Liputan6.com, Jambi - Segalo nenek mamak, tuo tengganai, cerdik pandai, alim ulama. Kecik sakti gedang batuah, nan kecik idak kami sebut namo, nan gedang idak kami imbau gelarnyo.
Kami susun jari nan sepuluh, kami tundukkan kepalo nan satu, kami hatur sembah nan sebuah. Ampun-ampun kepada yang tuo, minta maaf kepado yang banyak.
Baca Juga
Inilah ungkapan singkat yang dalam adat Melayu Jambi disebut dengan seloko. Biasanya ungkapan seperti ini sering digunakan untuk pembuka suatu acara atau pertemuan adat.
Advertisement
Ungkapan ini memiliki maksud untuk memberi penghormatan kepada tetua adat, nenek mamak. Juga memberi penghormatan kepada seluruh yang hadir seperti termaktub dalam ungkapan: nan kecik idak kami sebut namo, nan gedang idak kami imbau gelarnyo. Ini memiliki maksud tidak ada perbedaan dan semua harus saling dihormati.
Kali ini, ungkapan tersebut saya kutip bukan untuk acara atau pertemuan adat. Namun hanya sebagai pembuka agar kita mengenal seloko Jambi, sebuah falsafah dan tatanan hidup masyarakat Melayu Jambi yang akan sarat makna juga enak didengar.
Hari beranjak siang di Kantor Bahasa Jambi, dengan mengenakan stelan batik bercorak cerah stabilo dan bermotif dedaunan, Nukman membongkar satu persatu folder di komputer jinjing miliknya yang berisi ratusan lebih kutipan seloko Jambi. Jumlah ini katanya, masih tak terhitung lagi dengan kutipan seloko yang belum terdokumentasi.
Nukman adalah Sekretaris Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) Jambi. Ia sudah lama bergelut dengan seluk-beluk tradisi lisan, khususnya seloko Jambi. Menurut dia, seloko dan adat merupakan yang tak bisa dipisahkan. Keduanya menjadi pengikat dan saling berhubungan.
"Kalau tidak ada adat, maka tidak ada seloko, begitu juga sebaliknya. Karena semuanya ada disitu mulai aturan, tata laku kehidupan masyarakat diatur di dalam seloko Jambi itu," kata Nukman kepada Liputan6.com, Rabu 19 Februari 2020.
Tidak gampang untuk memahami secara langsung makna yang terkandung di dalam seloko, karena biasanya seloko diungkapkan dengan bahasa kiasan. Meski menggunakan bahasa kiasan dan idiom lokal, seloko mempunyai makna dan falsafah, petuah-petuah serta nasihat-nasihat demi keselamatan dan kebaikan kehidupan manusia yang berkoherensi dengan kedudukan adat itu sendiri.
Misalnya seloko yang bersumber dari Dewan Kesenian Jambi, yang berbunyi Gepuk idak membuang lemak, cerdik idak membuang kawan. Seloko ini berisi makna atau ungkapan yang menyatakan sebaiknya menjadi orang yang arif bijaksana.
"Juga maknanya, ketika kita punya keinginan yang lebih maka jangan kemudian kita menyingkirkan orang atau menyalahkan orang. Tidak boleh saling sikut," ujar Nukman.
Dalam sebuah makalahnya Nukman mengatakan, seloko hadir dan diciptakan para tetua Jambi dulunya, sebagai sebuah ungkapan yang bersumber dari tradisi, hukum, dan norma adat istiadat. Seloko sebagai bagian dari tradisi, sehingga mempunyai peran menjadi penyadar bagi masyarakatnya.
Seloko adat tidak hanya dipakai sebagai bentuk tegur-sapa dan peringatan-peringatan semata. Namun seloko juga telah digunakan dalam berbagai bentuk upacara kerajaan sejak dulunya.
"Seloko selain berisikan rumusan, dalil, pedoman, dan petunjuk pelaksanaan adat istiadat dalam kehidupan masyarakat pendukungnya, juga menyiratkan beberapa hal yang berkenaan dengan beberapa konsep, seperti kesejahteraan masyarakat, doktrin, pendidikan dan keadilan," kata Nukman.
Seloko di Tengah Gempuran Informasi, Bagaimana Nasib Penuturnya?
Harus diakui perkembangan teknologi dan informasi dengan gawainya itu ibarat dua sisi mata pisau yang berbeda. Dengan keberadaan teknologi bagi generasi sekarang, maka mereka bisa semakin mudah belajar tentang seloko. Juga sebaliknya jika terlena, maka seloko Jambi akan kehilangan eksistensinya.
Namun di era sekarang ini, Nukman meyakini, seloko masih sangat relevan untuk terus dikenalkan kepada generasi muda sehingga tumbuh penutur-penutur baru. Harus diakui perkembangan saat ini, jumlah penutur seloko semakin berkurang. Rata-rata penutur sekarang rentang usianya 40 tahun keatas.
"Sekarang penuturnya bisa dihitung, sampai berapa lama seloko bisa bertahan dan apakah ini nanti berjalan di generasi penutur selanjutnya. Kalaupun bertahan di orang tua saja itu tidak bisa dihindari," katanya menjelaskan.
Generasi sekarang ini sebut dia, dengan teknologi bisa mengidentifikasi dan bahkan bisa mencatat seloko lewat digitalisasi, terutama seloko dalam rangkaian upacara perkawinan. Dengan demikian proses regenerasinya pun tidak berhenti sehingga kemudian ketika dituturkan tidak bisa sendiri karena seloko sangat berhubungan dengan lawan bicara.
"Mau tidak mau apa yang kemudian menjadi generasi muda sekarang paling tidak punya posisi positifnya, yaitu bisa belajar langsung di gawainya. Tapi di sisi lain ketika gawai terlalu mendominsi, maka penutur aslinya menjadi bisa kehilangan ruang untuk membantu proses regenerasinya," ujarnya.
"Kerja pelestarian dan regenerasi seloko harus segera dilalukan. Siapa yang akan melakukannya? Bisa pemerintah daerah, dinas atau juga lembaga adat setempat," sambungnya.
D isamping itu, literatur pendukung yang berkaitan seloko harus direproduksi dalam jumlah banyak seiring dengan kerja pelestariannya yang sedang berjalan. Hal ini kata Nukman, sangat penting karena seloko sangat berkaitan dengan masa lalu.
"Sekarang masih sangat minim literaturnya. Peruntukan dan klasifikasi makna, misalnya dalam kutipan seloko itu masuk diklasifikasi mana, pendidikan, hukum adat atau lainnya, dan klasifikasi itu setahu saya belum ada," kata dia.
Advertisement
Korelasi Seloko dan Bahasa Ibu
Setiap tanggal 21 Februari diperingati sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional (International Mother Language Day). Peringatan ini ditetapkan pada tahun 1999 oleh UNESCO, sebagai badan PBB yang mengurusi bidang kebudayaan dan pendidikan.
UNESCO mengajak negara-negara di seluruh dunia untuk ikut merayakan hari itu sebagai pengingat bahwa keragaman bahasa dan multilingualisme adalah aspek penting untuk pembangunan berkelanjutan.
Dilansir dari en.unesco.org, Direktur Jenderal UNESCO, Audrey Azoulay, dalam sebuah pesannya mengatakan, "Bahasa lebih dari sekadar alat komunikasi. Tapi ini adalah kondisi kemanusiaan kita. Nilai-nilai kita, keyakinan dan identitas kita tertanam di dalamnya.”
Berkenaan dengan itu. Bahasa ibu dan seloko Jambi sangat erat kaitannya. Seloko masih menurut Nukman, mencirikan kesantunan berbahasa masyarakat Melayu Jambi, seloko dituturkan oleh penutur yang memiliki kemampuan berbahasa adat. Tak hanya itu, seloko juga selalu dilafalkan menggunakan idiom-idiom lokal.
"Seloko dan bahasa ibu dalam konteks pelestarian ada kaitanya. Bahasa ibu itu kan hidup dengan komunitasnya, dan secara otomatis seloko ini menjadi bagian untuk pelestarian bahasa ibu," katanya.
Anak-anak sejak dini menurut dia, harus dikenalkan dengan idiom lokal, minimal di lingkungan keluarganya. Sehingga anak-anak bisa menjadi penutur atau penerus bahasa dari orangtuanya itu sendiri.
"Di dalam seloko itu tidak hanya idiom lokal, tapi ada tata dan aturan hidup. Jadi dengan kita mengenalkan seloko kepada anak, maka akan membantu anak mengenali isitilah-istilah yang ada dalam seloko itu," kata Nukman memungkasi.
Berat dipikul ringan dijinjing.
Ungkapan seloko Jambi ini bermakna tanggung jawab. Artinya sekarang sudah menjadi tanggung jawab kita bersama untuk melestarikan seloko dan bahasa ibu sebagai warisan dari tetua kita dulu agar tak hilang ditelan waktu.