Unpad: Kolaborasi Berkelanjutan Citayam Fashion Week, Bukan Sekadar Profit

Era digital saat ini menjadi upaya strategis dalam memanfaatkan momentum kreativitas agar tidak lenyap begitu saja.

oleh Huyogo Simbolon diperbarui 27 Jul 2022, 18:00 WIB
Diterbitkan 27 Jul 2022, 18:00 WIB
Atensi Besar Citayam Fashion Week Dimanfatkan Brand Lokal untuk Promosi di Tengah Pandemi
Momen Citayam Fashion Week dimanfaatkan Roughneck 1991 untuk promosi di tengah pandemi (Roughneck 1991)

Liputan6.com, Bandung - Fenomena Citayam Fashion Week sebagai representasi kreativitas anak muda melawan kultur arus utama menarik segelintir pesohor untuk berkolaborasi memanfaatkan peluang. Meskipun pada akhirnya hal itu menuai kontroversi di masyarakat.

Akademisi Universitas Padjadjaran (Unpad) Dwi Purnomo mengatakan, terlepas kontroversinya, kolaborasi merupakan sesuatu yang sah dilakukan dalam memanfaatkan kreativitas Citayam Fashion Week menjadi sesuatu yang bernilai. Hanya saja, kolaborasi dilakukan bukan sekadar untuk menarik keuntungan.

"Mumpung momentum banyak kemudian uangnya bisa diambil, harusnya tidak begitu. Kolaborasi harusnya tetap menjadi kreativitas itu berkelanjutan, bukan sekadar profitnya," kata Dwi dikutip dari laman Unpad, Selasa (26/7/2022).

Pegiat industri kreatif itu menjelaskan, era digital saat ini menjadi upaya strategis dalam memanfaatkan momentum kreativitas agar tidak lenyap begitu saja. Kolaborasi perlu dilakukan untuk menjaga keberlanjutannya, ide tetap dimiliki oleh komunitas penggagasnya, menghasilkan model bisnis yang bisa dibagi, dan memberikan kemanfaatan.

Karena itu, Citayam Fashion Week merupakan momentum baik untuk menjadikan fenomena tersebut menjadi inovasi disruptif. Inovasi disruptif tersebut mampu menghadirkan kebaruan yang mampu memberi solusi terhadap kondisi yang ada.

“Harusnya ketika sudah viral, Citayam Fashion Week bisa dimanfaatkan menjadi sesuatu hal kebermanfaatan dalam jangka waktu yang panjang,” ujarnya.

Kendati demikian, Dwi mengatakan, kolaborasi tetap perlu dikemukakan secara gamblang untuk menghindari salah persepsi oleh publik.

“Siapa tahu asumsi saya, dia (pesohor) punya model bisnis bagus dan memiliki niat membuat subkultur tersebut menjadi berlanjut yang kemudian bisa dibagi secara berkeadilan,” kata Dwi yang juga Ketua Penataan dan Pengembangan Ekonomi Kreatif Kota Bandung tersebut.

Di era digital, ada pergeseran pengembangan model bisnis. Dari semula berorientasi ke profit, kini mulai berorientasi ke tujuan.

Pengembangan model bisnis saat ini harus dipikirkan bagaimana kelanjutannya, bukan semata hanya mencari keuntungan.

“Sekarang harus punya purpose, bagaimana kreativitas ini bisa meledak dulu baru kemudian dipikirkan model bisnisnya. Karena goals sesungguhnya adalah keberlanjutan,” ucap Dwi.

 

*** Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya