Beda Kerupuk Kulit, Dorokdok, dan Cungur Khas Garut, Cicipi Kerenyahannya

Garut memiliki penganan khas yakni kerupuk kulit. Ada 3 jenis kerupuk berbahan kulit sapi dan kerbau. Namun, apa yang membedakan?

oleh Jayadi Supriadin diperbarui 25 Feb 2021, 07:00 WIB
Diterbitkan 25 Feb 2021, 07:00 WIB
Nampak tiga produk olahan kerupuk dari bahan dasar kulit yang dihasilkan pengrajin industri kerajinan kulit Sukaregang, Garut, Jawa Barat.
Nampak tiga produk olahan kerupuk dari bahan dasar kulit yang dihasilkan pengrajin industri kerajinan kulit Sukaregang, Garut, Jawa Barat. (Liputan6.com/Jayadi Supriadin)

Liputan6.com, Garut - Jika Anda jalan-jalan ke kota Intan Garut, Jawa Barat, belum afdol rasanya jika tidak menikmati kerupuk kulit, khas Sukaregang Garut. Ada tiga varian yang bisa dinikmati, selain kerupuk kulit, ada juga dorokdok dan kerupuk cungur. Tiga kerupuk berbahan dasar sama dengan cara pengolahan yang berbeda.

Salah satu perajin kerupuk kulit, Undang Sudrajat, 71 tahun, mengatakan olahan makanan kerupuk kulit, seperti kerupuk cungur ini memang sudah ada sejak lama di wilayah kawasan industri pengolahan kulit Sukareng.

"Bahannya memang sama kulit, tapi bagian dalam yang kami gunakan, sementara kulit bagian luar digunakan untuk jaket dan kerajinan lainnya," kata dia, Rabu (24/2/2021).

Ada dua jenis kulit yang biasa digunakan untuk kerajinan makanan olahan kulit, yakni kulit sapi dan kerbau, sementara kulit kambing dan domba dengan tekstur lebih tipis lebih cocok digunakan untuk produk jaket dan sejenisnya.

"Sayang juga kalau (kulit domba) dimakan, mendingan diolah menjadi jaket," ujarnya sambil tersenyum ramah.

Untuk kulit kerbau, produk yang dihasilkan berupa kerupuk kulit, sementara kulit sapi produk yang dihasilkan berupa dorokdok dan kerupuk cungur.

“Soal proses pembuatan semuanya berbeda, walaupun pada akhirnya sama-sama digoreng (menggunakan minyak) untuk menjadi kerupuk,” ujarnya.

Dalam pembuatan kerupuk kulit, bahan dasar kulit bagian dalam dari kulit kerbau, setelah melalui proses pembersihan, kemudian bahan kulit digodok dalam sebuah wajan hingga akhirnya mekar, kemudian direndam dalam air tawar selama satu malam, sebelum dijemur di bawah terik matahari.

“Nanti setelah dijemur baru diberi bumbu, kemudian kembali dijemur sebelum akhirnya digoreng,” kata dia.

Sementara dalam proses pembuatan dorokdok, setelah bahan utama dari bagian dalam kulit sapi dibersihkan, di godok hingga mengembang kemudian dijemur sebelum akhirnya diberi bumbu dan dijemur kembali hingga kering sebelum digoreng.

Simak Video Pilihan Berikut Ini:

Proses Pembuatan

Bahan dasar dorokdok Sukaregang, Garut, Jawa Barat, yang berasal dari kulit sapi nampak tengah mengalami proses pengeringan di bawah terik sinar matahari.
Bahan dasar dorokdok Sukaregang, Garut, Jawa Barat, yang berasal dari kulit sapi nampak tengah mengalami proses pengeringan di bawah terik sinar matahari. (Liputan6.com/Jayadi Supriadin)

Namun, khusus dalam penggorengan dorokdok, proses yang dilakukan terbilang lama, dengan memakan waktu antara 8-10 jam penggorengan dengan intensitas api ukuran kecil.

“Setelah itu bahan dorokdok dikeringkan sehari, hingga akhirnya digoreng secara normal layaknya menggoreng kerupuk seperti biasa hingga berkembang,” kata dia.

Terakhir, proses pembuatan kerupuk cungur memang berbeda. Menggunakan bahan dasar campuran kulit sapi dan tepung tapioka, bahan kulit sapi terlebih dahulu melewati proses blender hingga lembut sebelum dicampur tapioka.

Kemudian setelah bahan tercampur, dibuat ukuran sesuai kebutuhan hingga akhirnya dijemur sebelum kemudian melalui proses penggorengan.

Komposisi kulit sapi hanya sekitar 20 persen. Meski begitu, rasa kulit sapi masih bisa dinikmati dengan sensasi kegurihan kerupuk.

"Dibanding dorokdok dan kerupuk kulit, kerupuk cungur memang paling mudah," kata dia.

Khusus soal rasa, dari ketiga varian kerupuk bahan dasar kulit kerbau dan sapi, hanya dua rasa yang biasa disajikan yakni pedas dan asin.

"Mungkin ke depannya dicobakan rasa lain," ujarnya.

Undang menyatakan, meskipun mampu bertahan, tetapi masuknya musibah pandemi Covid-19 dalam setahun terakhir cukup membuat usahanya kelimpungan.

"Biasanya dua tiga hari barang habis, sekarang bisa dua hingga tiga minggu barang baru habis," kata dia.

Lambannya penjualan, ujar dia, akibat rendahnya jumlah kunjungan tamu, sejak pemerintah menerapkan aturan Pembatasan Sosial Berkala Besar (PSBB).

"Penjualan kami itu sebagian besar ditujukan buat pengunjung, kalau masyarakat lokal masih terbilang sedikit," kata dia.

Undang berharap dengan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) berskala mikro yang diterapkan Pemerintah Daerah (Pemda) Garut, pengganti PSBB, tingkat kunjungan tamu kembali normal.

"Asal tamu banyak jualan kami sangat terbantu, sebab merekalah pasar terbesar pembeli kami," ujarnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya