Ada Nama Sri Mulyani di Sela Pertemuan JK dan Buya Syafii

JK dan Buya Syafii Maarif juga berbincang mengenai susunan kabinet Jokowi untuk mengisi pemerintahan yang akan datang.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 15 Agu 2019, 16:31 WIB
Diterbitkan 15 Agu 2019, 16:31 WIB
Buya Syafii
Ahmad Syafii Maarif, mantan ketua PP Muhammadiyah

Liputan6.com, Yogyakarta - Sebelum membuka Kongres Pancasila XI di UGM, wakil presiden (wapres) Jusuf Kalla (JK) menyambangi mantan ketua PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif di kediamannya, Kamis (15/8/2019). Selain menjenguk Buya Syafii yang sedang dalam masa pemulihan, keduanya juga berbincang mengenai susunan kabinet Jokowi untuk mengisi pemerintahan yang akan datang.

"Sri Mulyani disebut, tetapi tidak tahu jadi Menko atau tetap menteri keuangan," ujar Buya Syafii seusai bertemu dengan JK.

Ia berbincang dengan JK perihal kabinet yang harus seimbang komposisi partai, latar belakang daerah Jawa dan luar Jawa, serta gender. Meskipun tidak merekomendasikan nama menteri untuk kabinet yang akan datang, Buya Syafii berpendapat menteri yang dipilih harus profesional, punya integritas, dan patriot.

"Profesional bukan antipartai, harus petarung juga, jangan yes yes saja, melainkan bisa memberikan masukan ke presiden berdasarkan fakta," ucapnya.

Buya menilai pekerjaan rumah yang harus diselesaikan adalah ketimpangan sosial yang sudah ada sejak Indonesia merdeka dan belum pernah selesai. Rakyat perlu diuwongke (dimanusiakan) dan itu bergantung pada orang-orang yang masuk ke jajaran kabinet baru.

Ia menilai para menteri jangan cekcok, seperti yang pernah terjadi antara menteri perdagangan dan menteri pertanian, atau antara Luhut Binsar Panjaitan dengan Susi Pudjiastuti. Presiden harus bisa menengahi persoalan yang muncul dan tegas.

"Presiden Jokowi memasuki periode kedua tidak punya beban, jadi wujudkan itu, partai politik juga harus memunculkan kader-kader yang melawan korupsi dan narkoba," kata Buya Syafii.

Terkait pesan pada HUT ke-74 RI, Buya Syafii kembali mengingatkan negara ini berdiri karena darah dan revolusi, sehingga politikus tidak boleh melupakan sejarah. Desa banyak membantu ketika terjadi revolusi, sehingga persoalan desa tertinggal pun harus mendapat prioritas.

Ia menuturkan Indonesia negara besar dan tidak mudah membangun Indonesia. Oleh karena itu, pembangunan ke daerah tidak boleh menggunakan kacamata Jakarta. Isu NKRI bersyariah yang mencuat juga tidak ditanggapi olehnya.

"Tidak laku itu, tidak ada gunanya, itu penumpang gelap," ucap Buya Syafii.

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya