Gelar Kompetisi Esai, CTSS Kembangkan Sains Berkelanjutan Kearifan Lokal

CTSS mempunyai beragam misi, seperti mencari solusi dalam menyelesaikan permasalahan yang kompleks, dengan menggunakan pendekatan transdisiplin di sektor kearifan lokal.

oleh Nefri Inge diperbarui 17 Apr 2021, 19:30 WIB
Diterbitkan 17 Apr 2021, 19:30 WIB
Gelar Kompetisi Esai, CTSS Harapkan Lahirnya Sains Berkelanjutan
Narasumber Kuliah Umum dan pengumuman pemenang 2nd Essay Contest CSTT (Dok. Humas CSTT / Nefri Inge)

Liputan6.com, Palembang - Sebagai pusat studi pengembangan ilmu-ilmu terbaru tentang keberlanjutan atau sustainability, Center for Transdisciplinary and Sustainabiliy Sciences (CTSS) mempunyai beragam misi.

Salah satunya mencari solusi dalam menyelesaikan permasalahan yang kompleks, dengan menggunakan pendekatan transdisiplin. Di mana, kearifan lokal atau tradisional, menjadi sumber pengetahuan yang penting.

Upaya tersebut diwujudkan dengan diselenggarakannya Essay Contest ke-2 di tahun 2021, yang diharapkan lahirnya ‘new insights’, yang dapat menjadi inspirasi dalam melahirkan sains berkelanjutan atau sustainability sciences.

Kompetisi esai yang digelar dari tanggal 4 Januari hingga 16 April 2021 lalu, diikuti oleh 75 orang peserta. Baik secara perorangan atau kelompok, dari kategori mahasiswa sarjana (S1) maupun pascasarjana (S2-S3) di Indonesia.

Pada hari Jumat (16/4/2021), panitia menggelar kuliah umum dan pengumuman pemenang 2nd Essay Contest, yang turut didukung oleh The Samdhana Institute.

Kepala CTSS IPB University Prof Damayanti Buchori mengatakan, kompetisi esai tersebut bertujuan menggali informasi pengetahuan lokal, tentang sumber daya alam, terutama yang memiliki nilai-nilai keberlanjutan.

“Kami berusaha menggali, menemukan, mengawinkan, pengetahuan kearifan lokal dengan pengetahuan modern untuk menghasilkan sains berkelanjutan,” katanya, Sabtu (17/4/2021).

Direktur Jenderal Budaya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) Hilmar Farid, mengapresiasi penyelenggaraan essay contest tersebut.

Melalui kuliahnya yang berjudul Sains Teknologi dan Masyarakat: Mempraktikkan Teori dan Mentorikan Praktik, Hilmar menyebutkan bahwa proses menteorikan praktik, adalah proses pembentukan pengetahuan masyarakat berbasis tradisi adat atau kearifan lokal.

“Titik tolak saya, kenapa pembangunan bisa tidak berkelanjutan itu berasal dari sebuah problem yang saya kira laten, yaitu problem eksternalitas. Ini merupakan isu yang sering muncul dan biasa disebut invisible costs dari pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.

Ia mengatakan, ketika pembangunan perekonomian meningkat tanpa memperhatikan sosial dan lingkungan, akan terjadi peningkatan kerusakan lingkungan maupun masyarakat itu sendiri. Dia menilai, saat pembangunan direduksi menjadi urusan pertumbuhan ekonomi, akan ada dampaknya.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini :

Membangun Sains Berkelanjutan

Gelar Kompetisi Esai, CTSS Harapkan Lahirnya Sains Berkelanjutan
Direktur Jenderal Budaya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) Hilmar Farid (Dok. CTSS / Nefri Inge)

“Akibatnya tidak hanya kerusakan lingkungan, tapi dampaknya memang lebih dari sekedar kerusakan lingkungan. Sehingga ketika ekosistem berubah, kehidupan masyarakat dalam ekosistem tersebut juga berubah secara mendasar,” katanya.

Hilmar menuturkan, pengetahuan dan aset knowledge yang diwariskan dari generasi ke generasi turut melemah.

Ia mencontohkan, seperti tradisi Sasi secara praktis saat ini tinggal kenangan. Pasalnya, tradisi tersebut sudah tidak sesuai dengan introduksi teknologi modern di kawasan yang menerapkan Sasi.

Menurutnya, sains keberlanjutan perlu dibangun dengan kesadaran. Bahwa seluruh masalah sosial, ekonomi dan ekologi hari ini, merupakan ekspresi yang berbeda dari gejala tunggal yang sama. Nantinya, penanganan atas masalah sosial, ekonomi dan ekologi hanya mungkin dijalankan secara terpadu.

“Caranya adalah dengan berangkat dari konteks, dari sejarah praktik sosial. Pembangunan hanya akan berkelanjutan kalau itu muncul secara endogen. Kuncinya ada pada revitalisasi kekayaan pengetahuan tradisional,” ucapnya.

 

Tradisi Subak Bali

Subak di Bali
Teras sawah Jatiluwih di Bali. (Creative Commons)

Direktur Eksekutif The Samdhana Institute Cristi Marie C Nozawa mengatakan, pengetahuan lokal sangat penting untuk dieksplorasi.

Cristi menilai, Indonesia memiliki kekayaan budaya yang sangat melimpah. Terlebih pengetahuan lokal merupakan pengetahuan kolektif, yang dihasilkan oleh suatu komunitas melalui waktu.

“Pengetahuan lokal ini juga sudah termasuk multidisiplin karena di dalamnya ada ilmu biologi, botani, hukum hingga teknik. Contohnya adalah tradisi Subak yang ada di Bali,” katanya.

Pengetahuan lokal ini, kata Cristi, dapat membantu menemukan konsep keberlanjutan. Tidak hanya itu, pengetahuan lokal ini terbentuk dari kondisi lokal setempat dan telah mencerminkan keanekaragaman alam dan budaya.

“Dengan diselenggarakan kompetisi ini, kami berharap bahwa peserta dapat belajar tentang masyarakat adat, kesehatan dan sistem pangan yang berkelanjutan,” katanya.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya