Riwayat Panjang Jamu Gendong yang Eksis Sejak Ratusan Tahun Lalu

Jamu dipercaya memiliki banyak manfaat untuk tubuh sekaligus bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 21 Mei 2023, 17:00 WIB
Diterbitkan 21 Mei 2023, 17:00 WIB
kampung_jamu
Patung jamu gendong akan menyambut pengunjung memasuki kampung jamu Sumbersari Wonolopo, Mijen. (foto : Liputan6.com / Edhie Prayitno Ige)

Liputan6.com, Yogyakarta - Jamu gendong merupakan minuman tradisional yang dijual dengan cara digendong. Botol-botol jamu ini diletakkan di keranjang atau bakul besar dan digendong dengan bantuan selendang oleh para penjualnya.

Jamu dipercaya memiliki banyak manfaat untuk tubuh sekaligus bisa menyembuhkan berbagai macam penyakit. Minuman herbal ini dibuat dari daun-daunan dan bahan-bahan alami yang memiliki manfaat baik untuk kesehatan.

Mengutip dari surakarta.go.id, penyebutan jamu gendong juga diambil dari bahasa Jawa Kuno, yakni 'jampi' atau 'usodo'. Kedua kata tersebut berarti penyembuhan dengan menggunakan ramuan obat-obatan dan doa-doa.

Dahulu, istilah jampi banyak ditemukan pada naskah kuno, salah satunya pada naskah 'Gatotkacasraya' yang ditulis Mpu Panuluh dari Kerajaan Kediri pada masa Raja Jayabaya. Oleh sebab itu, jamu merupakan warisan budaya yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu.

Dari sumber yang sama disebutkan, jamu bahkan sudah ada sejak zaman Kerajaan Hindu-Buddha ada di Indonesia. Relief pada beberapa candi di Indonesia menjadi bukti hal tersebut.

Relief-relief yang ada di Candi Borobudur, Candi Prambanan Yogyakarta, Candi Penataran, Candi Sukuh, hingga Candi Tegalwangi menunjukkan relief berupa pembuatan atau penggunaan jamu. Bukan itu saja, dalam sebuah Prasasti Madhawapura peninggalan Kerajaan Majapahit juga disebutkan profesi seseorang yang meracik jamu disebut aracaki.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Aracaki Bermeditasi

Zaman dulu, seorang aracaki yang akan meracik jamu harus berdoa, bermeditasi, dan berpuasa terlebih dahulu. Hal ini dilakukan agar mereka bisa merasakan energi positif yang baik untuk kesehatan.

Ritual ini tak lain berkaitan dengan masyarakat Jawa kuno yang percaya bahwa Tuhan adalah penyembuh sesungguhnya. Dahulu, jamu hanya diperuntukkan bagi kalangan keraton atau istana kerajaan saja, tetapi berkembangnya zaman membuat jamu mulai didistribusikan dan digunakan oleh masyarakat luas.

Hal ini dibarengi dengan munculnya pedagang-pedagang jamu perempuan yang berjualan secara berkeliling. Namun, pedagang jamu laki-laki biasanya menjajakan jamunya dengan cara dipikul. Dari cara berjualan inilah muncul istilah jamu gendong di kalangan masyarakat.

Jamu yang dijual oleh para pedagang jamu gendong biasanya berasal dari hasil produksi rumahan (home industry). Jamu ini dimasukkan ke dalam botol-botol dan disusun rapi ke dalam keranjang atau bakul besar.

Saat ini, penjual jamu gendong yang berjualan dengan keliling berjalan kaki sudah jarang ditemui. Penjual jamu kini sudah banyak yang menggunakan sepeda, gerobak, maupun sepeda motor untuk berkeliling. Meski demikian, jamu masih memiliki khasiat yang sama dan sering kali dikonsumsi oleh masyarakat.

(Resla Aknaita Chak)

 

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya