Liputan6.com, Kutai Kartanegara - Nur Hindra tiba-tiba mengerang kesakitan. Wajah perempuan berusia 38 tahun itu meringis menahan rasa sakit.
Nur adalah warga Jalan Poros Samarinda-Anggana, Gang Cahaya, Kecamatan Anggana, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Kulit di wajahnya tampak mengelupas. Sementara di sekitar tempat tidurnya banyak berhamburan sisa kulitnya yang mengelupas.
“Kanker kulit bilang orang-orang,” kata Nur Hindra saat ditemui di rumahnya, Minggu (14/3/2021).
Advertisement
Baca Juga
Meski kulitnya mengelupas, namun efeknya sungguh menyaktikan. Seluruh tubuhnya akan terasa sakit, terutama di persendian.
“Rasanya gerah, panas. Semua badan sakit sekali dan kita tidak bisa apa-apa selain berbaring,” sambungnya.
Nur tidur di ruang tamu rumahnya yang sangat sederhana. Dinding rumah hanya berbahan asbes, beratap seng, tanpa plafon. Sebuah lemari berdiri melintang yang jadi pemisah ruang tamu dengan dapur.
Siang itu, saat ditemui teman-temannya, Nur masih bisa bercanda sambil berbaring ditutup kain seprai. Beberapa menit tertawa lepas, tiba-tiba Nur mengerang kesakitan. Suasana berubah menjadi pilu.
Nur Hindra sempat berobat ke Kota Samarinda. Namun, BPJS Kesehatan miliknya tidak aktif. Upaya pengobatan pun urung dilakukan.
“Sebenarnya kalau lebih cepat dapat obatnya, bisa sembuh dan normal,” sebutnya.
Obat yang sangat dibutuhkannya adalah Sandimun. Namun harganya sangat mahal.
“Kalau obat itu diminum rutin, paling tidak saya tidak kesakitan. Kalau rutin, sakitnya bisa hilang,” sambungnya.
Untuk empat kepeng Sandimun di apotek, harganya lebih dari Rp500 ribu. Dalam satu kepeng, hanya berisi empat butir obat.
“Saya harus minum empat butir Sandimun di pagi hari, dan empat butir lagi saat sore. Kalau itu rutin diminum selama dua pekan berturut-turut, saya bisa hidup normal kembali,” paparnya.
Hanya saja, ketiadaan biaya membut Nur Hindra harus mengirit penggunaan obat. Kakak kandungnya membelikan obat tersebut beberapa hari lalu.
Nur berharap ada bantuan dari pihak lain, sebab pengobatannya hanya bisa dilakukan di Kota Samarinda. Dia butuh bantuan untuk diantar menemui dokter yang bisa menangani penyakitnya.
Simak juga video pilihan berikut
Keluarga Tak Mampu
Nur Hindra hidup berdua Bersama ibunya, Rohati, yang berusia 66 tahun. Sebelum sakit, Nur bekerja serabutan. Sementara ibunya hanya seorang tukang urut.
Saudaranya yang lain tinggal di tempat lain namun sulit untuk membantu lebih banyak. Kesulitan ekonomi ini berdampak pada upaya pengobatannya.
Sekretaris Desa Sungau Meriam, Sariati menjelaskan, Nur Hindra dan ibunya telah masuk dalam Program Keluarga Harapan (PKH). Bantuan rutin telah diberikan kepada keluarga ini untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya.
Soal pengobatan, Pemerintah Desa Sungai Meriam telah berusaha mengaktifkan kembali BPJS Kesehatannya. Sedangkan untuk upaya pengobatan ke Kota Samarinda, pihak desa akan berupaya menyediakan transportasi.
“Kami akan damping beliau untuk proses pengobatannya. Ini lagi kami siapkan transportasi, termasuk siapa yang mendampingi,” ujar Sariati.
Sariati kemudian menunjukkan sebuah akun facebook milik Nur Hindra. Wajah cantik tampak menghiasi foto profil akun tersebut.
“Dia kadang sakit hati lihat fotonya sendiri, berbeda jauh dengan kondisinya saat ini,” katanya.
Nur Hindra mengaku alami gejala aneh pada kulitnya sejak 13 tahun silam. Gejala awalnya seperti cacar yang mengelupas dan melepuh kering.
“Sepertinya ini faktor genetik, turunan,” kata Nur Hindra.
Ketiadaan biaya membuat Nur lebih sering mengabaikan penyakit itu. Kini Nur harus berjuang melawan penyakitnya karena sudah semakin parah.
Dia butuh dokter spesialis untuk memastikan penyakit yang diidapnya, termasuk tingkat keparahannya.
Advertisement