Alasan Pemkot Bandung Pilih Sumur dan Kolam Retensi untuk Atasi Banjir

Kendati masalah utama adalah penyempitan sungai, Pemkot Bandung ternyata lebih memilih untuk membiakkan sumur resapan dan kolam retensi sebagai solusi.

oleh Dikdik Ripaldi diperbarui 20 Okt 2022, 19:00 WIB
Diterbitkan 20 Okt 2022, 19:00 WIB
banjir bandung
Sejumlah warga terpaksa menyewa sampan untuk bisa melintasi Jalan Cigebar yang terendam banjir, Kecamatan Bojongsoang, Bandung, Selasa, 19 April 2022. (Liputan6.com/Dikdik Ripaldi)

Liputan6.com, Bandung - Banjir masalah lawas Kota Bandung. Sejumlah kawasan masih jadi langganan tergenang hingga kini. Pemerintah Kota Bandung mengakui, penyempitan sungai akibat maraknya pembangunan adalah salah satu biang banjir. Kawasan Pagarsih disebut-sebut sebagai buktinya.

Menurut Kepala Dinas Sumber Daya Air dan Bina Marga (DSDABM) Kota Bandung, Didi Ruswandi, sebab utama banjir Pagarsih adalah penyempitan Sungai Citepus khususnya di daerah hulu. Sementara di hilir, dari mulai Astana Anyar mengarah ke Kabupaten Bandung, diklaim relatif aman dengan lebar sekitar 15 meter.

"Penyempitan badan sungai atau badan air menjadi bangunan-bangunan. Di hulunya terjadi bottle neck, lebarnya hanya sekitar 5 meter. Masalah terberat Pagarsih di situ," kata dia saat jadi narasumber di acara Pemkot Bandung, Rabu (19/10/2022).

Namun, kendati masalah utama adalah penyempitan sungai, pemerintah kota ternyata lebih memilih untuk membiakkan sumur resapan dan kolam retensi sebagai solusi. Membangun infrastruktur, alih-alih normalisasi sungai. Mengapa demikian?

 


Klaim Efektif, Cepat, Murah

Pembuatan sumur resapan dan kolam retensi diklaim efektif menangani banjir. Contohnya, kata Didi, adalah kawasan Pagarsih. Saat ini, sedikitnya ada dua kolam retensi di sana, kolam Bima dan Kolam Sirnaraga.

Dua kolam itu disebut menambah daya tampung air. Cukup membantu meski diaku masih sangat timpang apabila dibandingkan dengan volume air di sana. Didi menyampaikan, Sirnaraga dan Bima bisa menampung air 8.000 meter kubik, sementara volume air mencapai 107.000 meter kubik.

"Setelah dibangun kolam retensi Bima, 2020 terjadi lima kali banjir besar. Lalu, 2021 hanya sekali, 2022 hanya dua kali. Ada pengurangan," katanya.

Selain efektif, membangun kolam retensi atau sumur resapan diklaim lebih murah dan instan menangani banjir daripada normalisasi sungai. Terkait ini, Didi tidak menyampaikan data penunjang.

"Normalisasi ini butuh waktu dan juga, dengan tanda kutip, dampak sosialnya sangat tinggi," katanya. "Resapan diperbanyak, air diparkir. Itu lebih sustainable dan lebih murah," imbuhnya.

 


Paradigma Mutakhir atasi Banjir?

Didi yakin, tata kelola memarkir air ini dianggap sejalan dengan paradigma mutakhir penanganan banjir. "Paradigma lama banjir itu dikaitkan dengan kapasitas saluran. Sekarang paradigma sudah diubah, banjir karena airnya terlalu banyak. Jadi, konsepnya bagaimana mengurangi air, bukan memperbesar sungai," ucapnya.

Kondisi tersebut menjadi dalih mengapa pembangunan infrastruktur solusi banjir seperti sumur resapan, kolam retensi, tol air, hingga rumah pompa harus diperbanyak. Kalau perlu, kata Didi, dibangun di setiap lahan yang memungkinkan.

"Di setiap ada ruang yang bisa kita buat, akan kita buat. Kita berharap, (air) yang dari pemukiman itu tidak jatuh ke sungai agar tidak membebani kapasitas sungai, tetapi (air itu) meresap," katanya.

Kota Bandung saat ini baru memiliki 5.000 lubang sumur imbuhan dangkal dan 30 unit sumur imbuhan dalam. "Masih sedikit," ujar Didi.

Oleh karena itulah, katanya, anggaran menjadi kunci penting, bisa jadi pelancar upaya penanggulangan banjir. "Kalau anggaran ditambah kita akan lebih intensif menambah resapan tersebut. Makanya, solusi mengintensifkan pembangunan resapan ini harus kami lakukan," kata Didi.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya