Selain Dituntut 7 Tahun Bui, Jaksa KPK Minta Hak Politik Bupati Sunjaya Dicabut

Perbuatan terdakwa sudah barang tentu mencederai kepercayaan publik yang diberikan kepadanya dan pada saat yang bersamaan semakin memperbesar 'public distrust' kepada penyelenggara negara.

oleh Huyogo Simbolon diperbarui 24 Apr 2019, 19:28 WIB
Diterbitkan 24 Apr 2019, 19:28 WIB
Sunjaya Purwadisastra
Bupati Cirebon nonaktif Sunjaya Purwadisastra menyesali perbuatannya. (Huyogo Simbolon)

Liputan6.com, Bandung - Selain tuntutan hukuman tujuh tahun penjara, tim jaksa dari KPK juga menuntut Bupati Cirebon nonaktif Sunjaya Purwadisastra dengan dan pencabutan hak politiknya selama lima tahun.

"Menjatuhkan pidana tambahan terhadap terdakwa Sunjaya Purwadisastra berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 5 tahun sejak terdakwa selesai menjalani pidana pokok," ujar jaksa KPK, Iskandar Marwanto dalam amar tuntutan yang ia bacakan saat di Pengadilan Tipikor Bandung, Rabu (24/4/2019).

Pencabutan hak politik itu karena jabatan bupati sangat penting dalam suatu daerah yang dipilih langsung oleh rakyat. Mengingat rakyat menaruh harapan besar atas pembangunan di wilayah tersebut.

Akan tetapi, perbuatan Bupati Cirebon Sunjaya tentu telah mencederai kepercayaan dari masyarakat khususnya masyarakat Kabupaten Cirebon.

"Perbuatan terdakwa sudah barang tentu mencederai kepercayaan publik yang diberikan kepadanya dan pada saat yang bersamaan semakin memperbesar 'public distrust' kepada penyelenggara negara," kata Iskandar.

Jaksa mengungkapkan, agar menghindari kepala daerah dijabat oleh pelaku tindak pidana korupsi, maka dari itu pihaknya menyertakan pidana tambahan pencabutan hak dipilih terhadap Sunjaya dalam tuntutan.

"Sehubungan dengan hal-hal tersebut, untuk menghindarkan kepala daerah Kabupaten Cirebon dari kemungkinan dijabat oleh orang yang pernah dijatuhi hukuman akibat melakukan tindak pidana korupsi, maka terhadap terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu dalam hal ini pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik," katanya.

Sunjaya merupakan Bupati Cirebon periode 2014-2019. Ia kembali terpilih setelah memenangi Pilkada 2018 lalu. Namun sebelum menjalankan periode keduanya, Sunjaya tersandung kasus korupsi dengan menerima suap dari ASN.

<p><em><strong>* Ikuti Hitung Cepat atau Quick Count Hasil Pilpres 2019 dan Pemilu 2019 <a href="/pages/quick-count-pilpres-2019">di sini</a></strong></em></p>

Bupati Sunjaya Membiarkan Praktik Suap

Bupati Cirebon Purwadi Sastra Resmi Ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Tersangka Bupati Cirebon, Sunjaya Purwadi Sastra kenakan rompi tahanan usai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (26/10). Sunjaya diduga menerima suap yang tersimpan atas nama orang lain senilai Rp6,42 miliar. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Iskandar menyebut Sunjaya sengaja membiarkan praktik jual-beli jabatan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Cirebon. Sunjaya disebut kerap menerima duit hasil promosi jabatan aparatur sipil negara (ASN).

Seperti diketahui, JPU KPK mendakwa Sunjaya selaku Bupati Cirebon periode 2014-2019 meminta uang pada sejumlah pejabatnya, salah satunya kepada Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Kabupaten Cirebon, Gatot Rachmanto.

Melalui ajudannya, Deni Syafrudin, Sunjaya menerima uang sebesar Rp100 juta untuk mempromosikan Gatot pada Juli 2018.

"Bahwa pemberian hadiah berupa uang dari Gatot Rachmanto kepada terdakwa tersebut merupakan realisasi dari kebiasaan yang dilakukan oleh terdakwa yang menerima sejumlah uang dari pegawai yang promosi dilingkungan Pemerintah Kabupaten Cirebon," ucap Iskandar.

Dia menyatakan berdasarkan keterangan sejumlah saksi yang dihadirkan, Sunjaya kerap menerima uang dari para ASN berkaitan dengan promosi jabatan. Bahkan perbuatannya itu dilakukan sejak tahun 2014 di saat awal menjabat sebagai Bupati Cirebon. Penerimaan itu disebut untuk memenuhi kebutuhan Sunjaya.

"Terdakwa memberlakukan kebiasaan tersebut dan bahkan tidak pernah melarang sama sekali adanya pemberian-pemberian uang demikian, karena terdakwa memang menghendaki adanya penerimaan uang dari proses promosi tersebut untuk memenuhi kebutuhannya," ujarnya.

Lantaran telah menerima suap, Sunjaya diharuskan memenuhi permintaan dari ASN yang telah memberikan uang. Untuk memenuhi janji itu, jaksa menyebut Sunjaya kerap melakukan intervensi terhadap tim penilai kepegawaian Kabupaten Cirebon.

"Terdakwa melakukan intervensi terhadap kerja Tim Penilai Kepegawaian dalam menetapkan promosi pegawai di Pemerintah Kabupaten Cirebon. Akibat adanya intervensi terdakwa tersebut, kinerja Tim Penilai Kepegawaian menjadi lumpuh dan hanya sekedar formalitas," katanya.

Menurut jaksa, Sunjaya menyadari perbuatannya itu menyalahi aturan sebagai Bupati. Akan tetapi, Sunjaya tetap melakukan praktik itu hingga diciduk KPK.

"Dengan demikian dapat disimpulkan adanya kehendak terdakwa untuk melanggar kewajiban dan larangan yang diatur dalam undang-undang serta melanggar sumpah jabatan maupun kode etik yang melekat pada jabatan terdakwa selaku Bupati Cirebon," jelas Iskandar.

Tolak Pengajuan Justice Collaborator

Terkait justice collaborator (JC) yang diajukan Sunjaya Purwadisastra, jaksa dari KPK juga tidak mengabulkan. Jaksa menilai Sunjaya merupakan aktor utama dalam kasus jual beli jabatan.

"Penuntut umum berpendapat bahwa permohonan justice collaborator tersebut tidak dapat dikabulkan dengan pertimbangan syarat-syarat untuk dapat ditetapkan sebagai justice collaborator tidak terpenuhi," ujar Iskandar.

Iskandar menyebutkan, Sunjaya mengajukan JC ke KPK pada 7 April 2019. Sunjaya mengajukan JC tersebut lantaran sudah mengakui dan menyesali perbuatannya menerima uang terkait promosi jabatan. Selain itu, dirinya juga memberi alasan bahwa telah terlibat dalam pembangunan di Kabupaten Cirebon.

"Terdakwa akan membantu memberikan informasi dugaan adanya tindak pidana lain sesuai dengan yang terdakwa ketahui," ujar Iskandar. L

Akan tetapi, berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) nomor 4 tahun 2011 pada poin 9 huruf A disebutkan terkait pemberian JC dapat dilakukan asalkan terdakwa bukan pelaku utama dalam suatu perkara.

"Kami penuntut umum berpendapat bahwa permohonan tersebut tidak dapat dikabulkan, dengan pertimbangan, syarat-syarat untuk dapat ditetapkan sebagai justice collaborator tidak terpenuhi," tegasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya