Kisah Pilu Bagir, Bocah di Bogor 7 Tahun Hidup Tanpa Anus

Ke mana-mana, Bagir harus menenteng plastik tahu yang menampung kotorannya dari anus buatan di perutnya.

oleh Achmad Sudarno diperbarui 26 Jul 2019, 18:00 WIB
Diterbitkan 26 Jul 2019, 18:00 WIB
Kisah Bocah Tanpa Anus di Bogor
M Bagir Sholehudin, bocah berusia 7 tahun di Bogor, Jawa Barat ini lahir tanpa memiliki lubang anus. (Liputan6.com/Achmad Sudarno)

Liputan6.com, Bogor - M Bagir Sholehudin, bocah berusia 7 tahun di Bogor, Jawa Barat ini lahir tanpa memiliki lubang anus. Sejak bayi, ia terpaksa Buang Air Besar (BAB) melalui saluran yang dibuat di bagian perutnya.

Sepintas, anak pertama dari pasangan Dedi Sholehudin (45) dan Siti Maryam (35) terlihat tak punya masalah gangguan kesehatan. Seperti anak-anak seusianya, Bagir tampak senang bermain dengan adiknya, Naura Farhana Salsabila (5) di rumahnya di Jalan Cinangneng, Kampung Baru RT 05/01, Bojong Jengkol, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor.

Namun, setiap hari di rumah maupun di sekolah, Bagir harus menenteng kantong plastik tahu untuk menampung kotoran dari lubang anus buatan agar tidak terkena badannya.

"Kantong kolostomi harganya mahal, jadi saya pakai kantong plastik yang biasa digunakan untuk membungkus tahu. Plastik itu bahannya lebih tipis," ujar Dedi, Kamis (25/7/2019).

Dedi menuturkan, anaknya sudah tiga kali menjalani operasi, tetapi tidak membuahkan hasil. Ia berharap, kelak Bagir bisa menjalani operasi lagi hingga memiliki anus seperti manusia normal lainnya.

Ketiadaan biaya yang membuat bocah laki-laki malang ini juga tidak bisa mendapat pengobatan lebih lanjut. Ayah Bagir hanya berprofesi sebagai house keeping salah satu hotel di Bogor dan ibunya guru honorer SMK Madani berpenghasilan kecil.

"Hampir semua rumah sakit yang mampu menangani penyakit anak saya tidak menerima klaim dari KIS," kata Dedi, Kamis (25/7/2019).

Dedi bercerita anaknya diketahui tidak mempunyai lubang anus lima hari setelah dilahirkan. Penyakit yang diderita anaknya berawal dari tidak bisa BAB, perut membuncit dan mengeluarkan darah di lubang anus.

"Awal lahir sampai umur empat hari BAB (buang air besar) masih normal. Di hari kelima nangis terus, perutnya kaya busung," ungkap Dedi.

Setelah memeriksakan penyakit yang diderita anaknya ke RSUD Cianjur, bocah mungil itu didiagnosis mengidap penyakit Atresia Ani atau disebut juga anus imperforata. Dengan begitu perlu dilakukan operasi dan pembuatan lubang anus darurat di perut sebelah kirinya supaya kotoran bisa keluar.

"Dulu belum ada BPJS, bayar cash. Karena biayanya mahal kita mengajukan keringanan ke Dinas Kesehatan dan disetujui 75 persen," ujar Dedi.

Sejak saat itu, Bagir BAB lewat lubang anus buatan. Supaya badannya tidak terkena tinja, di perut sebelah kiri dipasang kantong kolostomi untuk menampung kotoran yang keluar dari dalam usus.

Namun, setelah menjalani operasi, keadaan Bagir semakin memburuk. Setiap malam dia merintih kesakitan, terutama jika buang air besar. Nafsu makan pun berkurang. Kondisi ini membuat berat badannya kurus kering layaknya pengidap gizi buruk.

"Karena berat badannya turun terus, jadi enggak bisa ditangani lebih lanjut, hanya rawat jalan," tutur Dedi.

Bagir hanya memeriksa secara reguler dan perawatan menyeluruh pada kulit sekitar stoma agar dapat mempertahankan permukaan yang memadai dalam penempatan kantung.

 

Jatuh Bangun Menghidupi Keluarga

Kisah Bocah Tanpa Anus di Bogor
Sejak bayi, Bagir terpaksa buang air besar (BAB) melalui saluran yang dibuat di bagian perutnya. (Liputan6.com/Achmad Sudarno)

Setelah menjalani rawat jalan selama kurang lebih dua tahun, Bagir kembali menjalani operasi yang kedua karena saat itu terdapat benjolan di atas kemaluannya.

Operasi yang dilakukan di RS Hermina Sukabumi pun tidak membuahkan hasil. Padahal, Dedi sudah menghabiskan uang lebih dari Rp30 juta untuk biayai operasi dan obat-obatan hingga membeli kantong kolostomi.

"Karena enggak punya uang, operasi kedua ini saya pinjam sertifikat rumah orangtua sebagai jaminan. Untungnya pihak rumah sakit baik, enggak kasih batas waktu pelunasan," tuturnya sedih.

Setelah lunas, Bagir mendapat rujukan ke RS Hermina Bandung sekitar tahun 2016. Di rumah sakit itu, dia kembali dioperasi agar kondisinya normal. Bagian usus yang tak ada persyarafannya ini dibuang lewat operasi.

"Teman-teman banyak yang support, yayasan dari Jakarta ikut berdonasi bantu biaya operasi," ujar Dedi.

Akan tetapi, pada saat pemulihan anaknya setelah tindakan operasi yang ketiga ini Dedi mendapat kabar mengejutkan. Dia diberhentikan dari pekerjaannya tanpa alasan yang jelas. Tak hanya itu, ia juga mendapat kabar istrinya mengandung anak kedua.

Tubuh Dedi lemas. Ia semakin putus asa. Saat itu, ia hanya memikirkan dari mana dana untuk biaya transportasi ke rumah sakit dan kebutuhan sehari-hari anak-anak serta istrinya, sedangkan dia sudah tidak punya pekerjaan lagi.

"Walaupun anak kami belum sembuh, tapi Tuhan selalu memberi jalan rezeki untuk kami. Ada teman-teman yang bantu, ada juga yayasan yang masih peduli terus mendukung," kata dia.

Meski kondisi fisik anaknya belum juga ada perubahan, tetapi Dedi mengaku tetap bersyukur menerima karunia yang diberi oleh Tuhan.

Buah kesabaran dan keyakinannya, Dedi kembali diterima bekerja di sebuah hotel di Bogor sebagai house keeping sekitar pertengahan tahun 2018. Meskipun harus tinggal mengontrak di Bogor.

Istrinya pun demikian, setelah anak keduanya tumbuh besar, ia diterima bekerja sebagai guru honorer. Uang gaji mereka berdua setidaknya bisa untuk menutupi biaya hidup sehari-hari, membayar sewa kontrakan di Bogor, dan menyisihkan uang untuk kesembuhan anak pertamanya.

"Saya harus pindah ke Bogor karena pekerjaan saya di sana dan istrinya juga asli dari sana," kata dia.

Walau demikian, sebagai ayah, Dedi mengaku tidak pernah putus asa dengan keadaan putranya. Karena, ia pun melihat sang anak selalu semangat bersekolah dan tumbuh kembangnya tidak terganggu dengan kelainan itu.

"Terkadang memang suka kasihan, terutama saat bersekolah. Jika pantangannya dia makan, tubuhnya dilumuri kotoran yang keluar dari kantong plastik di perutnya," kata dia sedih.

Sebagai orang tua, Dedi merasa harus lebih kuat dari Bagir. Oleh karena itu, ia selalu berdoa dan hanya memikirkan bagaimana kelangsungan hidup Bagir ke depan.

Orangtua berharap ada tangan-tangan tulus para dermawan yang bersimpati untuk membantu mengoperasi buah hatinya, agar kelak dapat tumbuh dewasa seperti manusia normal yang memiliki anus.

 

Simak video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya