Kisah Roh Penyelamat dari Hujan Peluru Serdadu Inggris di Malaysia

Serdadu Inggris hanya 16 orang. Namun, berbekal senjata lebih canggih, mereka berhasil mengalahkan warga setempat yang berjumlah lebih banyak.

oleh Erik diperbarui 16 Jul 2021, 11:05 WIB
Diterbitkan 16 Jul 2021, 11:05 WIB
Kondisi darurat di Malaya 1948-1960: Konvoi Malayan Armoured Corps menembus hutan Malaysia (Wikimedia Commons/Public Domain)
Kondisi darurat di Malaya 1948-1960: Konvoi Malayan Armoured Corps menembus hutan Malaysia (Wikimedia Commons/Public Domain)

Liputan6.com, Jakarta - Bila berwisata ke Genting Highlands dari Kuala Lumpur, Malaysia, ada sebuah kota kecil bernama Batang Kali yang sohor karena kejernihan sungai dan keindahan air terjun yang tersembunyi di tengah hutan.

Siapa sangka, kota indah itu dulunya menyimpan kisah pembantaian yang mengerikan. Malaya berstatus darurat pada 1948. Cikal bakal Malaysia itu baru lepas dari empat tahun pendudukan Jepang yang kejam selama Perang Dunia II.

Meski terbebas dari Jepang, dominasi Partai Komunis Malaya (CPM) di sana menjadi penghalang bagi Inggris untuk merebut kembali wilayah jajahannya yang kaya akan bahan baku.

Berbekal bahan dari Malaysia, Inggris berharap mampu membangun kembali kemegahan Britania Raya usai remuk saat perang.

Dengan latar belakang itulah, pada hari itu, 12 Desember 1948, anggota pasukan Scots Guards dari Angkatan Darat Inggris yang dipimpin Sersan Charles Douglas mendatangi sebuah permukiman di tengah perkebunan karet di Batang Kali.

"Mereka datang diangkut sejumlah truk," kata Tham Yong, saksi mata, seperti dikutip dari artikel yang dimuat BBC News, tahun 2004 lalu.

Serdadu Inggris hanya 16 orang. Namun, berbekal senjata lebih canggih, mereka berhasil mengalahkan warga setempat yang berjumlah lebih banyak.

Warga dituduh membantu pemberontak komunis. Satu per satu warga diinterogasi. Para pria dipisahkan dari anak-anak. Salah satu warga yang kedapatan mengantongi tanda terima pembelian buah dipisahkan dari kumpulan.

"Mereka menuduhnya menyuplai pemberontak komunis dengan makanan," kata perempuan yang saat diwawancara menderita kanker tenggorokan itu.

"Mereka menembaknya di sini," kata Tham Yong, menunjuk punggungnya dengan tangan yang gemetar.

Keesokan harinya, para perempuan dibawa menggunakan truk ke lokasi itu. Tham Yong sempat bertanya pada tentara yang membawa rombongan tersebut, ke mana gerangan para pria.

Kata serdadu itu, mereka terpaksa dibunuh. "Saat itu aku ingin tetap tinggal dan mati bersama mereka."

Perempuan itu kemudian ingat adegan mengerikan saat para pria dipaksa berbaris, dalam kelompok empat atau lima orang. Mereka diminta membalikkan badan dan ditembak dari belakang.

Dua hari pascakejadian, perempuan yang saat itu berusia 16 tahun itu kembali ke dusun. Kampungnya hancur berantakan. Jasad-jasad bergeletakan, termutilasi, kepala terpisah dari badan, dengan alat vital yang telah hancur.

Nyaris semua pria dewasa di tempat itu tewas di tangan tentara Inggris. Dari 24 warga, seorang bernama Chong Hong, tunangan Tham Yong, selamat.

Chong Hong, yang berusia 20 tahun pada saat itu jadi satu-satunya korban pembantaian yang selamat. Dia pingsan dan dianggap tewas. Saat itu, pria itu merasa ada "kekuatan" lain yang menyelamatkannya.

"Aku tak ingat apa yang terjadi. Aku pingsan. Roh-roh mendorongku. Mereka (tentara) menembaki kami," kata Chong Hong, dalam wawancara yang dimuat BBC tahun 2004 lalu. Roh-roh itu, seolah menyelamatkannya dari hujan peluru yang menewaskan 24 rekan sekerjanya.

Sehari setelah pembantaian terjadi, The Straits Times memuat artikel yang menyebut, Scots Guards dan polisi telah menembak mati 25 dari 26 bandit selama operasi skala besar di Selangor Utara. Peristiwa itu disebut sebagai keberhasilan terbesar selama di Malaya sejak status darurat diterapkan. Laporan itu dusta besar.

 

Saksikan Video Menarik Berikut Ini

Upaya Banding

Bahasa Malaysia
Bahasa Malaysia. (Foto: engin akyurt/ Pixabay)

Tham Yong meninggal dunia pada 2010 lalu. Ia adalah orang dewasa terakhir, saat kejadian, yang bisa memberikan kesaksian tentang hari berdarah itu.

"Aku masih marah karena para korban adalah orang-orang tak bersalah yang dilabeli sebagai bandit dan komunis. Padahal, apa yang mereka lakukan hanya mengumpulkan durian, bukan menyediakan makanan bagi para komunis," kata dia, seperti dikutip The Star Online.

"Kanker stadium lanjut yang kuderita berarti aku tak akan berumur panjang. Namun, aku berharap orang-orang mengingat apa yang terjadi, agar mereka yang tewas tak akan terlupakan," kata saksi mata pembantaian Batang Kali di Malaysia itu.

Insiden itu banyak disamakan dengan My Lai, pembantaian yang dilakukan tentara Amerika Serikat di Vietnam.

Para pelaku tak pernah dihukum, meski banyak mata yang menyaksikan kejadian itu. Niat para keluarga korban untuk memperkarakan kejadian tersebut dipatahkan pengadilan HAM di Eropa pada Oktober 2008.

Seperti dikutip dari The Conversation, pihak keluarga yang dipimpin Nyok Keyu Chong menuntut Inggris menyelidiki pembantaian Batang Kali. Alasannya, pada saat kejadian, tahun 1948, wilayah itu berada di bawah kekuasaan Britania raya.

Sempat ada penyelidikan, namun Chong menganggap prosesnya buruk. Informasi baru dari Kepolisian Kerajaan Malaysia dan sebuah buku tahun 2009 diangkat sebagai bukti penguat.

Satu sisi, pemerintah Inggris menolak adanya penyelidikan baru, sedangkan upaya naik banding ke Mahkamah Agung Inggris tidak pernah membuahkan hasil.

Putus asa, keluarga beralih ke Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa, yang kini telah memutuskan bahwa Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia tidak dapat membantu mereka mendapatkan keadilan bagi para korban.

Pengadilan menjelaskan bahwa mereka tidak memiliki yurisdiksi karena kematian para korban terjadi lebih dari 10 tahun sebelum Inggris mengizinkan individu untuk membawa perkara langsung ke pengadilan Eropa.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya