Dugaan Eksploitasi Hutan Jadi Penyebab Banjir Besar Siberut Mentawai

Banjir besar melanda Pulau Siberut Kabupaten Mentawai, Sumatera Barat pada 30 April hingga 3 Mei 2020 dengan ketinggian mencapai 2,5 meter.

oleh Novia Harlina diperbarui 06 Mei 2020, 01:00 WIB
Diterbitkan 06 Mei 2020, 01:00 WIB
Banjir di Siberut Kepulauan Mentawau, Sumatera Barat.
Banjir di Siberut Kepulauan Mentawau, Sumatera Barat. (Liputan6.com/ ist)

Liputan6.com, Kepulauan Mentawai - Banjir besar melanda Pulau Siberut Kabupaten Mentawai, Sumatera Barat pada 30 April hingga 3 Mei 2020 dengan ketinggian mencapai 2,5 meter. Setidaknya 5 kecamatan terdampak bencana tersebut, 2 rumah hanyut dan 1.796 rumah terendam.

Bencana yang terus berulang setiap tahun tersebut, selain faktor ilmiah tingginya curah hujan, tetapi juga ditengarai karena kesalahan kebijakan pemanfaatan ruang ada di daerah-daerah itu.

Direktur Yayasan Citra Mandiri Mentawai (YCMM) kepada Liputan6.com, Selasa (5/4/2020), Rifai mengatakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memberikan izin pemanfaatan kayu hutan alam (HPH) dan hutan industri (HTI) di daerah tersebut.

"Kami menilai model pemanfaatan hutan seperti itu tidak tepat, karena daerah hulu dan daerah tangkapan airnya telah mengalami eksploitasi hutan atau kayu," ujarnya.

Padahal, Pemerintah Kabupaten Kepulauan Mentawai telah menetapkan dalam RTRW bahwa daerah-daerah tersebut dikelola melalui skema perhutanan sosial, yang akan dikelola oleh masyarakat adat.

Dia mengatakan, hal itu kandas setelah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memberikan izin HPH dan HTI kepada sejumlah perusahaan.

Jika memang secara alamiah, daerah-daerah tersebut adalah daerah yang rawan banjir, maka curah hujan tinggi akan selalu mengakibatkan bencana, sehingga mitigasi perlu dilakukan.

Seharusnya pada daerah-daerah tersebut tidak boleh terjadi deforestasi, baik karena izin HPH maupun HTI. Sedapat mungkin tak ada bukaan lahan dalam skala luas.

Rifai menjelaskan model pemanfaatan alam yang lebih tepat menurut analisis pihaknya adalah 'Tinungglu' atau pengelolaan sumber daya khas masyarakat adat Mentawai.

Saksikan juga video pilihan berikut ini:

Perusahaan HPH dan HTI di Siberut

Banjir di Siberut Kepulauan Mentawau, Sumatera Barat. (Liputan6.com/ ist)
Banjir di Siberut Kepulauan Mentawau, Sumatera Barat. (Liputan6.com/ ist)

Rifai memaparkan, daerah hulu sungai Siberut yakni, Sarereiket dan Silakoinan yang menyebabkan banjir di Desa Rogdok atau Madobag dan Salappak merupakan bekas konsesi HPH PT CPPS.

Kemudian pada daerah hulu dan daerah tangkapan air sungai Sikabaluan di Kecamatan Siberut Utara, yang menyebabkan banjir di Bojakan, Sotboyak, Monganpoula, dan Sikabaluan merupakan daerah konsesi HPH SSS yang masih beroperasi.

Banjir dari air sungai yang menggenangi Dusun Simoilaklak dan Sirisurak di Desa Saibi Kecamatan Siberut Tengah, lanjutnya merupakan daerah tangkapan airnya merupakan bagian wilayah konsesi HPH Koperasi Andalas Madani.

"Kini, bahkan di daerah itu terbit izin baru untuk HTI PT BAE," ucapnya.

Sementara, di daerah Malancan yang salah satu dusunnya juga mengalami banjir, dulu bekas konsesi IPK KUD S dan IPK KSU MS dengan luas konsesi seluas 1.200 hektare.

Oleh sebab itu pihaknya menuntut, Pemerintah atau KLHK harus berani menarik izin pemanfaatan hutan yang sudah dikeluarkan, meninjau ulang kembali kelayakan izin HTI PT BAE.

"Perusahaan pemegang izin, juga bisa mengembalikan izin yang sudah diperoleh sebagai sebuah bentuk tanggungjawab mereka terhadap alam, lingkungan dan masyarakat," Rifai menambahkan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya