Memahami Perspektif Moksa Dalam Kebudayaan Jawa

Moksa sering dipahami sebagai menghilangnya tubuh dan roh sebagai simbol kesempurnaan. Benarkah?

oleh Edhie Prayitno Ige diperbarui 30 Agu 2024, 15:33 WIB
Diterbitkan 30 Agu 2024, 15:33 WIB
Moksa
Filolog dari Universitas Gajah Mada Manu J Widyoseputra, menjelaskan terminologi moksa dalam perspektif Jawa. Foto: liputan6.com/edhie prayitno ige 

Liputan6.com, Yogyakarta - Tak ingin jalan spiritualisme Jawa tergerus pragmatisme, digelar Pekan Budaya Spiritual Festival Moksa #1 di Rumah Budaya Hardopusoro di Tembi, Bantul, Jogja, 24-28 Agustus lalu. Berbentuk festival sehingga acara diisi pameran karya juga sarasehan budaya, pentas seni dan pameran Buku.

Hangno Hartono salah satu yang terlibat aktif di Rumah Budaya Hardopusoro menyebut bahwa Festival Moksa menggali tema utama filsafat Jawa yang sangat populer yaitu Sangkan Paraning Dumadi (dari mana dan kemana manusia ada).

"Secara umum, Moksa adalah metode jalan kembali secara sempurna ke Sang Pencipta," kata Hangno.

Tema Moksa dipilih dalam sepekan Budaya Spiritual dikarenakan Moksa adalah tema misteri eksistensialis. Dalam pemahaman Moksa, ada paham after life yang membikin semua manusia, semua peradaban dan semua agama mengimaninya sebagai batas ketidak mengertian pengetahuan rasional.

"Jawa sudah mempunyai pengetahuan Epistemik tentang Moksa tersebut," kata Hangno.

Sebagai sebuah tema budaya, ini termasuk tema langka. Ia mempunyai suspensi atau daya kejut untuk menarik minat peserta. terbukti selama kegiatan puluhan peserta mengikuti acara penuh.

 

Penyaji Seni

Moksa
Pertunjukkan Wayang Sampah yang dibawakan Toni Konde, penampil dari Solo. Foto: liputan6.com/edhie prayitno ige 

Festival ini menggelar beberapa event seperti pameran Lukis dan Patung, Pertunjukan dan Saresehan.

Pameran Lukis dan Patung dengan seniman Hangno Hartono, Arita Savitri, Eko Hend, Rakhmat S, Aris Priyandono,Tukirno B Sutejo, Amboro Luring, Godod Sutejo, Suyono, Agus Herjaka, Hajar Pamadi, Elang DC, Deeah Ayu, Budi Barnabas, Kondang Sugito, dan R Hendrawan. 

Sementara untuk pertunjukan melibatkan Nanang Garuda (Wayang 3D), Hendrawan (Wayang Cumplung), Toni Konde )Wayang Sampah), Hangno Hartono (Wayang Jataka) dan Iwan Wijono.

Sementara itu untuk sarasehan, sejumlah pembicara budaya terlibat tampil. Mulai dari Filolog Manu J Widyaseputra, Punto Argari dari Yayasan Hardopusoro, Setya Amrih Prasaja, Supriadi Sapta Atmaja yang merupakan penggiat budaya Jawa dan Deni Sumanjaya dari Perwatin-Theosofi. 

Filolog UGM, Manu J Widyoseputra menyebut bahwa Menurut Romo Manu, filolog UGM menyebut bahwa pengertian Moksa dalam naskah tidak merujuk ke kematian. Justru moksa adalah pencapaian puncak kesadaran ketika masih hidup yaitu tertemunya Bhakti dan Mukthi. 

"Naskah tentang Moksa ada dalam sejumlah kitab Kuno yakni Dharma Sastra, Kama Sastra dan Artha Sastra," katanya.

Ditambahkan bahwa Moksa menjadi salah satu bagian dari Catur purusa artha yang meliputi Brahmacarin, Grhasthin, Aranyaprasthin dan Samnyasin.

Ketua panitia Festival Moksa, Iwan Wirawan berencana menjadikan festival sebagai kalender tahunan dari Rumah Budaya Hardopusoro dan peringatan 1 abad Moksanya pendiri kawruh Hardopusoro Ki Somocitro.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya