Liputan6.com, Raja Ampat - Layaknya bermain peran (role playing), liburan dengan merasakan menjadi penduduk lokal suatu kampung ternyata sangat menyenangkan. Tinggal di rumah mereka, makan santapan mereka. Jalan-jalan di sekitar kampung pun bak sedang pulang ke kampung halaman sendiri. Atraksi unik itu tersedia di Raja Ampat, Papua Barat.
Salah satu kampung yang menawarkan atraksi tersebut adalah Warimak di Pulau Waigeo. Tepatnya di distrik Tiplol Mayalibit, di tepian Teluk Mayalibit.
Seorang warga, Esau, dengan istri dan empat anaknya, berbagi ruang dengan wisatawan. Rumah sederhana mereka juga menjadi homestay. Dua kamar disulap menjadi tempat menginap nyaman bagi wisatawan yang ingin merasakan menjadi warga setempat. Banyak turis mancanegara datang dan tinggal bersama mereka hingga berminggu-minggu lamanya.
Advertisement
Baca Juga
Kampung Warimak berjarak tempuh sekitar empat jam menggunakan kapal nelayan dari Waisai, ibu kota Raja Ampat. Kapal tidak berangkat dari pelabuhan turis biasa, melainkan dari pelabuhan rakyat di dermaga sederhana, di tepi sungai di belakang kios-kios yang menjajakan sirih-pinang.Kapal akan mengarungi perairan teluk dengan pemandangan hutan dan tebing-tebing karst khas Raja Ampat. Kalau beruntung, kita bisa melihat gerombolan cakalang (Euthynnus affinis) yang membuat permukaan laut bergemericik. Kalau beruntung lagi bisa berpapasan dengan lumba-lumba teluk (Sousa chinensis) yang melintas.
Dermaga biru Kampung Warimak menyambut perahu tiba. Sebuah panorama kampung yang rapi dengan sebuah gereja di atas bukitnya. Dari kejauhan pun sudah terlihat pagar-pagar dicat dengan warna seragam, berdiri di tepi jalan yang disemen rapi. Tidak ada satupun kendaraan darat, sehingga semua berjalan kaki ke penjuru manapun di dalam kampung. Lebih seringnya, semua berjalan tanpa menggunakan alas kaki. “Kaki kosong saja, to…” istilah mereka.
Halaman belakang bagi kampung Warimak adalah hutan di kaki Gunung Nok, yang masuk dalam kawasan Cagar Alam Waigeo Timur. Hidup berdampingan dengan kawasan konservasi membuat Warimak menjadi lebih unik lagi, karena warga hidup bersama-sama dengan spesies langka dan endemik, yang tak biasa kita jumpai di belahan bumi lain.
Umukia raja (Tadorna Radjah), perkici pelangi (Trichglossus haematodus), nuri bayan (Eclectus roratus) dan kakatua koki (Cacatua galerita) hidup liar dengan gerombolannya di sekeliling kampung di halaman-halaman rumah. Kuskus waigeo (Spilocucus papuensis) sesekali ditemui di pohon kedondong di tengah kampung. Elang bondol (Haliastur indus) terbang rendah di langit dan di pantainya. Itu semua pemandangan sehari-hari di Kampung Warimak.
Hewan-hewan endemik dan langka itu hidup tanpa merasa takut atau terancam dengan keberadaan penduduk. Mereka dibiarkan hidup liar tanpa ditangkap untuk dipelihara atau dijual. Sungguh kampung yang ramah pada burung dan hewan liar.
Sore hari, apabila langit cerah, hampir semua penduduk memenuhi lapangan voli di depan gereja. Berlatarkan perairan teluk yang tenang dan tiang bekas dermaga yang menjadi sarang burung-burung perling kicau (Aplonis cantoroides), permainan voli berlangsung begitu meriah. Penonton dengan siaga mengawasi jalannya pertandingan, karena yang kalah akan mereka gantikan. Anak-anak bermain di sekelilingnya, sesekali menjadi regu pengambil bola keluar.
Listrik yang mengalir di kampung ini hanya bersumber dari genset yang diisi minyaknya bersama-sama untuk menyalakan lampu beberapa jam di malam hari. Selebihnya, masyarakat memiliki genset atau solar panel sendiri-sendiri untuk mengisi daya ponsel dan lampu darurat yang jarang dinyalakan. Bintang lebih terang malam di langit malam Warimak.
Sayangnya, pada kunjungan terakhir saya ke sana, suasana kampung tidak seramai biasanya, padahal sore itu langit cerah. Usut punya usut, rupanya bola voli satu-satunya yang dimiliki oleh kampung itu pecah. Belum ada yang membeli gantinya. Betapa sederhana, satu buah bola voli bisa mengubah keceriaan satu kampung.
Namun keceriaan lain masih ada. Menonton lucunya anak-anak yang berkumpul di bawah pohon mangga di samping gereja menjadi hiburan tersendiri. Ketika tiga pohon mangga besar yang ada di sana sedang musim buahnya, anak-anak akan menjaga mangga yang jatuh dan berhak memilikinya dalam antrian.
Setelah setiap anak dapat jumlah mangga yang sama, mereka akan pulang. Masih terngiang tawa ceria mereka sambil berlarian pulang sambil kepayahan menjaga agar mangga-mangga tidak jatuh dari pelukan.
Sungguh Warimak mengubah cara pandang saya terhadap kebutuhan pokok manusia, tentang sandang, papan, dan pangan. Hidup di kota besar membuat saya kadang merasa kebutuhan tidak cukup hanya pada tiga kategori itu saja.
Kealamian dan keramahan mereka pada alam juga menyentuh sekali. Betapa kita sesungguhnya bisa hidup berdampingan bersama alam liar tanpa saling merusak dan mengganggu.
Tak ada puasnya kembali ke sana, karena selalu ada pelajaran dan pengalaman baru yang bisa diperoleh. Satu hal unik yang masih membuat penasaran adalah cara masyarakat Raja Ampat mencari ikan lema. Dengan kapal yang berputar dan lampu sorot, ikan-ikan akan melompat masuk sendiri ke dalam kapal, seperti hujan.
Ana Septiana (peneliti flora fauna, kontributor Liputan6.com)
Saksikan video menarik tentang Raja Ampat berikut: