Liputan6.com, Kupang - Constantino Soares, bocah 11 tahun warga Dusun Sukabisikun, Desa Litamali, Kecamatan Kobalima, Kabupaten Malaka, NTT, saban hari harus menahan derita. Dirinya dilahirkan tanpa anus, dan tepaksa buang air besar melalui saluran yang dibuat pada bagian perutnya.
Sepintas, anak dari pasangan Alvaro Pereira dan Agustinha Da Costa itu terlihat tak punya masalah gangguan kesehatan. Sama seperti anak-anak seusianya, Constatino juga tetap bermain bersama teman-temannya.
Namun, setiap hari di rumah maupun di sekolah, bocah kelas 2 Sekolah Dasar Katolik (SDK) Wemasa itu harus menenteng kantong plastik, untuk menampung kotoran dari lubang anus buatan agar tidak terkena badannya.
Advertisement
Sang ayah, Alvaro Da Costa mengatakan, sebelumnya Constantino sempat masuk sekolah di usia 6 tahun, namun putus karena malu sering dibully teman-temannya.
Baca Juga
"Constantino baru kembali bersekolah pada umur 8 tahun setelah dibujuk seorang guru," ujarnya kepada Liputan6.com beberapa waktu lalu.
Sejak lahir, Constantino Soares tak memiliki anus. Saat itu dirinya dibawa ke Puskesmas kemudian dirujuk ke RSUD Atambua hingga RSU WJ Yohanes Kupang.
Lagi-lagi di Kupang, Constantino tidak bisa ditangani, karena dokter ahli bedah yang dibutuhkan saat itu tidak ada. Selama beberapa hari, Constantino hanya bisa buang air besar melalui alat kelaminnya.
Solusi yang di dapat adalah, Constantino harus dibawa ke Rumah Sakit DR Soetomo Surabaya Jawa Timur untuk penanganan lebih lanjut.
Meski kekurangan biaya, namun atas bantuan keluarga dan saudara, pada 2019, Constantino diberangkatkan ke Surabaya dan hasilnya, dokter membuat lubang pembuangan di bagian perut.
"Dokter berpesan, setelah lima tahun baru Constantino dibawa kembali ke Surabaya untuk dipasang kembali saluran pembuangan air besar pada tempatnya," katanya.
Butuh Uluran Tangan
Terhimpit kemiskinan membuat Alvaro Pareira dan Agusthina Da Costa harus mengubur niatnya menyembuhkan anak mereka secara total.
Agusthina yang hanya berprofesi sebagai penenun dan suaminya petani kecil, membuat keluarga ini memiliki penghasilan tak menentu. Untuk menghidupkan anak-anaknya, Agusthina kadang harus rela berjalan kaki puluhan kilo menjajakan hasil tenunnya. Sementara, sang suami saban hari harus bermandi peluh membanting tulang di kebun kecil untuk mencukupi kebutuhan di rumah.
Hingga saat ini, permintaan dokter agar Contantino kembali menjalani operasi di Surabaya belum terkabulkan, karena terkendala biaya. Pasutri ini mengaku memiliki Kartu Indonesia Sehat (KIS), namun kesulitan biaya akomodasi ke Surabaya.
"Dokter minta setelah lima tahun, Constatino harus dioperasi, namun kami belum punya uang. Semoga anak saya mendapat mujisat dari Tuhan lewat uluran tangan dari berbagai pihak," ungkap Agusthina.
Advertisement