Bagaimana Hukum Memberi dan Menerima Serangan Fajar Menurut Islam?

Dengan mengikuti serangan fajar itu berarti mereka memilih pemimpin hanya berdasarkan ketamakan, bukan atas kompetensi atau integritas si calon pemimpin.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 14 Feb 2024, 06:30 WIB
Diterbitkan 14 Feb 2024, 06:30 WIB
Hati-Hati Serangan Fajar, Aturan Untuk Penerima Politik Uang
Hati-Hati Serangan Fajar, Aturan Untuk Penerima Politik Uang

Liputan6.com, Yogyakarta - Pemilu telah tiba, masyarakat akan memilih siapa calon Presiden dan calon wakil Presiden yang mumpuni untuk memimpin Indonesia. Namun belakangan ini banyak isu berkembang ada kecurangan-kecurangan yang dilakukan pihak-pihak tertentu untuk memenangkan salah satu pasangan calon. Salah satu yang sering didengar adalah istilah serangan fajar.

Istilah ini merujuk pada politik uang yang dimaksudkan untuk meraup suara memenangkan paslon tertentu jelang pemungutan suara.

Praktik ini ada namun tak jarang sulit ditelusuri. Biasanya modus yang sering beredar adalah ada orang yang membagikan uang ke masyarakat lalu meminta mereka memilih paslon tertentu. Namun, orang itu biasanya dalam catatan tidak terafiliasi dengan siapapun, atau bekerja individu. Hal ini membuat pihak Bawaslu akan sangat sulit untuk mengetahui siapa yang berbuat curang.

Tentu saja, praktik ini merusak moralitas pemilih, mencederai demokrasi, sekaligus memicu dampak negatif. Halnya karena suara rakyat tidak lagi berdasarkan apa yang menjadi visi misi calon pemimpin.

Mengutip dari NU Online, bagaimana hukum serangan fajar dalam agama Islam?

1. Haram

Komisi Waqi'iyyah Bahtsul Masail Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah mengungkapkan, sejatinya, memberi atau menerima uang dengan tujuan untuk mempengaruhi suara dalam pemilihan umum termasuk dalam kategori risywah (suap), yang hukumnya haram secara mutlak. Dalam agama Islam, suap dianggap sebagai bentuk pelanggaran terhadap hak-hak orang lain dan merupakan dosa besar.

2. Dilarang undang-undang

Selain haram, serangan fajar juga dilarang lewat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Umum. Pasal 187A melarang dengan tegas pemberian dan penerimaan uang atau imbalan lain untuk mempengaruhi suara dalam pemilihan umum. Pelanggaran terhadap pasal ini dapat dikenakan sanksi pidana.

 

Simak Video Pilihan Ini:

Merusak Sistem Bernegara

3. Merusak sistem bernegara

Tak bisa dipungkiri jika politik uang adalah salah satu hal yang dapat merusak masyarakat dalam bernegara. Dengan melarangnya maka menjadi sebuah upaya untuk menutup semua peluang (saddan li dzari'ah) terjadinya kerusakan tatanan kehidupan sosial kemasyarakatan dan kehidupan bernegara.

Syekh Khatib Asy-Syirbini dalam kitab Mughni Muhtaj mengutarakan, dalam ilmu fiqih suap atau risywah didefinisikan sebagai tindakan memberi sesuatu kepada orang lain dengan tujuan agar dia melakukan sesuatu yang tidak adil atau tidak benar.

"Suap adalah pemberian sesuatu kepada orang lain agar dia memutuskan perkara dengan tidak adil atau agar dia tidak memutuskan perkara dengan adil." (Asy-Syirbini, Mughni Muhtaj, jilid VI, halaman 288).

Dengan mengikuti serangan fajar itu berarti mereka memilih pemimpin hanya berdasarkan ketamakan, bukan atas kompetensi atau integritas si calon pemimpin.

Taqiyuddin As-Subki dalam Fatawas Subki mengatakan, praktik politik uang termasuk haram. Hal ini karena praktik tersebut termasuk dalam kategori risywah, yaitu pemberian sesuatu kepada seseorang dengan tujuan agar orang tersebut melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

Suap yang dimaksud di sini adalah sesuatu yang diberikan untuk menolak hak atau untuk mendapatkan sesuatu yang batil. Jika suap diberikan untuk mendapatkan putusan hukum yang benar, maka haram bagi yang menerimanya.

Adapun bagi yang memberi suap, jika dia tidak bisa mendapatkan haknya kecuali dengan suap, maka hal itu diperbolehkan. Namun, jika dia bisa mendapatkan haknya tanpa suap, maka suap tidak diperbolehkan.

Demikian pula hukum suap untuk jabatan dan kedudukan, haram bagi yang menerimanya secara mutlak. Sedangkan bagi yang memberi suap, hukumnya dibedakan berdasarkan penjelasan di atas. (As-Subki, Fatawas Subki fi Furu' il Fiqhis Syafi'i, jilid I, halaman 221).

(Taufiq Syarifudin)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya