Yayasan Kehati Gandeng Multipihak Kembangkan Program Konservasi Mangrove di Banten

Yayasan Kehati menggandeng multipihak termasuk Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Banten untuk bekerja sama mengembangkan program Mangrove Blue Carbon dalam mewujudkan pengelolaan ekosistem mangrove berkelanjutan.

oleh Muhamad Husni Tamami diperbarui 14 Apr 2022, 21:00 WIB
Diterbitkan 14 Apr 2022, 21:00 WIB
Yayasan Kehati menjalin kerja sama dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten
Yayasan Kehati menjalin kerja sama dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten terkait program konservasi mangrove. (Foto: Kehati)

Liputan6.com, Denpasar - Yayasan Kehati menggandeng multipihak termasuk Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Banten untuk bekerja sama mengembangkan program Mangrove Blue Carbon dalam mewujudkan pengelolaan ekosistem mangrove berkelanjutan. 

Dengan DKP Provinsi Banten, Yayasan Kehati menjalin perjanjian kerja sama (PKS) tentang Sinergitas Program Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Wilayah Pesisir dan Laut Provinsi Banten yang ditandatangani pada Rabu (13/4/2022).

Kerja sama ini merupakan bagian dari program Mangrove Blue Carbon yang merupakan konsep program konservasi dan rehabilitasi keanekaragaman hayati yang dirancang untuk mendukung program nasional dari pemerintah pusat yang masuk dalam program prioritas nasional (PPN) RPJMN 2020-2024 melalui pembangunan rendah karbon (PRK).

“Melalui kolaborasi dan sinergi multipihak diharapkan memberi manfaat dan dampak jangka Panjang, utamanya pada fungsi ekologis, sosial ekonomi dan tata kelola hutan mangrove, serta mitigasi kebencanaan dan perubahan iklim,” kata Direktur Eksekutif Yayasan Kehati, Riki Frindos dalam keterangan yang diterima Liputan6.com.

Kolaborasi yang dibangun Yayasan Kehati dengan multipihak didukung oleh Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten, Eli Susiyanti. Menurut Eli, peran serta seluruh elemen terutama masyarakat sangat penting agar ekosistem mangrove tetap terjaga dan program konservasi yang dijalankan dapat terlaksana dengan baik. 

Eli menerangkan, saat ini rehabilitasi mangrove telah menjadi program nasional, mengingat habitat hutan mangrove yang semakin menurun. Pemerintah telah menetapkan program nasional rehabilitasi mangrove seluas 600.000 hektare, termasuk di Provinsi Banten. 

Tidak hanya itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun telah mengangkat program mangrove dalam pertemuan G20 mendatang.

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

 

Saksikan Video Pilihan Ini:

Hasil Studi Tentang Mangrove di Banten

Yayasan Kehati
Yayasan Kehati menjalin kerja sama dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten terkait program konservasi mangrove. (Foto: Kehati)

Untuk mendapatkan masukan-masukan terkait pengelolaan sistem mangrove di Provinsi Banten, tim Fakultas Pertanian Universitas Tirtayasa (Untirta) mengadakan forum group discussion (FGD).  

FGD diadakan untuk mendapatkan masukan dari pihak-pihak lain terkait pembentukan Dokumen Rencana Strategis dan Rencana Aksi Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Provinsi Banten khususnya di Kawasan Sumur dan Panimbang Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten. 

Program ini kemudian akan dilakukan oleh Yayasan Kehati bersama mitra lokal dengan dukungan pendanaan PT Asahimas Chemical selama 5 tahun.

Ketua Program Studi Pertanian, Fakultas Pertanian, Untirta, Adi Susanto memaparkan studi pendahuluan dan perhitungan karbon mangrove di Provinsi Banten.

Hasil studi menunjukkan bahwa mangrove merupakan salah satu jenis ekosistem yang mampu menyimpan cadangan karbon dalam jumlah besar sehingga dapat berkontribusi untuk mengurangi emisi.

Potensi vegetasi mangrove dalam penyerapan karbon, yang dikenal dengan istilah Blue Carbon, dapat dioptimalkan dalam rangka mitigasi perubahan iklim.

Luas ekosistem mangrove di Provinsi Banten diperkirakan mencapai 2.820,15 ha (BLHD Provinsi Banten 2019). Studi tersebut menyatakan luasan tersebut diperkirakan terus mengalami laju degradasi yang disebabkan oleh banyak hal, di antaranya penebangan, alih fungsi lahan menjadi tambak, pemanfaatan berlebihan, abrasi, sedimentasi, pencemaran, maupun bencana alam. 

Apabila degradasi tersebut terus berlanjut, maka dalam kurun waktu 100 tahun ke depan ekosistem mangrove akan hilang dan akan menjadi sumber emisi gas rumah kaca (GRK) karbon dioksida yang besar (Barakalla dan Megawanto 2017).

Maka dari itu, Adi menilai perlunya upaya rehabilitasi ekosistem mangrove untuk menurunkan tingkat emosi CO2. Sayangnya, informasi mengenai nilai simpanan dan serapan karbon ekosistem mangrove khususnya di wilayah Provinsi Banten sampai saat ini masih sangat terbatas. 

“Padahal informasi tersebut sangat penting sebagai data dasar dalam rangka pelaksanaan rehabilitasi ekosistem mangrove,” kata Adi.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya