Liputan6.com, Purbalingga - Indonesia adalah surganya kuliner. Beragam makanan tradisional lahir dari berbagai daerah, tak terkecuali di Purbalingga, Jawa Tengah.
Luar biasanya, sejak kali pertama diciptakan puluhan atau bahkan ratusan tahun lampau, makanan ini masih populer hingga saat ini. Sebagian berupa camilan atau jajanan khas, lainnya menjadi pelengkap makanan tertentu.
Makanan-makanan ini banyak digemari masyakakat di pedesaan hingga perkotaan. Makanya, wilayah distibusinya luas, mulai dari pasar tradisional hingga pasar modern.
Advertisement
Namun, akhir-akhir ini makanan tradisional memang kalah populer dengan makanan yang lebih instan produk pabrik. Raksasa bisnis mulai masuk ke ceruk pasar makanan tradisional.
Baca Juga
Keripik singkong, misalnya, kini telah diproduksi secara massal oleh sebuah pabrik modern yang dimiliki oleh merek terkenal. Tak menutup kemungkinan, pada masa mendatang, pabrikan besar akan memproduksi pula makanan tradisional lainnya.
Salah satu kelemahan produk skala rumahan adalah pada pengemasan, tampilan produk, dan teknologi pengawetannya. Tak jarang, demi bersaing di pasaran, produsen menggunakan zat-zat berbahaya untuk memastikan produknya berpenampilan menarik dan awet.
Pada Kamis, 25 April 2019, misalnya, Tim Jejaring Keamanan Pangan Terpadu (JKPT) Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, menemukan sejumlah sampel makanan yang mengandung zat berbahaya di Pasar Karanganyar.
Lima sampel makanan tradisional ini, yakni pindang, wajik klethik, mireng llidi, kerupuk chantir, dan kerupuk chantir yang telah digoreng.
"Satu yang ditemukan mengandung formalin yaitu pindang dan produk makanan yang lainnya mengandung Rhodamin B yang digunakan sebagai pewarna tekstil," kata Kasi Keamanan Pangan Dinas Ketahanan Pangan dan Perikanan (DKPP) Kabupaten Purbalingga, Suyono.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Produsen Makanan Mengandung Zat Berbahaya
Menurut dia, makanan tradisional yang mengandung zat berbahaya ini dapat membahayakan pengonsumsinya. Karena itu, ia mengimbau agar pedagang tak lagi menjual produk dari merek yang sama.
Sayangnya, pedagang tak mengetahui produsen kerupuk Chantir Kecil dan Mireng Lidi. Sebab, seluruh pedagang hanya kulak dari Pasar Bobotsari.
"Nanti dari kami, akan mencari tahu siapa yang memproduksi agar makanan tersebut tidak beredar dengan luas atau pun produsen ini mengganti tambahan pangan yang sehat dan berkualitas agar kesehatan tetap terjaga," dia menegaskan.
Suyono menerangkan, sebenarnya masyarakat bisa dengan mudah mengenali apakah makanan tersebut mengandung zat berbahaya atau tidak.
Jenis pangan segar seperti ikan, misalnya. Untuk melihat apakah ikan tersebut mengandung zat berbahaya seperti formalin atau tidak, dapat dilihat dari banyaknya lalat yang hinggap pada ikan tersebut.
Jika lalat yang hinggap banyak, maka dipastikan ikan segar tersebut tak mengandung zat pengawet. Sebaliknya, jika lalat enggan mendekat, bisa dipastikan ada kandungan formalin dalam ikan tersebut.
"Sedangkan untuk makanan seperti kerupuk dan makanan lain yang mengandung pewarna, apabila mengandung pewarna tekstil itu bisa terlihat warnanya terang dan menarik perhatian, inilah yang harus diwaspadai oleh pembeli," dia menjelaskan.
Sebelumnya, Tim JKPT Purbalingga juga menemukan mengandung boraks dan berpewarna teksil di Pasar Kejobong Kecamatan Kejobong dan Pasar Tobong Purbalingga.
Anggota Tim JKPT Kabupaten Purbalingga, Uning Sriwahyuni, mengatakan makanan mengandung Rhodamin B tersebut, yakni mireng lidi. Kata dia, ini bukan kali pertama makanan ini positif mengandung pewarna tekstil. Sebelumnya, di Pasar Bobotsari dan Pasar Tobong, produk serupa juga positif mengandung pewarna tekstil.
JKPT juga menemukan makanan mengandung boraks dan Rhodamin B di Pasar Tobong Purbalingga. Dua makanan, yakni kerupuk mireng dan mi positif mengandung Rhodamin B. Adapun yang mengandung borax adalah bleng cap Semar, produksi Solo.
Advertisement