Tips Selamat dari Gigitan Ular King Cobra

Lembaga non profit bidang studi ular, Sioux Indonesia, kembali menggelar edukasi terhadap korban gigitan ular.

oleh Huyogo Simbolon diperbarui 21 Jul 2019, 16:00 WIB
Diterbitkan 21 Jul 2019, 16:00 WIB
Yayasan Sioux Indonesia
Yayasan Soux Indonesia memberikan edukasi penanganan korban gigitan ular kepada komunitas reptil di Jawa Barat, Minggu (21/7/2019). (Liputan6.com/Huyogo Simbolon)

Liputan6.com, Bandung - Lembaga non profit bidang studi ular, Sioux Indonesia, kembali menggelar edukasi terhadap penanganan korban gigitan ular. Kali ini, Sioux Indonesia melaksanakan edukasi yang dihadiri sejumlah komunitas maupun individu penggemar reptil di Jawa Barat.

Acara tersebut digelar di halaman Balai Kota Bandung, tepatnya di samping patung badak putih, Minggu (21/7/2019) pagi.

Pembina Sioux Indonesia regional Jawa Barat, Herlina Agustin mengatakan, edukasi yang dilakukan pihaknya sebagai bentuk kepedulian terhadap korban gigitan ular.

Herlina berkata, sepanjang November 2018 hingga Juli 2019 saja, terdapat 52 kasus gigitan ular terhadap manusia. Dari puluhan kasus gigitan, 14 korban di antaranya meninggal dunia.

"Di Jawa Barat, komunitas penggemar ular kan banyak dan mereka memelihara. Mereka masih banyak yang kurang paham bahwa ular adalah satwa liar, punya sifat liar. Bukan dielus lalu jinak, tidak bisa didomestikasi," kata dia.

Dalam kesempatan ini, Yayasan Sioux Indonesia menghadiri Tri Maharani. Dia adalah satu-satunya dokter dari Indonesia, yang ikut dalam tim pembuat pedoman penanganan gigitan ular berbisa dari lembaga kesehatan dunia atau WHO.

"Tujuan kita adalah menyebarkan informasi penanganan ular sedini mungkin. Misalnya kalau kegigit harus apa karena selama ini mitos berkembang ada yang disobek, disedot atau diikat. Padahal gigitan ular pertama harus imbolisisasi, tidak boleh menggerakkan bagian tubuh yang digigit yang bisa menunda penyebaran racun," ujar Herlina.

Menurut Herlina, terdapat dua jenis ular yang paling banyak menggigit korbannya di Jawa Barat. Ular itu adalah King Cobra dan Cobra.

"Untuk kasus yang meninggal karena gigitan King Cobra, ada empat kasus dan tiga di antaranya meninggal dunia. Sedangkan gigitan Cobra dari enam kasus, tiga meninggal," kata dia.

Herlina menyebutkan, hampir semua kasus gigitan disebabkan karena terlambat penanganan. Selian itu, masih banyak mitos yang berkembang di masyarakat terkait penanganan ular.

"Ada yang bawa ke dukun karena dianggap kearifan lokal. Sebenarnya kearifan lokal tidak salah, hanya perlu dikaji lagi. Untuk penanganan awal gigitan ular, cara yang tepat adalah melakukan imobilisasi tadi," kata Herlina.

Meski Kasus gigitan ular berbisa cukup tinggi, Herlina menambahkan, bukan berarti ular harus dibasmi. Sebab, ular adalah penyeimbang di ekosistem kita.

"Ular bukan untuk dibunuh apalagi diperdagangkan. Mereka punya habitat, yang kalau terancam akan bertindak defensif. Ular Juga penyeimbang dalam ekosistem karena memburu tikus yang jadi hama buat petani," katanya.

Sering Salah

Adviser WHO untuk kasus gigitan ular di Indonesia, Tri Maharani
Adviser WHO untuk kasus gigitan ular di Indonesia, Tri Maharani. (Liputan6.com/Huyogo Simbolon)

Penanganan kasus gigitan ular di Indonesia ternyata masih menjadi permasalahan yang patut disoroti. Tidak sedikit pihak yang melakukan kesalahan prosedur penanganan sehingga mengakibatkan efek buruk bagi korban gigitan ular.

Adviser WHO untuk kasus gigitan ular di Indonesia, Tri Maharani menyebutkan, persepsi yang menyebutkan bisa ular yang masuk ke tubuh melalui pembuluh darah adalah salah.

"Persepsi salah adalah kita menganggap racun yang dikeluarkan ular lalu masuk tubuh manusia itu lewat pembuluh darah. Padahal disebarkan lewat kelenjar getah bening," kata Tri.

Bertolak dari persepsi tersebut, banyak kalangan menganggap bisa dapat dikeluarkan dengan cara disayat atau cara lain seperti diikat dengan kencang.

"Cara penanganan gigitan ular yang tepat adalah imobilisasi, membuat korban tidak banyak bergerak," katanya.

Menurut Tri, ciri gigitan ular yang berbisa dapat dilihat secara fisik. Bahkan, ciri fisik ini bisa dikenal banyak atau tidaknya racun yang masuk ke dalam tubuh.

Pada kasus gigitan Cobra misalnya, jika Hematotoksik menyebabkan bengkak pada tubuh dan pendarahan itu tandanya venom atau racunnya banyak. Tapi kalau tergigit sampai 48 jam hanya bengkak saja berarti venomnya sedikit.

"Jadi tergantung pada bisa ular yang masuk. Ketika sudah terjadi sesak nafas memang hitungannya detik. Karena ketika kita tidak bisa bernapas karena otot-otot tubuh lumpuh maka oksigenasi di dalam tubuh kita hanya bertahan empat menit saja, sedangkan jantung hanya 10 menit," ujar Tri.

Karena itu, pada korban gigitan ular perlu dilakukan imobilisasi agar kelenjar getah bening tidak menyebarkan racun.

"Imobilisasi akan membuat kelenjar getah bening tidak menyebarkan isinya ke seluruh tubuh, kalau dia bisa membuat itu 48 jam berarti dia sudah melampaui masa di mana venom itu bisa merusak organ menurut WHO," kata Tri.

Simak video pilihan di bawah ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya