Liputan6.com, Gorontalo - Tradisi wisuda TK hingga SMA di Provinsi Gorontalo hingga saat ini, terus menuai protes dari orang tua siswa. Pasalnya, kebiasaan itu dinilai merugikan para orang tua yang sudah bekerja keras menyekolahkan anak mereka.
Menurut salah satu orang tua siswa, jika wisuda di sekolah hanyalah tradisi orang-orang berduit yang biasa merayakan kelulusan anaknya secara mewah. Namun tidak untuk siswa yang orangtuanya memiliki ekonomi lemah.
Baca Juga
"Dari dulu memang tidak ada ini tradisi wisuda anak sekolah. nanti sekarang baru diadakan," kata Risna salah satu orang tua murid yang menolak tradisi tersebut.
Advertisement
Risna mengaku, jika mereka selama ini sudah menyekolahkan anaknya dengan susah payah. Hanya bermodalkan hasil pertanian dan pekerja serabutan yang pas-pasan, hanya demi melihat anaknya lulus dengan predikat baik.
"Kami sudah susah bertani demi anak bisa sekolah, saat lulus kok masih ada acara seremonial yang meminta kami menyediakan sejumlah uang, ini kan aneh," ujarnya.
"Belum lagi kami harus menyediakan hadiah bagi anak-anak kami. Karena kalau tidak ada hadiah, pasti mereka minder dengan teman-teman lainnya. Nah, pertanyaannya uang dari mana?," tegasnya.
Sementara itu, Inkrianto Mahmud, mahasiswa Gorontalo menilai jika tradisi wisuda untuk anak sekolah ada baiknya untuk siswa. Prosesi wisuda akan membangkitkan semangat mereka untuk melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi.
"Wisudah itu kan sakral, jadi siswa akan berpikir, kami lulus sekolah saja sudah begini, apalagi kalau kuliah nanti," kata Inkrianto.
Namun, yang menjadi masalah saat ini, kata Inkrianto, pihak sekolah memungut sejumlah uang kepada orang tua siswa. Seharusnya, wisudah tersebut menjadi program sekolah dan sekolah yang memfasilitasi.
"Kalau ada pungutan tanpa dasar seperti itu, bisa dianggap pungli dan menyusahkan," ungkapnya.
"Seharusnya pemerintah melalui Kemendikbud atau Dinas Pendidikan setempat menganggarkan itu setiap sekolah. Agar orang tua senang, sekolah bisa merayakan itu tanpa ada beban," pintanya.
Tidak hanya berpotensi pungli, jika hanya dikumpul begitu saja maka bisa dipastikan akan terjadi penyelewengan dana yang sudah dikumpul. Kalau anggaran disediakan pemerintah, maka pasti guru atau pelaksana takut melakukan penyelewengan.
"Nah, ini yang harus diperbaiki. Baiknya itu tradisi tetap dilaksanakan, tetapi menggunakan anggaran Pemerintah," ia menandaskan.