Balada Petani Cilacap Memperjuangkan Reforma Agraria

Saat itu, sekitar 200 massa yang mengaku dari Satgas SP Perkebunan menggeruduk lahan yang tengah diperjuangkan masyarakat dan mengancam akan merobohkan gubuk yang digunakan untuk koordinasi proses reforma agraria.

oleh Muhamad Ridlo diperbarui 06 Nov 2019, 09:00 WIB
Diterbitkan 06 Nov 2019, 09:00 WIB
Dialog Publik Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial, di Majenang, Cilacap, Jawa Tengah, Selasa (5/11/2019). (Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Dialog Publik Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial, di Majenang, Cilacap, Jawa Tengah, Selasa (5/11/2019). (Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Cilacap - LSM Serikat Tani Mandiri (Stam) mencatat, di Cilacap setidaknya ada 12 ribu hektare lahan yang status kepemilikannya tak jelas dan disengketakan. Karenanya butuh reforma agraria secepatnya.

Namun, reforma agaria memang tak semudah membalik uang kertas. Reforma agraria, butuh perjuangan panjang nan melelahkan. Beberapa di antaranya, bahkan menelan korban.

Kisah petani Cilacap memperjuangkan tanah barangkali tak termuat hanya dalam satu buku. Ada onak dan duri di sana. Namun, toh, petani tak pernah lelah. Mereka terus memperjuangkan apa yang diyakininya.

Dasarian awal Oktober 2019 lalu, misalnya, nyaris terjadi bentrok berdarah-darah antara petani dengan massa yang menyebut diri sebagai Satgas SP Bun. Sekitar 200 orang berseragam celana loreng dan kaus oranye mendadak menggeruduk Dusun Cikuya, Bantar, Wanareja.

Dusun yang biasanya adem ayem ini pun bergolak. Nyaris saja terjadi peristiwa berdarah-darah, jika saja emosi warga tak bisa diredam.

Saat itu, sekitar 200 massa yang mengaku dari Satgas SP Perkebunan menggeruduk lahan yang tengah diperjuangkan masyarakat dan mengancam akan merobohkan gubuk yang digunakan untuk koordinasi proses reforma agraria.

"Mereka datang. Memprovokasi masyarakat. Ini memunculkan bahaya konflik horizontal," ucap Kepala Desa Bantar, Kecamatan Wanareja, Zakaria Ansori, dalam dialog Publik Mendorong Kerjasama Mempercepat Pelaksanaan Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial yang digelar oleh LSM Stam, Epsitema Institute, Koalisi Keadilan Tenurial dan LSPP di Majenang, Cilacap, Selasa (5/11/2019).

 

"Kita tahu, dari pemerintah yang mulai dari RT sampai presiden, kta berupaya agar jangan sampai ada perselisihan. Ternyata, apa perbuatan yang dilakukan oleh SP Bun, itu sangat kurang diterima oleh masyarakat," dia menambahkan.

Zakaria menerangkan, proses reforma agraria yang dilakukan oleh warga Cikuya sudah sesuai dengan prosedur. Masyarakat memetakan dan mengajukan lahan seluas 72 hektare di Cikuya untuk diredistibusi kepada Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Kabupaten Cilacap yang langsung diketuai oleh bupati.

Simak video pilihan berikut ini:

Konflik Horizontal Hingga Pengerahan Kekuatan Alat Negara

Lahan seluas 72 hektare yang tengah diperjuangan warga Cikuya, Bantar, Wanareja, Cilacap, sebagai Tanah Objek Reforma agraria (TORA). (Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Lahan seluas 72 hektare yang tengah diperjuangan warga Cikuya, Bantar, Wanareja, Cilacap, sebagai Tanah Objek Reforma agraria (TORA). (Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Sejak 2001 warga Cikuya sudah memperjuangkan tanah ini. Namun, hingga 2019 ini, tanah tersebut belum resmi menjadi milik masyarakat. Karenanya, dia meminta agar pemerintah segera melaksanakan reforma agraria, seperti diatur dalam Perpres 86 tahun 2018 Tentang Reforma Agraria.

"Kami hanya butuh secarik kertas, bahwa Cikuya itu, dibebaskan dari HGU," dia menegaskan.

Ketua Presidium LSM Setam, Petrus Sugeng bilang, unjuk kekuatan massa lumrah terjadi dalam perjuangan reforma agraria. Dan itu bukan kali ini terjadi.

Selama puluhan tahun mendampingi petani memperjuangkan tanah, ia kerap mendapati petani dibenturkan dengan pihak-pihak lain.

Bahkan, beberapa di antaranya berujung penangkapan. Misalnya, kriminalisasi yang menimpa petani Sudjana, seorang kakek belasan cucu yang ditangkap dan dipenjarakan lantaran dituduh menyerobot tanah negara.

Hampir serupa, penangkapan dan penahanan juga terjadi di Kawunganten dan Patimuan di waktu sebelumnya. Mereka ditangkap dengan alasan berbeda, tetapi kerap kali dengan musabab yang mengada-ada.

"Potensi konflik memang tinggi," Sugeng mengungkapkan.

Namun begitu, Sugeng pun bersyukur Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Cilacap sudah terbentuk lewat Surat Keputusan (SK) Bupati Cilacap Nomor 592/925/19/Tahun 2019 Tentang Pembentukan Gugus Tugas Reforma Agraria di Kabupaten Cilacap.

Hanya saja, ia khawatir GTRA Cilacap tak bisa berlari kencang menyelesaikan konflik tenurial dan melaksanakan reforma agraria. Sebab nyaris seluruh anggota GTRA adalah pejabat pemerintah.

Harapan kepada Gugus Tugas Reforma Agraria Cilacap

Dialog Publik Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial, di Majenang, Cilacap, Jawa Tengah, Selasa (5/11/2019). (Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Dialog Publik Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial, di Majenang, Cilacap, Jawa Tengah, Selasa (5/11/2019). (Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Kondisi ini, dia bilang, berpotensi untuk menghambat percepatan reforma agraria. Sebagaimana diketahui, sebagai pejabat pemerintah, banyak tugas pemerintahan yang mesti diselesaikan dan pasti menyita waktu.

"Waktunya bisa jadi akan lebih banyak tersita untuk mengurusi tugasnya," katanya.

Dalam susunan anggota GTRA Cilacap yang langsung diketuai oleh Bupati Cilacap, dari 25 anggota, hanya ada dua yang bukan merupakan pejabat pemerintah. Ketua GTRA adalah Bupati Cilacap. Kemudian, Wakil Ketua GTRA Sekretaris Daerah Cilacap, Ketua Pelaksana harian adalah Kepala Kantor Pertanahanan Kabupaten Cilacap.

Anggota-anggota nonpejabat pemerintahan itu adalah satu anggota dari kalangan akademisi dan satu tokoh masyarakat di desa lokasi tanah objek reforma agraria.

Dia berharap pengisian personel GTRA yang sebagian merupakan pejabat pemerintahan tak mengganggu proses reforma agraria. Percepatan harus dilakukan lantaran reorma agraria legal.

"Perpres 86 Tahun 2018 tentang reforma agraria bisa menjadi acuan," dia menegaskan.

Perwakilan Koalisi Keadilan Tenurial M Hasbi mengemukakan, pemerintah bertugas untuk memfasilitasi proses-proses percepatan reforma agraria. Salah satunya adalah untuk menengahi atau memediasi konflik yang mungkin terjadi dalam proses reforma agraria.

"Harus clean and clear, itu adalah tugas GTRA, salah satu tugasnya adalah untuk memfasilitasi, memediasi atau menyelesaikan potensi konflik kepentingan yang terjadi," kata Hasbi.

Dia berharap, meski diisi oleh pejabat pemerintah GTRA Cilacap bisa bekerja maksimal. Dengan demikian, reforma agraria di Cilacap bisa dipercepat dan menjadi barometer bagi wilayah-wilayah lain Indonesia, terutama Pulau Jawa.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya