Liputan6.com, Garut - Puluhan orang perwakilan dari 12 kampung adat se kabupaten Garut, Jawa Barat, nampak khidmat berbaris menunggu antrian. Sambil membawa wadah khusus yang dibuat dari bambu, mereka bergiliran menumpahkan Cikahuripan (Air Kehidupan) dalam prosesi kawin cai, yang selalu digelar kampung adat kota intan setiap tahunnya.
Teriknya sengatan matahari yang membakar kulit mereka, tak menghentikan semangat para perwakilan tiap kampong adat, yang sebagian diwakili tetua adat tersebut. Waktu pun terus berputar, hingga sejurus kemudian satu per satu cai kahuripan, yang berada dalam cawan bambu itu, ditumpahkan ke dalam satu gentong (tembikar) yang terbuat dari tanah.
Konon percampuran itu merupakan tanda kasih bagi alam, atas anugerah beragam sumber mata air Cikahuripan yang berada di Garut. Tak sedikit dari penonton yang telah menunggu sejak lama pertunjukan itu, kemudian berebut cikahuripan, meskipun hanya sekedar membasuh muka.
Advertisement
“Ingin ngalap berkah saja, air itu kan sumber kehidupan,” ujar Indra (45), salah satu pengunjung yang datang dalam gelar pesona Garut, akhir pekan lalu.
Alasan pria paru baya itu tidak berlebih, pengunjung yang berasal dari Bayongbong itu, mengaku kawin cai merupakan budaya lawas yang selalu dilakukan para leluhur mereka, untuk mendapatkan keberkahan hidup.
Baca Juga
Bagi Indra proses itu, tidak hanya sekedar melestarikan budaya, namun ada nilai budaya yang diwariskan kepada generasi mendatang. “Nilai kebersamaannya tidak luntur, dan itu sangat penting saat ini,” ujar dia menambahkan.
Kepala Bidang Kesenian, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Garut, Wawan Somarwan mengatakan, proses kawin cai merupakan kesepakatan seluruh penggiat kampung budaya, untuk menyamakan persepsi, pentingnya merawat akar budaya setempat.
“Intinya saling menghargai dan memajukan, meskipun ada perbedaan budaya,” ujarnya.
Dalam gelaran prosesi kawin cai, ada 12 komunitas penggiat budaya yang terlibat, mereka berasal dari berbagai lokasi di Garut, dengan latar belakang budayanya yang cukup unik. “Biasanya giliran tiap tahun,” ujar Wawan.
Sebut saja komunitas budaya makam Cipancar, situs makam Godog, makam Cinunuk, Kampung Pulo di kecamatan Leles, situs Ciburuy dan Ciela, kedua berada di kecamatan Bayongbong, Kampung adat Dangiang, Banjarwangi.
Kemudian kampung adat Cigedug, Limbangan Wangi yang berasal dari Limbangan, Mulakedeu dari Kecamatan Sucinaraja, hingga kampung Dukuh yang berasal dari kecematan paling seletan Garut, Cikelet.
Lestarikan Budaya
Di tengah perubahan peradaban jaman yang tidak bisa dihindari, prosesi kawin cai memang memberikan pesan moral yang cukup mendalam, pentingnya melestarikan budaya leluhur mereka.
“Generasi muda menjadi tahu, bahwa keberadaan komunitas budaya itu merupakan cikal budaya masyarakat Garut saat ini,” ujar Wawan menerangkan.
Proses kawin cai ujar Wawan, biasanya dilaksanakan setiap tanggal 27 bulan mulud atau Maulid Nabi Besar Muhammad SAW setiap tahunnya. Setelah seluruh cai kahuripan terkumpul, mereka kemudian menggelar ritual, yang sejurus kemudian diselingi penampilan kesenian kesenian tradisional dari tiap kampung adat.
Selama acara berlangsung, tidak ada acara pesta meriah. Meskipun diseliling pertunjukan kesenian lokal, namun alat yang digunakan tidak menimbulkan keriuhan berlebihan. Mereka memanjatkan doa, termasuk menyebarkan kebaikan sesama warga dengan berbagi. “Karena memang pesan itulah yang akan disampaikan bagi masyarakat,” ujarnya.
Namun dalam satu dekade terakhir, praktek itu sudah mulai berubah. Kegiatan puncak tidak lagi digelar di salah satu komunitas kampung adat, namun berpindah ke pusat kota. “Mungkin pemda juga berkepentingan bagimana agar kegiatan itu lebih menyebar dan diketahui banyak pengunjung,” ujarnya.
Awalnya puncak proses kawin cai dipusatkan di salah satu sumur ‘Ki Garut’ yang berada di kawasan SMPN 1 Garut. Namun khusus tahun ini, praktek itu sengaja digeser berbarengan dengan perayaan hari jadi Garut ke 206 yang berada di Alun-alun Garut. “Tetapi secara garis besar acarnya hampir sama, tidak ada yang dikurangi sedikit pun,” ujarnya.
Dalam sejarah panjang helatan kawin cai, tidak ada acara penunjukan lokasi pertunjukan, kegiatan biasanya dilandasi kesiapan logistik semata tiap komunitas budaya di Garut. “Kalau saat ini puncaknya ya di Alun-alun tadi, namun mereka pun tetap menggelar kawin cai di tiap komunitasnya,“ kata dia.
Bagi Anda yang ingin berwisata sekaligus mengenal budaya lokal, tak ada salahnya anda datang pada hajatan Hari Jadi Garut (HJG) setiap tahunnya. Di sana anda akan mendapatkan sajian menarik proses kawin cai, termasuk kesenian tradisional lainnya, sambil menikmati kuliner lokal Garut yang cukup beragam.
Advertisement