh atau bersatu. Jadi pola metrum ini menceritakan soal komitmen dalam perkawinan untuk menyatukan cinta dalam satu biduk rumah tangga.

7. Dhandhanggula

Gambaran pola metrum ini, yakni kehidupan yang telah mencapai tahap kemapanan sosial serta kesejahteraan, cukup sandang, papan, dan pangan.

8. Durma

Durma berasal dari kata darma. Pola metrum ini menggambarkan bahwa seseorang sedianya harus melakukan sedekah dan berbagi kepada sesama.

9. Pangkur

Pola metrum ini menggambarkan hawa nafsu manusia. Pangkur atau mungkur memiliki arti menyingkirkan hawa nafsu dan angkara murka, serta nafsu negatif yang menggerogoti jiwa.

10. Megatruh

Megatruh atau megat roh berarti terpisahnya nyawa dari jasad kita, terlepasnya ruh atau nyawa menuju keabadian. Jadi pola metrum ini mengisahkan tentang kematian manusia.

11. Pucung

Pucung berarti pocong atau jasad manusia yang dibungkus kain mori putih. Pola metrum ini menceritakan tubuh manusia yang hanya menyisakan jasad yang dibungkus kain kafan saat dikuburkan di tempat peristirahatan abadi.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya