Liputan6.com, Bandung - Tidak terasa bulan Ramadan sudah berada di penghujungnya, yakni di sepuluh hari terakhir Ramadan 1445 H.
Pada penghujung bulan Ramadan ini, dianjurkan agar memperbanyak ibadah kita. Menurut Kepala KUA Kecamatan Cibuaya, Kantor Kemenag Kabupaten Karawang, Jawa Barat, Deni Firman Nurhakim, dicuplik dari laman Kemenag Jabar, Senin, 1 April 2024, mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW, di sepuluh hari terakhir ini seyogyanya kita semakin meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadah kita.
Baca Juga
Siti Aisyah r.a, Isteri Nabi Muhammad SAW menuturkan:
Advertisement
"Apabila sudah masuk sepuluh hari yang terakhir dari bulan Ramadhan, Rasulullah SAW membangunkan keluarganya, mengencangkan sarungnya dan menghidupkan malamnya."(H.R. Bukhori).
Namun patut disayangkan kata Deni, sunnah Nabi tersebut kemudian dipersempit sebatas menunggu dan berburu lailatul qodar.
Benar, tidak salah bila kita mengharapkan bertemu dengan malam yang lebih baik dari seribu bulan tersebut.
Namun, akan menjadi keliru bila ibadah-ibadah yang dilakukan itu sepenuhnya diorientasikan hanya untuk memperoleh lailatul qodar, bukan karena iman (iimaanan) dan mengharapkan keridaan Allah SWT (wahtisaaban).
Arti Lailatul Qodar
Kalau kita sepakat dengan tafsir kata 'lailatul qodar' yang menunjukkan arti malam kemuliaan atau malam penentuan, itu artinya llailatul qodar terjadi pada waktu malam hari.
"Dan pengertian 'malam' itu mulai terbenam matahari hingga terbit fajar," ujar Deni.
Dengan demikian, tanpa ditunggu dan diburu pun malam qadar, sama seperti malam-malam lainnya, akan datang dan menyapa seluruh manusia tanpa terkecuali.
Bedanya, ada yang merasakan sapaan lailatul qadar tersebut dengan jelas, ada juga yang kurang jelas.
"Bahkan, ada yang sama sekali tidak jelas. Yang membedakan penerimaan mereka adalah kadar kejernihan hati masing-masing," terang Deni.
Bila diibaratkan, hati itu bagaikan antena TV. Semakin baik hati kita, maka semakin bagus daya tangkapnya terhadap energi positif lailatul qadar.
Namun sebaliknya, semakin kusam hati kita, maka semakin buruk daya tangkapnya terhadap energi positif yang dipancarkan lailatul qadar.
Advertisement
Kebeningan Hati
Dengan demikian, agar bisa meraih kemuliaan malam qadar, modal terpentingnya adalah hati yang bening. Untuk mengukur kebeningan hati, Ibnu Qoyyim dalam kitabnya 'Ar-Ruh' menguraikan:
"Hati yang telah mencapai kedamaian dan ketentraman bisa mengantarkan pemiliknya dari ragu kepada yakin; dari kebodohan kepada ilmu; dari lalai kepada ingat; dari khianat kepada amanat; dari riya kepada ikhlas; dari lemah kepada teguh, dan dari sombong kepada tahu diri."
Alaa kulli haal, daripada sibuk menerka-nerka kapan persisnya datang lailatul qadar, lebih baik kita terus menata hati kita agar bersih dari sifat-sifat tercela, juga meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadah kita ikhlas semata karena Allah SWT.
Sehingga, saat lailatul qadar datang menyapa, kita merasakan sapaan tersebut dengan jelas, sejelas-jelasnya. Pada akhirnya, lailatul qadar pun menjadi entry point terbentuknya pribadi yang lebih baik dari sebelumnya.
Pengertian I'tikaf
Mustasyar PBNU, Dr. KH. Zakky Mubarak, MA, mengatakan i’tikaf menurut pengertian bahasa berasal dari kata ‘akafa–ya’kifu–ukufan.
Bila kalimat itu dikaitkan dengan kalimat 'an al-amr' menjadi 'akafahu an al-amr' berarti mencegah. Bila dikaitkan dengan kata 'ala menjadi 'akafa ‘ala al-amr artinya menetapi.
"Pengembangan kalimat itu menjadi i’takafa-ya’takifu-i’tikafan artinya tetap tinggal pada suatu tempat. Kalimat I’takafa fi al-masjid berarti “tetap tinggal atau diam di masjid”," ujar Zakky dicuplik dari laman NU Online.
Menurut pengertian istilah atau terminologi, i’tikaf adalah tetap diam di masjid untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan beribadah, dzikir, bertasbih dan kegiatan terpuji lainnya serta menghindari perbuatan yang tercela.
Advertisement
Hukum I'tikaf
Hukum i’tikaf adalah sunnah, dapat dikerjakan setiap waktu yang memungkinkan terutama pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
Dari Aisyah r.a. isteri Nabi s.a.w. menuturkan, "Sesungguhnya Nabi SAW. melakukan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan hingga beliau wafat, kemudian istri-istrinya mengerjakan i’tikaf sepeninggal beliau". (Hadis Shahih, riwayat al-Bukhari: 1886 dan Muslim: 2006).
عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَسَافَرَ سَنَةً فَلَمْ يَعْتَكِفْ فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا
Dari Ubay bin Ka'ab r.a. berkata, "Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan. Pernah selama satu tahun beliau tidak beri’tikaf, lalu pada tahun berikutnya beliau beri’tikaf selama dua puluh hari". (Hadis Hasan, riwayat Abu Dawud: 2107, Ibn Majah: 1760, dan Ahmad: 20317).
Beri’tikaf di luar bulan Ramadhan, dijelaskan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a.:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَكِفُ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَكُنْتُ أَضْرِبُ لَهُ خِبَاءً فَيُصَلِّي الصُّبْحَ ثُمَّ يَدْخُلُهُ فَاسْتَأْذَنَتْ حَفْصَةُ عَائِشَةَ أَنْ تَضْرِبَ خِبَاءً فَأَذِنَتْ لَهَا فَضَرَبَتْ خِبَاءً فَلَمَّا رَأَتْهُ زَيْنَبُ ابْنَةُ جَحْشٍ ضَرَبَتْ خِبَاءً آخَرَ فَلَمَّا أَصْبَحَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى الْأَخْبِيَةَ فَقَالَ مَا هَذَا فَأُخْبِرَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَالْبِرَّ تُرَوْنَ بِهِنَّ فَتَرَكَ الِاعْتِكَافَ ذَلِكَ الشَّهْرَ ثُمَّ اعْتَكَفَ عَشْرًا مِنْ شَوَّالٍ
Dari Aisyah r.a. berkata, "Nabi SAW. biasa beri’tikaf sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, kemudian aku memasang tirai untuk beliau, lalu beliau mengerjakan shalat Shubuh, kemudian beliau masuk ke dalamnya. Hafsah kemudian meminta izin pada Aisyah untuk memasang tirai, lalu Aisyah mengizinkannya, maka Hafsahpun memasang tirai. Waktu Zainab binti Jahsyi melihatnya, iapun memasang tirai juga. Pagi harinya Nabi s.a.w. menjumpai banyak tirai dipasang, lalu beliau bertanya: 'Apakah memasang tirai-tirai itu kamu pandang sebagai suatu kebaikan?'. Maka beliau meninggalkan i’tikaf pada bulan itu (Ramadhan itu). Kemudian beliau beri’tikaf pada sepuluh hari dari bulan Syawal (sebagai gantinya)". (Hadis Shahih, riwayat al-Bukhari: 1892 dan Muslim: 2007).
Rukun dan Syarat I’tikaf
Rukun i’tikaf terdiri dari:
1. Niat i’tikaf, baik i’tikaf sunnah atau i’tikaf nadzar. Bila seorang muslim bernadzar akan melakukan i’tikaf, maka baginya wajib melaksanakan nadzar terse¬but dan niatnya adalah niat i’tikaf untuk menunaikan nadzarnya.
2. Berdiam diri dalam masjid, sebentar atau lama sesuai dengan keinginan orang yang beri’tikaf atau mu’takif. I’tikaf di masjid bisa dilakukan pada malam hari ataupun pada siang hari.
Syarat i’tikaf terdiri dari:
1. Muslim, bagi non muslim tidak sah melakukan i’tikaf.
2. Berakal, orang yang tidak berakal tidak sah melaksanakan i’tikaf.
3. Suci dari hadats besar.
Advertisement
Yang Membatalkan I’tikaf
I’tikaf di masjid menjadi batal disebabkan oleh: (1) Bercampur dengan istri, berdasarkan firman Allah SWT.:
وَلَا تُبَٰشِرُوهُنَّ وَأَنتُمۡ عَٰكِفُونَ فِي ٱلۡمَسَٰجِدِۗ تِلۡكَ حُدُودُ ٱللَّهِ فَلَا تَقۡرَبُوهَاۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ ءَايَٰتِهِۦ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمۡ يَتَّقُونَ
"…Dan janganlah kamu campuri mereka (istrimu) itu, sedang kamu beri’tikaf di masjid, itulah ketuntuan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka bertakwa". (QS. al-Baqarah, 2:187).
Sebab yang ke (2) keluar dari masjid tanpa udzur atau halangan yang dibo¬lehkan syariat. Tetapi bila keluar dari masjid karena ada udzur, misalnya buang hajat atau buang air kecil dan yang serupa dengan itu, tidak membatalkan i’tikaf.
Diperbolehkan keluar dari masjid, karena mengantarkan keluarga ke rumah, atau untuk mengambil makanan di luar masjid, bila tidak ada yang mengantarkannya. Aisyah r.a. meriwayatkan:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اعْتَكَفَ يُدْنِي إِلَيَّ رَأْسَهُ فَأُرَجِّلُهُ وَكَانَ لَا يَدْخُلُ الْبَيْتَ إِلَّا لِحَاجَةِ الْإِنْسَانِ
Dari Aisyah r.a. menuturkan, "Nabi s.a.w. apabila beri’tikaf, beliau mendekatkan kepalanya kepadaku, lalu aku sisir rambutnya, dan beliau tidak masuk rumah kecuali untuk keperluan hajat manusia (buang air besar atau buang air kecil)". (Hadis Shahih, riwayat al-Bukhari: 1889 dan Muslim: 445). Wallaahu alamu bis showaab.