Tawaran Solusi Perubahan Iklim dari Dunia Arsitektur

Bangunan ramah lingkungan berbahan kayu bersertifikasi FSC dinilai cukup membantu.

oleh Edhie Prayitno Ige diperbarui 24 Feb 2024, 12:38 WIB
Diterbitkan 24 Feb 2024, 12:38 WIB
Fsc
Hartono Prabowo Technical Director FSC Indonesia dalam seminar arsitektur. Foto: liputan6.com/edhie prayitno ige 

Liputan6.com, Semarang - Bangunan residensial ramah lingkungan menjadi pilihan bagi sebagian orang untuk membantu mengatasi perubahan iklim.Tingkat ramah lingkungan bangunan dapat dinilai dari desain bangunan, materi bahan bangunan, energi yang digunakan dalam bangunan, proses pembangunan hingga asal sumber materi bahan bangunan.

Kayu adalah materi bahan bangunan yang paling ramah lingkungan. Memiliki emisi karbon yang rendah, pengolahannya hemat energi, kayu pun dapat menyimpan karbon dalam waktu yang lama. 

Dalam Expo ARCH:ID 2024, digelar seminar arsitektur dengan tema “Kayu Ramah Lingkungan Dalam Bangunan Residensial” yang di Indonesian Convention Exhibition (ICE) BSD Tangerang Selatan.

Hartono Prabowo, Technical Director FSC Indonesia menyampaikan bahwa tantangan bagi arsitek untuk mendapatkan informasi dan sumber bahan baku yang sesuai kaidah etik.

"Bahan dari kayu yang estetik, tahan lama dan berkelanjutan dari sisi kelestarian hutan. Bahan yang mengantongi sertifikasi kayu sesuai yang dikembangkan oleh Forest Stewardship Council," katanya.

Hartono menyebut salah satu contoh bangunan residensial dari kayu yang dapat kami sampaikan adalah Microlibrary di Semarang bernama Warak Kayu yang seluruhnya menggunakan kayu bersertifikasi FSC.

Ditambahkan bahwa itu sejalan dengan tema Expo ARCH:ID 2024 yaitu “Placemaking: Tolerance”. FSC ikut ambil bagian mempromosikan kayu bersertifikasi FSC di ARCH ID 2024 bersama dengan beberapa mitra FSC certificate holders selama 4 hari (22-25 Februari 2024) di ICE BSD Tangerang Selatan.”

 

Komitmen Pemerintah

Ircom
Hartono Prabowo, Technical Director FSC Indonesia menjelaskan harapan kolaborasi antara designer dengan pelaku usaha furnitur. Foto: liputan6.com/ircomm 

Sementara itu, Dr. Yuri Hermawan Prasetyo, Kepala Sub Direktorat Perencanaan Teknis Direktorat Rumah Susun Direktorat Jenderal Perumahan Kementerian PUPR menjelaskan, bahwa Pemerintah Indonesia berkomitmen menurunkan emisi gas rumahkaca hingga 31,98% dengan usaha sendiri dan 43,2% dengan bantuan internasional pada tahun 2030.

"Komitmen tersebut telah diratifikasi menjadi kebijakan nasional melalui Undang-undang," katanya.

Pemanfaatan biomaterial seperti kayu dan bambu sebagai komponen bahan bangunan dengan rekayasa teknis merupakan hal yang realistis untuk dikembangkan.

"Pemanfaatan komponen bangunan kayu dan bambu harus dilakukan bersama-sama pada setiap sektor dan pelakunya," kata Dr Yuri.

Pembicara lain, Prof. Naresworo Nugroho, Dekan Fak. Lingkungan Hidup dan Kehutanan, IPB University, menyebutkan bahwa kayu adalah bahan yang sangat serbaguna dengan berbagai sifat fisik dan mekanik yang bervariasi di antara species pohon.

"Kayu adalah sumber daya terbarukan dengan rasio kekuatan terhadap beban yang mumpuni," tambahnya.

Sedangkan I Ketut Rana Wiarcha, Ketua Kehormatan IAI Nasional & Chairman of Indonesia Monitoring Committee on Architectural Services (IMC) menyebut bahwa kayu sebagai bahan struktur dan konstruksi bangunan sangat melekat dengan jati diri dan nilai budaya Indonesia.

"Pembangunan harus sepenuh hati menjunjung tinggi kode etik profesi. Terutama komitmen melestarikan lingkungan alam dan identitas arsitekturalnya," katanya.

Agar implementasi di lapangan lebih realistis, stakeholder diharapkan meningkatkan kapasitas dan ketrampilan kerja konstruksi kayu melalui pendidikan dan pelatihan yang secara simultan dan belajar mengerjakan secara langsung.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya