OPINI: Menggugat Cancel Culture

Cancel Culture: dipandang sebagai sesuatu yang mudah ketimbang nyata, cocok bagi orang-orang yang tak cukup punya motivasi untuk melakukan suatu pengorbanan nyata.

oleh Tim Regional diperbarui 20 Jul 2024, 17:49 WIB
Diterbitkan 20 Jul 2024, 01:25 WIB
JOURNAL_Cancel Culture: Pemboikotan Ramai di Media Sosial untuk Matikan Karier Seseorang?
JOURNAL_Cancel Culture: Pemboikotan Ramai di Media Sosial untuk Matikan Karier Seseorang? (Liputan6.com/Abdillah)

Liputan6.com, Jakarta - Saya menjalani profesi di bidang kepenulisan dan pendidikan. Mengajar di berbagai universitas sejak tahun 2008 dan tengah menempuh studi S3 di sebuah kampus di Jakarta, saya juga aktif di berbagai komunitas selama hampir tujuh belas tahun mulai dari komunitas musik klasik, musik jazz, literasi, film, filsafat, hingga merajut.

Artikel-artikel yang saya tulis tadinya bisa mudah ditemukan di berbagai website dengan cara mengetikkan nama saya di mesin pencari. Begitu pun buku-buku yang telah saya hasilkan, yang judulnya mencapai belasan, sebelumnya tersebar luas di toko buku offline maupun lapak jualan online.

Dalam tiga tahun terakhir, saya sering diundang menjadi pembicara dalam berbagai forum, dari mulai level komunitas hingga kementerian. Sampai kemudian saya mengalami peristiwa yang mengubah keadaan.

Sejak sebuah cuitan merebak pada 9 Mei 2024 di media sosial X yang berisi tuduhan bahwa saya melakukan kekerasan seksual di tempat saya bekerja sekitar tujuh sampai sebelas tahun lalu -kemudian diamplifikasi oleh seorang influencer- sejak itu pula hidup saya tak lagi sama.

Karir sebagai penulis, akademisi, dan intelektual yang saya bangun selama hampir dua puluh tahun luluh lantak dalam hitungan hari saja.

Tak sampai seminggu dari pertama kali cuitan tersebut menjadi viral, berturut-turut saya mendapat pemutusan hubungan sepihak dari berbagai penerbit yang menerbitkan buku-buku saya, kampus tempat bekerja, dan universitas tempat menempuh studi S3.

Tidak sampai di situ, tulisan-tulisan saya di berbagai website diturunkan dan berbagai komunitas serta individu menyatakan tidak lagi berafiliasi dengan saya.

Media-media turut memberitakan, sehingga tuduhan kekerasan seksual terhadap saya tidak hanya berpusar di ribuan netizen, melainkan juga diketahui oleh masyarakat luas, termasuk dunia akademik.

Karir saya sebagai dosen dan peneliti yang digeluti selama belasan tahun seketika tamat. Sekali lagi, semuanya berlangsung dalam hitungan hari. Cancel culture atau budaya pembatalan sebagai fenomena yang kerap saya saksikan terjadi pada orang lain, kali ini menimpa diri saya sendiri.

Pertanyaannya, apakah saya benar-benar melakukan kekerasan seksual sebagaimana dituduhkan? Saya berusaha untuk hati-hati dalam menuliskan ini karena paham betul kalau takaran kekerasan seksual mesti juga didasari empati terhadap korban.

Seperti dalam surat pengakuan yang saya tulis dan unggah pada 10 Mei 2024 di X, saya mengakui bahwa interaksi saya dengan orang lain jauh dari sempurna.

Saya sama sekali tidak menampik bahwa saya memang pernah bersikap genit pada sejumlah individu. Saya juga tidak memungkiri bahwa saya punya sejumlah masalah pribadi dengan orang lain, mulai dari problem utang piutang, miskomunikasi, hingga serangkaian tindakan yang menyebabkan perasaan orang lain itu menjadi tidak nyaman, bahkan sakit hati.

Namun apakah problem-problem tersebut kemudian bisa ditarik kesimpulan sebagai kekerasan seksual, yang merupakan bagian dari tindak pidana?

Perbuatan yang dikategorikan sebagai kekerasan seksual itu sendiri telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Pasal-pasalnya cukup jelas, mekanisme pembuktiannya ada, jerat hukumannya juga tertulis.

Tak bisa dipungkiri bahwa proses peradilan kita memang masih banyak menyisakan masalah, tetapi bukan artinya seseorang bisa dihakimi massa hanya dengan, misalnya, mengacu pada spill-spill (bocoran-bocoran) sepihak yang menyebabkan dirinya menerima label setara pemerkosa.

Sekali lagi, saya berusaha agar tulisan ini tidak menginvalidasi perasaan siapapun. Siapapun yang pernah merasa tidak nyaman dengan perlakuan saya, berhak merasa tidak nyaman. Siapapun yang pernah merasa disakiti oleh perlakuan saya, berhak merasa tersakiti.

Saya berempati, saya minta maaf, dan saya berharap bisa turut mencarikan jalan keluar yang adil dan solutif bagi mereka yang mengalami perasaan demikian. Namun jika ternyata cancel culture adalah jalan yang dipilih, saya merasa tindakan semacam ini menjadi terlampau tergesa-gesa dan malah menciptakan korban baru.

Kenyataannya, pada saat saya menuliskan artikel ini atau 68 hari sejak cuitan berisi tuduhan terhadap saya merebak, tidak ada satu pun pihak yang melaporkan saya atas tindak pidana kekerasan seksual. Saya tidak mau takabur karena mungkin saja memang ada pihak yang tengah mempersiapkan laporan formal terhadap saya.

Kalaupun memang ada, saya justru menantikan proses ini, ketimbang membiarkan diri saya dihakimi oleh kemarahan publik yang tak semuanya paham duduk perkaranya, tetapi dengan entengnya menghina, menghujat, dan mengancam tidak hanya pada saya, tapi juga teman-teman, saudara, dan keluarga saya yang sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan masalah ini. 

Memang “aktivisme digital”, menurut Malcolm Gladwell yang dikutip oleh Eve Ng dalam buku berjudul Cancel Culture: a Critical Analysis (2022) dipandang sebagai sesuatu yang “mudah” ketimbang “nyata”, cocok bagi orang-orang yang “tak cukup punya motivasi untuk melakukan suatu pengorbanan nyata” (“not motivated enough to make a real sacrifice”) (Ng, 2022: 43).

Saya memahami bahwa kemunculan cancel culture juga bukan tanpa sebab. Adanya masalah dalam penegakan hukum membuat masyarakat mengalami ketidakpuasan, terutama terkait penanganan korban kekerasan seksual.

Itu sebabnya, penghakiman publik menjadi bentuk pengadilan yang lain dalam rangka menghukum si pelaku dan memberi keadilan tertentu bagi korban.

 

Cancel Culture

Namun sekaligus perhatikan juga bahwa dalam praktik cancel culture, seringkali aksi yang muncul bukan dilakukan atas pertimbangan keadilan serta pemulihan kondisi korban, melainkan lebih pada pemuasan birahi massa untuk melakukan cyberbullying dan pembunuhan karakter seseorang.

Ujung-ujungnya, tak peduli apakah telah ada proses pembuktian yang memadai, seseorang yang kena amuk itu sudah telanjur rusak karirnya, dicerabut dari kehidupan publik, sementara massa yang pernah menghakimi sudah sibuk beralih pada isu lain dalam hitungan hari.

Masalah lain dari cancel culture adalah prinsip yang seolah melekat pada publik, bahwa “Jika Anda tidak berada di pihak kami, maka Anda adalah musuh kami”. Mereka yang bersimpati, memberikan dukungan bagi tertuduh, kemudian dilabeli sebagai “pihak yang memberi ruang” (enabler) sehingga tak jarang turut dibatalkan juga dari kehidupan publik.

Orang-orang yang mencoba bersuara untuk melihat suatu kasus dari sudut pandang yang lain, yang berbeda dari pendapat orang banyak, langsung diserbu dan diintimidasi, mendapat tudingan sebagai “bagian dari pihak musuh”.

Dengan demikian, semangat keadilan jadinya hanya sekadar penghukuman yang berbasis pada amukan massa (angry mob), tanpa memperhatikan pemulihan yang adil bagi semua pihak.

Artinya, cancel culture sebagai solusi atas penegakan hukum yang tak memuaskan, menjadi sama problematiknya. Seseorang bisa kena tuduh telah melakukan kekerasan seksual dengan mengacu pada pengakuan tak lengkap, dipotong dari konteks, oleh sumber yang tak dapat diverifikasi.

Sekali lagi saya paham bahwa hal-hal demikian bisa juga dijalankan demi perlindungan identitas korban. Saya mengerti bahwa korban perlu mendapatkan keamanan dan kenyamanan dalam menceritakan pengalamannya.

Namun prinsip tersebut juga memberikan celah bahwa siapapun bisa, bahkan saya sekalipun, mengaku sebagai “korban” lalu membangun narasi perkara kekerasan seksual yang dilakukan pihak lain, tanpa saya perlu memaparkan konteksnya secara utuh dan membeberkan identitas saya dengan dalih “perlindungan terhadap korban”.

Narasi semacam ini akan langsung menjadi santapan warganet dan bukan tidak mungkin menjadi viral, langsung mematikan sasaran seketika.

Perlu ditegaskan, bahwa saya bukannya tidak berempati pada korban lewat pernyataan di atas. Justru saya begitu berempati pada korban, yaitu mereka yang dimaksud sebagai korban yang sebenar-benarnya korban.

Saya hanya khawatir prinsip “berpihak pada korban” menjadi dua sisi mata uang yang bisa dimanfaatkan orang-orang tertentu dengan memposisikan dirinya sebagai “korban” sehingga apapun yang diceritakannya menjadi sebuah kebenaran tanpa perlu verifikasi yang memadai.

Itu sebabnya, dengan segala kelemahannya, prinsip presumption of innocence dan due the process of law rasanya masih bisa dipercaya untuk menghindari penghakiman publik yang brutal dan serampangan.

Sekurang-kurangnya, dalam proses mencari keadilan ini, semua pihak diberi kesempatan untuk memberikan pernyataan, kesaksian, membeberkan bukti-bukti, dan mengetahui duduk perkara secara terang benderang, sebelum diputuskan bersalah secara hukum, diberitakan secara masif, dan dihukum secara sosial.

Cancel culture sudah kadung dilakukan terhadap saya. Saya pribadi tidak berharap kehidupan sosial dan profesional saya bisa kembali seperti sediakala. Saya sudah siap menerima kalaupun saya tak bisa kembali mengajar di kampus atau tak lagi dibolehkan melanjutkan studi doktoral.

Saya sadar bahwa hampir mustahil bagi saya untuk meneruskan kehidupan intelektual dengan menjadi pembicara di forum publik. Tiarap dan mundur, meneruskan karir di bidang lain adalah opsi paling realistis bagi saya untuk tetap dapat melanjutkan hidup.

Meski demikian, mungkin untuk terakhir kalinya, melalui tulisan ini, saya ingin bersuara dan melawan, agar jangan sampai bermunculan korban-korban (cancel culture) lainnya.

Penulis: Syarif Maulana

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya