Pakar Kebijakan Publik UGM Buka Suara Terkait Kebijakan JHT

JHT atau Jaminan Hari Tua menjadi andalan bagi pekerja swasta saat tidak memiliki pekerjaan lagi atau di PHK. Kondisi ini tentu berbeda bagi pegawai Negeri. Namun aturan JHT sesuai Permenaker tahun 2022 menyebutkan JHT baru bisa diambil di usia pensiun tidak adil.

oleh Yanuar H diperbarui 05 Mar 2022, 22:00 WIB
Diterbitkan 05 Mar 2022, 22:00 WIB
FOTO: Buruh Geruduk Kemnaker Tuntut Aturan JHT Dicabut
Buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia berunjuk rasa di depan Kantor Kementerian Ketenagakerjaan, Jakarta, Rabu (16/2/2022). Buruh menuntut Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 yang mengatur JHT baru bisa dicairkan pada usia 56 tahun segera dicabut. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Yogyakarta - Kebijakan pemerintah soal Jaminan Hari Tua (JHT) di BPJS Ketenagakerjaan baru bisa dicairkan saat pekerja memasuki pensiun yakni di usia 56 tahun menurut pakar kebijakan publik UGM,  Agus Heruanto Hadna sebagai kebijakan yang tidak berbasis bukti dan data yang kuat. Kebijakan JHT ini yang diambil menyisakan sejumlah persoalan dan menuai gelombang kritik. 

"Kebijakan ini tidak evidence based dan dibuat tidak sensitif terhadap publik khususnya pekerja di sektor swasta," tuturnya.

Menurutnya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 02 Tahun 2022 dibuat seolah disamakan dengan usia pensiun PNS. Padahal persoalan yang dihadapi dari para pekerja di sektor swasta berbeda dengan PNS ditambah dengan situasi lapangan kerja saat ini.

Banyak pekerja di sektor swasta yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) sebelum masa pensiun.  Hadna mencontohkan pada pekerja terkena PHK pada usia 45 tahun, pekerja tersebut harus menunggu selama 11 tahun untuk bisa mencairkan JHT.

"Kondisi pekerja sektor swasta dimanapun itu tidak pasti sehingga penentuan batas usia ini sangat sulit bagi mereka. Seringnya kebijakan publik dibuat berdasar insting atau analogi kasus lain. Takutnya ini dianalogikan dengan PNS dan ini berbahaya kalau tanpa analisis mendalam," ujarnya. 

Hadna mengatakan  kebijakan publik merupakan suatu hal lumrah apabila terdapat perubahan kebijakan. Namun, perubahan kebijakan menjadi sesuatu hal yang aneh ketika baru diterapkan lalu diganti lagi dalam waktu dekat.

"Jadi aneh ketika baru diterapkan seminggu lalu diganti," katanya.

Ia mengungkapkan perubahan kebijakan bukan hal yang baru di Indonesia contoh kebijakan ekspor batu bara. Kebijakan baru diterapkan namun satu minggu kemudian dicabut. 

Kebijakan JHT, lanjutnya, merupakan kebijakan yang bersifat redistributif dan sangat sensitif. Sebab didalamnya banyak pihak kepentingan dan sangat kompleks.

"Ada satu resources yang seharusnya dimiliki karyawan dan pekerja tapi ibaratnya itu ditahan hingga usia 56 tahun baru bisa diambil. Ini masuk kebijakan yang redistributif dan sangat sensitif, serta berisiko tinggi jika diimplementasikan," paparnya.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya