Liputan6.com, Sumenep Pada 2012, Unesco menetapkan Kabupaten Sumenep di Jawa Timur sebagai wilayah dengan jumlah Empu Keris terbanyak di Asia Tenggara. Badan khusus PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan itu mencatat jumlah empu mencapai 524 orang.
Setahun berselang, di momen Hari Jadi Sumenep yang diperingati tiap 31 Desember 2013. Bupati Sumenep KH Busyro Karim melengkali pengakuan UNESCO itu dengan mendeklarasikan Sumenep sebagai kota keris.
Advertisement
Baca Juga
Deklarasi itu sekaligus mengoreksi data UNESCO ihwal jumlah empu. Versi Pemkab Sumenep jumlah empu sebenarnya mencapai 648 orang, lebih banyak ketimbang yang didata UNESCO.
Para empu keris itu tersebar di lima desa yaitu Aeng Tongtong, Pore, Talang, Palongan dan Aeng Bejeh. Lima desa ini terletak di tiga Kecamatan yaitu Saronggi, Lenteng dan Bluto.
Namun empu banyak bermukim di Aeng Tongtong, desa yang belakangan dinisbatkan sebagai “desa keris”. Seng Tongtong terbagi menjadi tiga dusun yaitu Duko, Gendis dan Endenah. Dari tiga dusun itu, Duko diyakini sebagai muasal para empu keris di Sumenep.
Mengukur Kualitas Keris
Duko sendiri, sebuah kampung yang tenang, di kanan dan kiri jalan, kebun jagung tumbuh subur. Satu dua sepeda motor lewat menbonceng rumput pakan ternak. Suasana itu sama sekali tak menggambar Aeng Tong tong sebagai kampungnya para empu.
“Anda tiba di jam yang salah, sekarang ini jam istirahat,” kata Abdus Siddik, salah satu empu di sana.
Baru selepas Duhur, suasana Duko sebagai kampung para empu barulah terasa. Di kejauhan terdengar suara besi ditempa sesekali diselingi desingan mesin gerindra dan gesekan serkel.
Kualitas sebuah keris rupanya ditentukan oleh siapa yang memesan. Kualitas paling rendah yaitu keris yang dijual kodian. Keris yang jadi dalam tiga jam ini, kwalitasnya paling rendah baik dari segi bahan dan motif pamornya. Harganya pun di kisaran 100 hingga 300 ribu perbiji.
Untuk keris pesanan pedagang, waktu pembuatan bisa hitungan minggu bahkan bulan. Kalau pesanan biasanya dilengkapi dengan gambar untuk ditiru bentuk dan motifnya. Harganya di atas satu juta rupiah. Makin rumit pamornya, makin mahal harganya.
Untuk pesanan kolektor, kata Siddik, sangat jarang dan hanya empu tertentu saja yang dapat order. Waktu pembuatannya pun tak sembarangan, biasanya kolektor menentukan hari dan jam berapa dimulai pembuatan.
Biasanya berdasarkan wangsit. Sebelum keris mulai dibuat, biasanya diadakan tumpengan, bahkan ada yang meminta si empu berpuasa selama pembuatan.
"Makanya kalau yang mesan seorang kolektor harga pasti mahal, karena banyak ritualnya, walau kadang motif kerisnya sederhana,” terang Siddik.
Simak video pilihan berikut:
Advertisement
Pamor Keris Madura
Pengrajin keris Aeng Tongtong tidak monoton hanya membuat keris khas Madura. Mengikuti tren pasar sangat penting agar asap dapur tetap ngebul. Keris motif Mataram yang kini sedang merajai pasaran.
Keris Mataram lebih diminati karena lebih beragam bentuknya dan pamornya, ada yang dinamai pamor sangkelat, singosari, barong dan brojol. Pamor keris Madura sendiri tak terlalu beragam. Yang paling populer pamor kulit semongko, blarak dan bulu ayam.
“Motif kerus madura lebih kasar dan timbul, keris mataram lebih halus,” ujar Siddik.
Keris produksi Aeng Tongtong, umumnya di pasarkan dalam negeri. Mulai dari Surabaya, Malang, Kediri, Jogja hingga Jakarta. Dari pedagang inilah produk keris menyebar ke luar negeri seperti Malaysia, Brunai hingga Belanda.
Bagi para empu di Aeng Tongtong, pengakuan Unesco sedikit banyak membantu kerajinan terus bertahan. Sejak diakui Unesco banyak wisatawan baik lokal maupun mancanegara datang langsung ke Aeng Tongtong untuk melihat langsung pembuatan keris.
Muasal Empu Sumenep
Sejarah keris di Sumenep tidak lepas dari sosok Empu Kelleng yang hidup pada awal-awal Keraton Sumenep. Karena keahliannya itu, ketika wafat, Empu Keliling dimakamkan di kompleks makam raja-raja Sumenep Asta Tinggi.
Empu Kelleng mewariskan keahliannya pada seorang muridnya Joko Tole. Joko Tole sendiri merupakan anak Raja Sumenep yang sejak lahir dibuang ke hutan. Hutan itu kini dikenal dengan nama Desa Prenduan.
Selama bayi, Joko Tole disusui oleh seekor kerbau milik Empu Kelleng. Joko Tole kemudian dirawat oleh Empu Kellang dan menjadi muridnya yang paling pandai. Di Madura, hingga kini sosok Joko Tole menjadi legenda seorang kesatria.
Advertisement