Hutan Sakral Dikonversi Jadi Kebun Sawit, Ahli Waris Lapor Polisi

PT Bina Sarana Sawit Utama (PT BSSU) diduga menyerobot tanah warga dan merusak situs kebudayaan dalam proses pembukaan lahan untuk kebun di Desa Marapit, Kecamatan Kapuas Tengah, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah.

oleh Roni Sahala diperbarui 30 Mar 2024, 13:00 WIB
Diterbitkan 30 Mar 2024, 13:00 WIB
Keramat Batu
Keluarga Ajak Jaya melaksanakan ritual di Keramat Batu yang berada di tengah areal yang dibuka untuk ditanami sawit milik PT Bina Sarana Sawit Utama di Desa Marakit, Kecamatan Kapuas Tengah, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, Rabu (27/3/2024).

Liputan6.com, Palangka Raya - PT Bina Sarana Sawit Utama (PT BSSU) yang beroperasi di Desa Marapit, Kecamatan Kapuas Tengah, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, diduga melakukan penyerobotan lahan milik warga. Perusahaan sawit ini juga dituduh merusak situs bersejarah dan bernilai budaya dalam masyarakat Dayak Ngaju akibat aktivitas pembukaan lahan tersebut.

Menurut Ketua Kalteng Watch, Men Gumpul, pada 2022 PT BSSU melakukan pembukaan lahan berjarak sekitar 15 menit dari Desa Marapit. Di lokasi tersebut terdapat pahewan, kaleka, dan keramat batu atau patahu yang dibangun dan dikelola almarhum Ajak Jaya sejak sekitar tahun 1945 silam.

"Kaleka dalam kebudayaan Dayak adalah bekas ladang yang dijadikan kebun dan dikelola secara turun-temurun. Sedangkan pahewan adalah hutan yang tidak boleh diganggu, sementara keramat atau patahu adalah tempat penghormatan," jelas Men Gumpul, Jumat (29/3/2024).

Akibat pembukaan lahan untuk perkebunan sawit tersebut, kaleka yang penuh tanaman buah seperti nangka, langsat, dan durian milik warga dibabat habis. Begitu pula pahewan atau hutan khusus yang statusnya cukup sakral bagi suku Dayak Ngaju, dihancurkan dan kayu-kayunya diambil.

Ironisnya, cucu-cucu Ajak Jaya yang mewarisi pengelolaan lahan tersebut tidak diberitahu dan dikoordinasikan oleh perusahaan. Mereka juga tidak mendapatkan ganti rugi atas lahan dan tanaman yang telah dihancurkan. "Ada tujuh kali pertemuan antara ahli waris Ajak Jaya dan perusahaan terkait lahan itu, tetapi tidak menghasilkan kesepakatan," ungkap Men Gumpul.

Atas peristiwa tersebut, keluarga besar keturunan Ajak Jaya kemudian melaporkan dugaan pengrusakan dan penyerobotan lahan ke Polda Kalimantan Tengah pada 29 Januari 2024. Sudarwana Sakri, salah satu ahli waris, menjelaskan lahan tersebut terus mereka kelola. Hal itu ditunjukkan dengan keberadaan keramat batu atau patahu yang terakhir dipugar pada 2012, jauh sebelum perusahaan hadir.

"Keramat ini namanya Keramat Amai Suling, leluhur yang berkuasa di kawasan ini," kata Sudarwana seusai melakukan ritual di tempat tersebut, Rabu (27/3/2024).

Keramat itu sebelumnya berada di tengah pepohonan rimbun. Namun, setelah perusahaan datang, bangunan dengan ukuran 3 meter persegi tersebut kini berada di hamparan luas tanpa pohon besar, hanya tanah kuning yang tampak. Begitu pula dengan Pahewan atau hutan larangan yang umumnya berada di bukit itu kini terlihat gersang. Pohon-pohon besar berusia puluhan hingga ratusa tahun yang ada di tempat itu sudah habis.

Kepala Desa Marapit, Jumrit K Abes ketika dimintai penjelasan soal aktivitas perusahaan itu menolak berkomentar. Dia beralasan pemerintah desa tidak dilibatkan dalam aktivitas perusahaan di lokasi tersebut.

Di sisi lain, sejumlah warga dan ahli waris Ajak Jaya mencurigai Jumrit berpihak kepada perusahaan. Hal itu ditunjukan dengan sikapnya yang cenderung diam melihat tindak tanduk perusahaan dan juga mempersulit warga terkait surat-menyurat yang berhubungan dengan lahan.

Martin yang mengaku sebagai Humas PT BSSU membantah bahwa perusahaan telah melakukan pengrusakan terhadap tempat sakral dalam aktivitas pembukaan lahan. Dia menolak untuk ditemui dan memberikan keterangan terkait persoalan tersebut.

“Saya tidak ada dapat izin dari pimpinan dan masalah ini sedang berjalan di Polda Kalteng,” kata Martin melalui sambungan telepon.

 

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya