Makna Tersirat dalam Sajian Kuliner Nasi Jamblang Cirebon

Nasi jamblang menjadi bagian dari sejarah penting dalam pembangunan sehingga dapat membentuk karakteristik masyarakat Cirebon yang beragam.

oleh Panji Prayitno diperbarui 18 Agu 2019, 17:00 WIB
Diterbitkan 18 Agu 2019, 17:00 WIB
Makna Tersirat Dalam Sajian Kuliner Nasi Jamblang Cirebon
Ragam varian lauk pauk tersedia dalam kuliner Nasi Jamblang Cirebon. Foto (Liputan6.com / Panji Prayitno)

Liputan6.com, Cirebon - Nasi jamblang merupakan salah satu kuliner tradisional khas Cirebon yang menjadi salah satu ikon daerah Pantura Jawa Barat. Nasi dibungkus daun jati, dengan berbagai varian lauk pauk di meja prasmanan, nasi jamblang menjadi salah satu kuliner tradisional kebanggaan Indonesia.

Tidak sedikit warga Cirebon maupun pendatang menyukai kuliner khas daerah ini. Nasi jamblang pun dengan mudah ditemui di mana saja saat pengunjung berkeliling Cirebon.

Nasi jamblang banyak dijual warga Cirebon, dari penjual yang mangkal di pinggir jalan hingga keliling menjajakan ke rumah dan perkampungan. Para penikmat nasi jamblang Cirebon pun dari berbagai kalangan.

Saking banyaknya penjual nasi jamblang seakan membawa karakter tersendiri bagi warga Cirebon yang dikenal beragam sejak awal. Budayawan Cirebon Akbarudin Sucipto menuturkan, nasi jamblang hadir pada masa penjajahan Belanda.

"Ya orang-orang dulu di Cirebon melihat Nasi Jamblang itu nasi sedekah karena saat itu memang untuk dibagikan ke buruh pabrik gula dan spirtus bahkan proyek lain seperti bentangan Anyer Panarukan yang melewati daerah jamblang," tutur Akbar, Rabu, 14 Agustus 2019.

Seiring perjalanan kuliner tradisional dan perkembangan daerah, nasi jamblang Cirebon memberi ruang tersendiri bagi masyarakat lintas etnis.

Secara filosofi nasi jamblang menunjukkan karakter dan cara makan warga pesisir Cirebon. Tanpa disadari, konsumen sedang diajarkan tentang semangat Cirebon.

"Bayangkan saja konsep warungan yang sederhana seluruh konsumen dipaksa makan di atas alas daun jati. Lauk pauk yang awalnya populer di kalangan etnis tertentu sekarang hampir ada di atas meja prasmanan nasi jamblang," kata dia.

Sementara konsumen dipaksa duduk di atas kursi dan meja panjang berjejer satu sama lain. Penyaji nasi jamblang dengan senang hati melayani penikmat kuliner dari berbagai kalangan dan profesi.

Bagi Akbarudin, nasi jamblang salah satu kuliner tradisional yang memiliki karakter kuat, tidak tergantikan oleh kuliner lain meski dianggap mirip.

"Penikmat kuliner diajarkan makan dengan cara pesisiran seperti misalnya tidak menggunakan sendok garpu. Duduk sama rendah dan uniknya mereka semua melebur jadi satu ketika menyantap nasi jamblang tidak ada sekat ya seperti halnya Cirebon yang masyarakatnya beragam," ujar dia.

Rekam Jejak Keberagaman

Makna Tersirat Dalam Sajian Kuliner Nasi Jamblang Cirebon
Pengunjung tengah menikmati kuliner tradisional Nasi Jamblang khas Cirebon. Foto (Liputan6.com / Panji Prayitno)

Menurut Akbarudin, nasi jamblang masuk dalam salah satu model kuliner tradisional yang dapat membingkai rekam jejak karakter masyarakat Cirebon.

Notabene memiliki ego tersendiri namun terbuka menerima siapa saja serta cenderung memaksakan kehendak dengan makan di atas alas daun jati.

Nasi jamblang hadir pada tahun 1883 masa kolonial Belanda. Seorang pengusaha pribumi asal Jamblang, H Abdul Latief meminta istrinya Tan Piauw Lun atau akrab disapa Nyonya Pulung untuk menyediakan makanan berupa nasi dan lauk pauk secukupnya.

Menu tersebut kemudian dibungkus daun jati dan diberikan kepada buruh Pabrik Gula di Gempol (tahun 1847) dan Pabrik Spirtus di Palimanan (tahun 1883).

Nama Nasi jamblang sendiri selain proses pembuatannya di kawasan Jamblang, merupakan nama buah yakni Duwet, yang banyak tumbuh di daerah tersebut.

Pemberian sedekah dari nyonya Pulung mendapat antusias dan respon positif kaum buruh. Nyonya Pulung kemudian memutuskan untuk membuka usaha nasi jamblang di dekat rumahnya Blok Cengkang Barat Jamblang.

"Mungkin karena masakannya Nyonya Pulung enak jadi buruh pun berani membeli masakan beliau," kata H Emon Kusdiman keluarga penerus generasi ke lima Nasi Jamblang.

Saat itu lauk pauk nasi jamblang bagi para buruh hanya ada tujuh rupa, yakni dendeng laos, kebuk goreng (paru), sambel goreng, tempe goreng, tahu goreng, sayur tahu, dan ikan asin panjelan (cucut).

Memasuki generasi ketiga penjualan nasi jamblang semakin pesat dan mulai menyebar ke seluruh Kota Cirebon. Saat itu, keluarga yang mengembangkan nasi jamblang adalah Nyonya Tjas (Kure), Nyonya Sawit, Nyonya Asih, dan Nyonya Siti Jaenah.

Pada tahun 1932 sampai 1956, pengembangan usaha nasi Jamblang yang dikelola Ma Jaenah dan Bapa Kaprawi sebagai bagian dari generasi ketiga tak hanya untuk komoditas buruh pabrik dan kuli pelabuhan saja, melainkan dijual ke semua golongan masyarakat maupun pendatang saat itu.

Saat itu, usaha nasi jamblang Ma Jaenah dapat membuka lapangan pekerjaan bagi warga sekitar, baik sebagai pegawai, pemasok bahan baku, dan terutama sebagai pengeber atau penjaja nasi jamblang ke seluruh wilayah Cirebon.

"Dulu Ma Jaenah sampai rela jalan tujuh kilometer dari rumah di Jamblang sampai ke Pelabuhan. Kalau pengeber saat itu menjajakan jamblang sampai ke stasiun dan pabrik yang ada di Cirebon," sebut Emon.

Saat ini, varian lauk pauk yang ada dalam setiap warung Nasi Jamblang semakin beragam. Tercatat ada lebih dari 30 varian lauk pauk dalam kuliner nasi jamblang Cirebon.

"Ada rasa bangga kuliner yang awalnya leluhur kami buat untuk sedekah menjadi bagian dari mata pencaharian warga Cirebon. Kami sendiri bertekad akan melestarikan kuliner tradisional ini," dia menandaskan.

Saksikan video pilihan berikut ini: 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya