Liputan6.com, Solo - Perawakannya tinggi dengan raut wajah keriput. Rambutnya hampir dipenuhi uban, tetapi sosok renta itu dengan semangat menawarkan dagangannya kepada pengunjung yang hadir di area Pameran UMKM Sekaten 2022 yang dibuka sejak 16 September 2022 lalu.
Sekilas tak ada yang berbeda dari sosok kakek tua yang berjualan balon dan aneka mainan tradisonal anak-anak itu. Namun, rupanya ada kisah sejarah perjuangan bangsa yang dibawa kakek berusia 90 tahun.
Dialah Ngadimin Citro Wiyono (90) atau biasa dipanggil Mbah Min Semprong. Saat awak Liputan6.com mengajaknya berbincang, Mbah Ming menyebut dia merupakan seorang mata-mata untuk Indonesia pada masa penjajahan Belanda dulu.
Advertisement
Baca Juga
Ia menyebut pernah bertugas sebagai memata-matai pasukan Belanda untuk memberikan informasi kepada para pejuang negeri ini.
"Kenalkan, Mbah namanya Mbah Min Semprong. Dulu pernah jadi mata-mata Belanda, bantu pahlawan kita," kata Mbah Min Semprong kepada Liputan6.com, Rabu (21/9/2022).
Ketika tim Liputan6.com beberapa saat menemani Mbah Min Semprong berjualan, memang jarang ada yang tertarik membeli mainan yang dijajakan oleh kakek yang mengaku kos di daerah kampus Universitas Sebelas Maret (UNS) itu.
"Tahun 1948 sesudah kemerdekaan Indonesia tugas saya waktu itu sebagai mata-mata musuh (Agresi Militer Belanda 2). Karena tahun itu, Belanda mau menyerang lagi Indonesia, semua peralatan mereka (Belanda) komplet," ujar dia sambil mengenang kejadian masa silam itu.
Â
Â
Berjualan Mainan untuk Menyambung Hidup
Menurutnya, pada masa itu, dirinya dipercaya oleh Tentara Indonesia untuk selalu memberikan infomasi terkait pergerakan pasukan Belanda, aktivitas pesawat, dan keadaan gudang senjata mereka. Mbah Min Semprong yang pada masa itu masih berumur belasan tahun tak gentar sedikit pun ketika mendapatkan kepercayaan dari Tentara Indonesia.
"Umur masih kecil sekitar 15 tahun, Mbah juga sudah ditinggal orangtua ketika masa penjajahan. Saya marah dan ingin balas dendam, tapi sama Pak Komandan tidak boleh perang, disuruh jadi mata-mata Belanda. Si Mbah sudah tidak punya siapa-siapa waktu itu," tutur dia.
Ia mengaku pada masa penjajahan sangat berani menjadi informan yang dia sebut dengan telik sandi sebutan untuk Tentara Indonesia pada masa agresi militer tahun 1948.
Mbah Min yang sudah sangat tua itu bahkan masih bisa menceritakan semua kenangannya ketika dirinya menjadi telik sandi. Karena usianya yang masih 15 tahun itu, Belanda tidak mencurigai bahwa dirinya dikirim Tentara Indonesia sabagai mata-mata.
Menariknya, dari cerita Mbah Min Semprong adalah, dia diperintahkan komandan Tentara Indonesia sebagai mata-mata Belanda dengan menyamar sebagai orang dengan gangguan kejiwaan. Namun, tak sedikit juga warga pribumi yang menjadi pengkhiat kala itu. Mereka memberikan kode-kode tertentu kepada penjajah Belanda tentang keberadaan Tentara Indonesia.Â
Setelah agresi militer II selesai, usai sudah perjuangan dan tugas Mbah Min Semprong sebagai mata-mata, sejak saat itu, ia sudah gonta ganti pekerjaan untuk menyambung hidupnya. Dirinya menyebut pernah menjadi kuli bangunan, tukang becak, dan terakhir menjadi penjual mainan anak-anak di sekitar Solo Raya. Maka, jangan heran jika kita bisa melihat Mbah Min Semprong di mana-mana lantara area jualannya memang berpindah-pindah.
Namun, jika ada pameran UMKM Sekaten dirinya memilih berjualan dari pagi hingga malam di area tersebut. Mbah Min Semprong menceritakan pendapatannya berjualan mainan dalam sehari tidak menentu. "Kadang di bawah 100 ribu, kadang di atas 100 ribu. Tergantung kalau ketemu orang baik, sering dikasih rezeki lebih sama orang," ujar dia.
Mbah Min mengaku, mainan yang dijualnya sebagian besar dia buat sendiri. Namun, ada juga yang dia ambil dari distributor dan di sanalah Mbah Min bisa menjual harga di atas harga dari distributor mainan itu.
"Yang penting ada untungnya dan tidak menyusahkan orang lain untuk kita makan," Mbah Min berujar.
Â
Advertisement