Lodeh Tujuh Rupa Jadi Tolak Bala ala Yogyakarta

Sayur lodeh tujuh rupa ini terdiri dari tujuh bahan yang masing-masing memiliki filosofi

oleh Switzy Sabandar diperbarui 27 Mar 2020, 01:00 WIB
Diterbitkan 27 Mar 2020, 01:00 WIB
Lodeh Tujuh Rupa
Lodeh tujuh rupa jadi tradisi masyarakat Yogyakarta untuk menolak bala (Liputan6.com/ Switzy Sabandar)

Liputan6.com, Yogyakarta - Di tengah pandemi Corona COVID-19, sayur lodeh sempat ramai dibicarakan masyarakat Yogyakarta. Ada yang bilang, perintah Sultan HB X menyuruh rakyat Yogyakarta untuk membuat sayur lodeh supaya terhindar dari pagebluk atau bencana.

Sayangnya, informasi itu hoaks. Sultan HB X yang juga menjabat sebagai Gubernur DIY tidak pernah membuat aturan atau memerintahkan rakyatnya untuk membuat sayur lodeh agar terhindar dari Corona COVID-19.

Namun soal lodeh yang konon katanya sebagai sayur tolak bala memang sudah menjadi kepercayaan dan tradisi masyarakat Yogyakarta. Tidak hanya ketika wabah atau bencana terjadi, dalam hajatan-hajatan besar seperti memulai acara pernikahan pun tak jarang sayur lodeh juga dihidangkan.

“Tujuannya untuk tolak bala, disebut lodeh tujuh macam atau tujuh rupa,” ujar Kamaluddin Purnomo, takmir Masjid Pathok Negoro Plosokuning Sleman, Kamis (26/3/2020).

Ia menuturkan dalam Islam hal ini disebut tafaul yang berarti atau mengambil tanda baik atau melawan yang dianggap sial. Masyarakat Plosokuning, Minomartani, Ngaglik, Sleman pun sudah terbiasa dengan tradisi ini. Selepas salat Jumat pekan lalu, ibu-ibu memasak lodeh tujuh rupa yang dimakan bersama-sama dengan warga.

Sesuai sebutannya, sayur lodeh tujuh rupa ini terdiri dari tujuh bahan, meliputi, kluwih, cang gleyor, terung, kulit melinjo, waluh, godhong (daun) so, dan tempe. Bahan-bahan itu ternyata memiliki filosofi masing-masing.

Lodeh tujuh rupa jadi tradisi masyarakat Yogyakarta untuk menolak bala (Liputan6.com/ Switzy Sabandar)

Berikut makna dari tujuh bahan lodeh.

1. Kluwih: kaluwargo luwihono anggone gulowentah gatekne (keluarga dilebihkan dalam memberi nasehat dan perhatian)

2. Cang gleyor: cancangen awakmu ojo lungo-lungo (ikatlah badanmu, jangan pergi-pergi)

3. Terong: terusno anggone olehe manembah Gusti ojo datnyeng, mung yen iling tok (lanjutkan tingkatkan dalam beribadah, jangan hanya jika ingat saja)

4. Kulit melinjo: ojo mung ngerti njobone ning kudu reti njerone babakan pagebluk (jangan hanya paham akibatnya saja, tapi harus paham secara mendalam penyebab wabah)

5. Waluh: uwalono ilangono ngeluh gersulo (hilangkan keluhan dan rasa galau –harus tetap semangat-)

6. Godong so: golong gilig donga kumpul wong sholeh sugeh kaweruh babakan agomo lan pagebluk (bersatu padu berdoa bersama orang yang saleh, pandai soal agama, juga wabah penyakit)

7. Tempe: temenono olehe dedepe nyuwun pitulungane Gusti Allah (benar-benar fokus mohon pertolongan kepada Tuhan)

Menurut Kamal, upaya melawan Corona dilakukan secara lahir dan batin. Selain optimisme yang disimbolkan dalam lodeh tujuh rupa, warga juga menjaga kebersihan sesuai dengan anjuran serta selalu berdoa.

“Masyarakat Jawa kaya filosofi dalam menyikapi banyak hal, salah satunya lodeh tujuh rupa ini,” ucapnya.

Simak Video Pilihan Berikut Ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya