Mengenal Bebegig, Penjaga Hutan Keramat di Ciamis

Tradisi Bebegig lahir di perbukitan Tawang Gantungan, Kabupaten Ciamis dan berbatasan dengan Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Nama Bebegig sendiri merupakan representasi penjaga lingkungan dan hutan.

oleh Marifka Wahyu Hidayat diperbarui 17 Okt 2022, 05:00 WIB
Diterbitkan 17 Okt 2022, 05:00 WIB
Tradisi Bebegig Sukamantri
Bebegig Sukamantri. Youtube : Nandang Supriyatna

Liputan6.com, Ciamis - Panggelaran Festival Topeng Nusantara, merupakan cara untuk mengangkat kembali kejayaan seni topeng di Indonesia. Salah satunya seni tradisi Bebegig Sukamantri yang hingga kini masih dijaga oleh masyarakat Jawa Barat.

Tradisi ini lahir di perbukitan Tawang Gantungan, Kabupaten Ciamis dan berbatasan dengan Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Nama Bebegig sendiri merupakan representasi penjaga lingkungan dan hutan.

Melansir dari laman Budaya Kemendikbud, tradisi Bebegig mulanya diadakan untuk mempererat tali persatuan dan kesatuan dalam melestarikan potensi budaya dan alam.

Berawal dari bukit hutan yang dianggap keramat oleh masyarakat sekitar. Bukit ini memiliki ketinggian 950 mdpl dan dipercaya masyarakat sebagai hutan yang tidak boleh dijamah tangan manusia.

Bagi yang melanggar dan menebang pohon di hutan seluas 3,5 hektare ini, akan mendapatkan celaka dan hidupnya tidak akan selamat dari marabahaya. Selain itu di bawah bukit terdapat sungai yang jernih.

Prabu Sampulur leluhur Sukamantri pernah khawatir dengan sumber air di desa tersebut, sebab akan diganggu oleh sebagian orang yang tidak bertanggung jawab yang akan merusak wilayah itu. Karena itu, sebagai penguasa wilayah ia membuat Bebegig, yakni berupa topeng dengan karakter menyeramkan.

Rambutnya terbuat dari Ijuk Kawung (Aren) yang terurai panjang ke bawah, kemudian mahkotanya berasal dari bunga tanaman Bubuay dan Daun Waregu (sejenis palem hutan) yang disusun rapi di atas topeng.

 

Lahirnya Mata Air

Sementara topengnya dipasang di pohon-pohon besar yang ada di sekitar Tawang Gantungan. Konon, karena kesaktian Sang Prabu, orang yang berniat jahat melihat topeng itu bagaikan makhluk tinggi besar menyeramkan yang siap menerkam.

Dalam kehidupannya sehari hari, Prabu juga selalu memerintahkan keturunannya agar menjujung sikap silih asah (saling mengembangkan), silih asih (saling mengasihi), dan silih asuh (saling membina).

Bahkan Prabu Sampulur pernah didatangi Sanca Manik dan Sanca Ronggeng, sebagai penjaga hutan di lokasi sumber air tersebut. Kala itu rakyat hidup dari hasil pertanian ala kadarnya dan berburu hewan.

Ketika mereka mendapat hewan buruan, Sanca Ronggeng selalu menari. Sehingga tariannya kemudian diikuti yang lainnya sebagai ungkapan rasa gembira, dan karena hal itulah Prabu Sampulur memberi topeng kepada Sanca Ronggeng.

Sang Prabu kemudian menyerahkan wilayah kekuasaannya kepada salah satu orang kepercayaan, yaitu Margadati. Selanjutnya ia secara kreatif menciptakan keserasian antara gerakan dan alat musik pengiring.

Sejak saat itu, Margadati memanggil orang yang memakai topeng beserta atributnya dengan Bebegig. Kemudian ia juga mengajak masyarakat untuk membuka lahan pertanian dan menganjurkan memelihara kerbau.

Air yang mengalir deras dari hutan adat yang terjaga, dimanfaatkan warga sebagai irigasi untuk mengaliri sawah dan kebun mereka. Sehingga di lahan tersebut tumbuh beraneka ragam sayur mayur dan padi, yang kemudian membuat kehidupan masyarakat menjadi mandiri serta makmur.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya