Liputan6.com, Jayapura - Jakub Fabian Skrzypski (39), menjadi Warga Negara Asing (WNA) pertama yang menjalani putusan makar di Papua. Oleh Pengadilan Negeri Wamena, Jakub hanya divonis dengan pasal 106 KUHP Jo Pasal 87 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP dengan hukuman lima tahun penjara.
Dari empat dakwaan yang dituduhkan oleh Jaksa Penuntut Umum yakni dakwaan pertama, pasal 106 KUHP Jo Pasal 87 KUHP Jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP. Dakwaan kedua, Pasal 110 ayat(1) KUHP. Dakwaan ketiga, Pasal 110 ayat(2) ke (1) KUHP. Kemudian, dakwaan keempat, Pasal 111 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat(1) Ke 1 KUHP.
Kuasa hukum Jakub, Latifah Anum Siregar menuturkan JPU membuat surat dakwaan model alternatif, itu sama artinya bahwa JPU tidak yakin tindak pidana apa yang paling tepat dikenakan kepada Jakub. "Kami bantah semua uraian dakwaan JPU lewat eksepsi," jelas Anum, Senin (6/5/2019).
Advertisement
Baca Juga
Persidangan Jakub di Pengadilan Wamena mulai digelar 17 Desember 2018. Dari tahanan di Polda Papua, Jakub dipindahkan ke Polres Wamena, menjadi tahanan titipan JPU untuk menjalani persidangan makar.
Sebanyak 10 orang saksi dihadirkan dalam persidangan ini, tim pengacara Jakub menilai penangkapan dan penyidikan, serta penahanan hingga proses hukum kepada Jakub terkesan dipaksa dan menjadi bagian dari ketakutan negara terhadap seorang turis warga asing, tanpa dapat dibuktikan secara hukum kesalahan yang telah dilakukan.
"Jakub memiliki hobi traveling mengunjungi beberapa tempat untuk mempelajari sejarah, budaya, dan keindahan alam, namun telah dikriminalisasi dengan tuduhan makar," jelas Anum.
Anum tak membantah kunjungan Jakub ke Papua bertemu dengan sejumlah orang yang organisasinya dituduh sebagai organisasi terlarang, hingga akhirnya Jakub dituduh makar.
Faktanya, sebelum Jakub bertemu dengan kelompok yang dituduh bertentangan dengan negara, melakukan kriminal dan sebagai organisasi yang dilarang yakni Komiten Nasional Papua Barat (KNPB), telah banyak orang atau organisasi lain yang bertemu dan membuat buku, tulisan atau bahkan video/youtube, sehubungan dengan kelompok itu. Namun, kelompok atau perorangan itu tidak ditangkap dan diadili atas tuduhan makar.
"Dalam persidangan tersebut jelas disebutkan bahwa Jakub sebagai turis, tidak melanggar UU Keimigrasian, karena perjalanan in dan out tidak melampaui batas waktu yang ditentukan di dalam visa, sebagaimana keterangan saksi Agustinus Makabori, petugas Imigrasi di Kota Jayapura," Anum menjelaskan.
Sama Tapi Berbeda Vonis
Usai sidang vonis 2 Mei lalu, Jakub keberatan dengan putusan hakim di Pengadilan Negeri Wamena. Bersama dengan tim pengacaranya, Jakub melakukan banding ke Pengadilan Tinggi Papua.
Jakub pun membandingkan kasusnya dengan dua jurnalis Prancis yang juga dituduhkan melakukan makar dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Lanny Jaya.
Adalah Thomas Charles Dandois dan Valentine Bourrat hanya dijatuhi hukuman penjara 2 bulan 15 hari dan denda Rp 2 juta pada Oktober 2014 oleh Pengadilan Negeri Jayapura. Keduanya didakwa melanggar ketentuan imigrasi dan melakukan pekerjaan jurnalisme dengan tuduhan melanggar Pasal 122 huruf a Undang-Undang No 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian juncto Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Padahal, JPU menuntut dua jurnalis yang bekerja untuk stasiun televisi Jerman-Perancis ARTE dengan tuduhan bekerjasama dengan kelompok separatis di Papua. Namun dalam persidangannya, tuduhan itu tidak terbukti. Keduanya, lantas dipulangkan dan bebas, usai menjalani persidangan, dengan pemotongan masa tahanan selama 2 bulan 12 hari.
Berbeda dengan pasal yang menjerat Jakub yakni 106 KUHP jo Pasal 87 KUHP jo Pasal 55 ayat (1) Ke 1 KUHP, tim pengacara Jakub menyebutkan bahwa Jakub yang berasal dari negara Polandia dan masuk ke negara Indonesia pertama kali pada 31 Desember 2007, menggunakan paspor dengan tujuan melancong atau wisata.
Dalam persidangan, JPU menyebutkan maksud dan tujuan Jakub datang ke Papua justru salah menggunakan izin yang diberikan.
Kata Anum, harusnya tindakan yuridis yang digunakan mengacu pada UU Nomor: 6 Tahun 2011, tentang Keimigrasian diatur dalam Bab XI Ketentuan Pidana, Pasal 122 butir a, sebagaimana pernah terjadi terhadap 2 jurnalis warga Negara Prancis yang ditangkap di Wamena dan ditahan dan diproses di Jayapura.
Anum menguraikan, dua jurnalis itu juga dituduh meliput gerakan separatis. Keduanya sempat mewawancarai Presiden NRFPB, Forkorus Yoboisembut dan melakukan peliputan ke kelompok kriminal bersenjata.
Sementara di Wamena, Kabupaten Jayawijaya, kedua jurnalis bertemu dengan Ketua Dewan Adat Lanny Jaya, Areki Wanimbo yang selanjutnya berencana akan melakukan peliputan ke Lanny Jaya dan juga meliput Festival Lembah Baliem.
Areki Wanimbo pun ditangkap dan diproses. Berkas dakwaan mereka dipisah. Areki Wanimbo dikenakan Pasal 106 KUHP, di sidang di PN Wamena, divonis bebas.
"Thomas Dandois dan Valentine Bourrat di sidang di PN Jayapura, nyatanya kedunya hanya melanggar keimigrasian dan dipulangkan usai menjalankan sidang," katanya.
Menurut Anum, kasus Jakub tak layak jika dikenakan pasal makar, sebab dalam pasal 106 KUHP pada tahun 1920 jelas ditujukan kepada warga negara yang melakukan pengkhianatan terhadap negara atau pimpinan negara.
"Jakub ini kan WNA, orang Polandia. Secara hukum pasal ini sudah salah jika disangkakan kepada Jakub dan surat dakwaan harusnya dinyatakan batal demi hukum atau setidaknya tidak dapat diterima," ujarnya.
Advertisement
Surat Simon Magal
Dalam persidangan Jakub, terdapat satu tersangka lainnya yakni Simon Magal, seorang kenalan Jakub di Timika yang juga dituduhkan terlibat makar dalam kasus ini. Vonis yang dijatuhkan Simon lebih rendah satu tahun dari Jakub. Simon mendapatkan vonis penjara 4 tahun dengan pasal makar.
Liputan6.com menerima surat dari Simon dari dalam tahanannya yang menyebutkan semua tuduhan yang disangkakan terhadap dirinya oleh hakim ataupun jaksa dalam persidangan adalah bohong.
Dalam kenyataannya, Simon hanya bertemu dengan Jakub di Timika selama 2 kali. Walaupun Jakub pernah meminta Simon untuk mengantarkan ke Sekretariat KNPB di Kota Timika, Simon tak pernah mengantarkan keinginan Jakub karena kesibukan dirinya saat Pilkada di Timika.
Empat lembar surat yang diterima Liputan6.com, Simon mengakui pernah melakukan percakapan dengan Jakub lewat Messanger Facebook  tentang pengadaan senjata api. Namun, percakapan itu hanya satu kali dan Simon menyebutkan percakapan itu tak pernah serius.
Namun kenyataannya, dalam persidangan percakapan Simon terkait pengadaan senjata api dibuka dalam persidangan.
"Saya dinyatakan sebagai orang yang melakukan kejahatan terhadap negara, dengan tuduhan percakapan kepada Jakub terkait senjata api. Saya menolak ini, karena ini bukanlah hal yang serius, termasuk saya dituduh anggota KNPB, saya sudah jelaskan dalam persidangan bahwa saya bukan anggota KNPB dan tak mengenal ketua atau siapa pun di KNPB Timika," tulis Simon dalam suratnya.
Simon pun menggambarkan penangkapan dirinya yang dinilai tak beradab dan berlebihan. Dalam penangkapannya, Simon menyebutkan Polda Papua berkekuatan penuh menangkap dirinya, seolah-olah dia seorang penjahat atau buronan. Padahal, saat penangkapan, ia sedang bersama adik kecilnya yang bernama Robby Magal.
Sebelum ditangkap, Simon menyebutkan ada seorang yang diduga bekerja di Polda Papua sengaja meminta pertemanan di Facebook. Kata Simon, dalam percakapan di Facebook itu, orang tersebut mengaku sebagai orang Batak, lahir dan besar di Jayapura.
"Orang itu mengaku kepada saya sedang mencari kerja di pemerintahan atau di Freeport. Saat itu, ia berjanji untuk bertemu di Toko Diana dan saya menyanggupinya. Nyatanya, setelah bertemu di Toko Diana, saya malahan ditangkap dan dibawa ke Jayapura. Surat penangkapan saya pun baru diperlihatkan di Polres Timika dan saya dibawa ke Jayapura dalam kaitan dengan kasus yang menjerat Jakub," kata Simon.
Dengan vonis yang menjeratnya, Simon menyerahkan masalah ini kepada Tuhan. Segala upaya hukum yang sedang dilakukan pengacaranya untuk naik banding, ia anggap sebagai jalan menuju kebebasan.
"Sebagai orang Papua, saya pasrah dengan konsekuensi politik orang Papua dalam ketidakadilan yang sudah dan sedang terjadi. Â Selama pemerintah Indonesia tidak membuka diri terhadap masalah Papua, isu Papua ibarat kerikil yang ada dalam sepatu," Simon menandaskan.
Â
Simak video pilihan berikut ini: