Liputan6.com, Bandung - Salah satu hal yang diatur dalam ejaan ialah cara pelafalan atau cara pengucapan dalam bahasa Indonesia. Pada akhir-akhir ini, sering kita dengar orang melafalkan bunyi bahasa Indonesia dengan keraguan. Keraguan yang dimaksud ialah ketidakteraturan pengguna bahasa dalam melafalkan huruf.
Baca Juga
Advertisement
Dari informasi di Google, sering muncul kata kunci sulit melafalkan "F" dan "V", karena memang pada bahasa asing, pengucapan dua huruf itu berbeda. Bila F diucapkan secara ringan, maka V pengucapannya lebih berat, agak seperti menyebut W.
Sebagaimana diketahui bahwa dalam abjad Latin, yang juga diadopsi oleh beberapa negara termasuk Indonesia, terdiri dari 26 huruf. Terdiri dari lima (5) huruf vokal dan dua puluh satu (21) huruf konsonan. Huruf vokal (vowel) atau disebut juga huruf hidup, yakni A, E, I, O dan U. Selebihnya adalah huruf konsonan (consonant) alias huruf mati.
Dari 21 konsonan yang ada, terdapat 11 konsonan yang kadang sebagian individu keliru dalam melafalkannya, bahkan sampai orang dewasa pun fakta ini benar-benar terjadi. Namun yang paling sering bermasalah adalah saat melafalkan konsonan F, P dan V.
Dalam penulisan, masih banyak yang keliru memakai “F” dan “V” saat menuliskannya, terutama pada kata-kata serapan. Tidak sedikit muncul kata, “aktifis” untuk maksud “aktivis” dari “activist”. Begitu juga dengan kata “aktivitas” ditulis “aktifitas”. Bahkan, saking takutnya “F” dan “P” tertukar, ada yang menulis “nafas”, alih-alih “napas”, dan “faham”, semestinya “paham”.
Sebenarnya bukan hanya tiga konsonan itu yang kerap bermasalah saat sebagian orang melafalkannya, tapi juga beberapa konsonan lainnya (8 huruf), seperti konsonan B, C, D, G, J, T, W, dan Y. Ada sebagian orang yang mengucapkan ke-8 konsonan tersebut secara keliru alias tidak sesuai dengan EYD (Ejaan Yang Disempurnakan).
Selain karena sebagian mereka memang sulit mengucapkannya dengan benar, juga (mungkin) karena mereka telah diajarkan dari generasi ke generasi secara demikian. Dan mereka anggap itu biasa saja.
Revi Soekatno, seorang Doktor Sastra Jawa Kuna lulusan Universitas Leiden menerangkan, dalam bahasa Latin dan dalam banyak bahasa lainnya, F dan V diucapkan berbeda. F itu melambangkan /f/ dan V melambangkan /v/. Bunyi /f/ itu bunyi konsonan desis bibir-gigi nirsuara, sedangkan /v/ itu bunyi konsonan desis bibir-gigi bersuara.
Perbedaan antara konsonan nirsuara (tak bersuara) dan bersuara itu mirip dengan /p/ dan /b/, /t/ dan /d/, serta /k/ dan /g/ misalnya. Semua bunyi pertama itu nirsuara, sedangkan bunyi kedua bersuara.
Namun dalam bahasa Indonesia baik F dan V diucapkan seperti [f] dan bahkan seringkali menjadi [p]. Hal ini karena dalam bahasa Belanda, terutama dialek Holland yang penuturnya banyak, bunyi /v/ diucapkan sebagai bunyi nirsuara seperti [f]. Begitu pula konsonan desis bersuara /z/, diucapkan seperti [s].
"Jadi karena kita mewarisi penggunaan abjad Latin dari Belanda beserta pengucapannya, pada akhirnya hal ini merupakan pengaruh Belanda," kata Revi dikutip dari Quora.
Keseleo Lidah
Dalam sebuah obrolan, ada kalanya terjadi slip of tongue alias keseleo lidah. Kesalahan ini memang bisa terjadi kapan saja, di mana pun, dan siapa saja bisa terkena.
Termasuk membedakan antara huruf F dan V pada suatu penggunaan kata. Meskipun begitu, slip of tongue dan membedakan huruf F atau V bukan menjadi suatu permasalahan besar.
Semua orang bisa salah ucap, dan semuanya bisa dilatih juga dipelajari. Wajar jika seseorang sesekali salah ketika berkomunikasi secara verbal.
Pelafalan yang terkadang membuat sebagian orang salah paham adalah ketika menyebut huruf F dan V. Tidak sedikit orang yang kebingungan kapan suatu kata harus menggunakan huruf F, dan kapan harus menggunakan huruf V. Padahal, sudah jelas beda antara F (dibaca: ef) dan V (dibaca: ve).
Wajar, karena jika disebutkan dalam suatu kata, kedua huruf tersebut memang seakan sulit dibedakan apalagi jika sedang melafalkan kosakata dalam bahasa Inggris. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) keseleo lidah atau memiliki makna salah mengucapkan, salah mengatakan.
Secara umum, kesalahan ini terjadi akibat ketidaksengajaan dan tidak disadari oleh penuturnya. Kesalahan berbahasa ini dapat disebabkan oleh, faktor kelelahan, keletihan, kurang perhatian atau juga karena terlalu emosional.
Pakar antropolinguistik Universitas Pendidikan Indonesia, Mahmud Fasya, mengatakan, kita sebetulnya tak perlu kaget atau merasa lucu jika ada orang yang tidak bisa melafalkan suatu huruf dengan benar. "Karena memang jumlah bunyi dalam setiap bahasa itu berbeda," ucap Mahmud dikutip dari Beritagar.id.
Ia mencontohkan, orang Batak sulit melafalkan bunyi Eu, dan orang Jawa akan menyebut kata mbandung alih-alih Bandung karena kesulitan dengan bunyi B. Lalu, orang Bali juga kesulitan melafalkan huruf F, V, dan T.
Lebih-lebih dalam fonologi bahasa Sunda, kata dia, tidak ada bunyi F dan V tetapi dikenal huruf P. Dengan begitu, tak heran bunyi baru yang didengar seseorang dan bukan dipelajari sebagai bahasa pertama akan tetap terasa asing oleh penuturnya.
"Akan ada banyak kendala ketika orang belajar bunyi baru setelah golden age," ujar Mahmud.
Advertisement
Anekdot Orang Sunda
Kebiasaan orang Sunda yang kesulitan melafalkan F dan V mungkin hanya sebagai anekdot saja. Ketidaksengajaan ini mungkin sudah jadi stereotip di mana orang Sunda tidak membedakan huruf F atau V dengan huruf P.
Namun, hal tersebut nyatanya bisa dijelaskan secara ilmiah mengapa orang Sunda sulit membedakan huruf F atau V.
Dalam akun Instagram resmi Dinas Pendidikan Jawa Barat (Disdik Jabar), dijelaskan bahwa ketidakmampuan orang Sunda melafalkan huruf F dan V adalah kondisi arkeologi bahasa dan aksara Sunda ratusan tahun yang lalu.
Dalam aksara Sunda yang disebut dengan Kaganga, tak dikenal huruf F maupun V yang ada adalah huruf P. Sebenarnya, saat ini banyak masyarakat Sunda yang sudah terpengaruh dengan aksen modern. Sehingga, aksara di Sunda pun beradaptasi dengan memasukkan huruf F dan V, bersamaan dengan huruf lain yang sebelumnya tidak ada seperti Z, X dan Q.
Namun, tetap saja masih banyak masyarakat Sunda yang kesulitan melafalkan huruf F dan V dan tetap menggunakan huruf P untuk mengganti kedua huruf tersebut. Ini menjadi ciri khas masyarakat Sunda hingga kiwari.
Dalam bahasa, ada kajian yang disebut fonologi di dalam linguistik. Fonologi berusaha mendeskripsikan pola bunyi-bunyi yang digunakan dalam sebuah bahasa. Fonologi juga membantu menentukan status bunyi-bunyi ini, apakah sebagai bunyi yang berdiri sendiri (fonem), atau bunyi alternatif dari suatu fonem (variasi alofonik), dst.
Contoh dalam bahasa Indonesia, ada perbedaan makna yang mendasar antara kata dari [dari] dengan tari [tari]. Dengan ini kita bisa menyimpulkan bahwa /d/ dan /t/ masing-masing merupakan fonem mandiri. Namun bagi bahasa yang hanya mengenal bunyi [d] saja atau [t] saja, kedua konsonan ini tidak ada bedanya.
Ini seperti sebagian penutur bahasa Indonesia yang tidak membedakan ‘gh’ [ɣ] dengan [g]. Kita bisa saja mengucapkan magrib sebagai [maɣrib] atau [magrib], artinya tetap sama bagi kebanyakan orang Indonesia.
Dulunya bahasa Indonesia (Melayu) juga tidak mengenal bunyi [f]. Banyak kata bahasa Arab dengan bunyi [f] yang menjadi [p] di Indonesia. Pikir, napas, perlu, dsb. Lalu ketika penutur bahasa Melayu mulai bisa mengucap [f], kata-kata bahasa asing mulai diserap dengan mempertahankan bunyi tersebut.
Kemudian, lahirlah kata seperti '(kain) kafan', yang hampir serupa dengan 'kapan' tetapi berbeda makna. Maka resmilah /f/ sebagai fonem di bahasa Indonesia.
Dalam fonologi bahasa Sunda, [f] belum menjadi fonem tersendiri yang terpisah dari /p/. Bukan berarti orang Sunda tak bisa mengucapkan bunyi ini, hanya pengucapan [p] untuk [f] tidak mengubah arti di dalam bahasa Sunda. Sudah banyak orang Sunda yang bisa mengucap [f], tapi seringkali di posisi yang salah, karena persepsi mereka terhadap bunyi [f] masih sama dengan [p].
Jika masih ada teman yang salah ucap atau salah pelafalan antara F dan V, cukup dikoreksi saja. Tak perlu jadi masalah.