Serangan Israel Pengaruhi Demografi dan Peradaban Palestina

Lebih dari satu tahun yang lalu Israel melancarkan serangan ke Palestina, Gaza khususnya, tepat pada 7 Oktober 2023. Serangan Israel yang menewaskan puluhan ribu warga Palestina akan mempengaruhi peradaban Palestina.

oleh Yanuar H diperbarui 19 Des 2024, 18:00 WIB
Diterbitkan 19 Des 2024, 18:00 WIB
Aksi Bela Palestina di Jakarta
Aliansi Mahasiswa Islam Jakarta Solidaritas Untuk Palestina, melakukan unjuk rasa di depan Kedutaan Amerika, Jakarta, Rabu (12/5/2021). Mereka mendesak AS menghentikan kekerasan Israel terhadap warga Palestina, terkait serangan ke warga sipil di Kompleks Masjid Al Aqsa (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Yogyakarta - Setahun lebih Israel menyerang Palestina dan menewaskan 45.000 penduduk Palestina, lebih dari 100.000 orang membutuhkan perawatan medis di rumah sakit, dan 50% infrastruktur di Palestina seperti perumahan dan sekolah rata dengan tanah. Kayed Al-Maery dari Witness Center for Citizens Rights and Social Development, Palestina mengatakan kondisi di Palestina tidak hanya krisis kemanusiaan karena serangan Israel, tetapi Israel ingin mengubah struktur demografi dan peradaban penduduk Palestina.

“Jumlah korban dari masyarakat sipil tentu akan memengaruhi pertumbuhan jumlah penduduk di Palestina. Lebih jauh lagi, dengan segala kerusakan infrastruktur terutama sarana pendidikan pun semakin memperlambat perkembangan peradaban, dimana Palestina akan membutuhkan setidaknya dua puluh tahun untuk membangun sistem pendidikan yang layak untuk mencerdaskan penduduknya. Inilah yang mengakibatkan terganggunya struktur demografi, dari angka harapan hidup dan kualitas pendidikan di Palestina,” ujar Kayed saat memberikan kuliah umum di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) pada Jumat 13 Desember 2024.

Kayed mengatakan melihat rasio jumlah penduduk Palestina dan Israel adalah 50:50, maka Israel ingin memperbanyak rasio jumlah penduduk Israel dengan melakukan genosida terhadap penduduk Palestina. Ini menjadi salah satu tujuan Israel, yang juga dapat dicapai dengan strategi diplomasi untuk mengubah isi dari perjanjian perdamaian dengan negara Jazirah Arab seperti Yordania.

Menurut Kayed, Israel ingin mengubah beberapa ketentuan terkait perbatasan dengan menambah kekuatan militer di wilayah tersebut, sekaligus menormalisasi hubungan kerja sama antara Israel dengan negara-negara Islam. Kendati demikian, Kayed mengklaim bahwa penduduk Palestina tidak merasa tertekan dengan segala tindak penindasan dari Israel. "Kepercayaan bahwa hak kepemilikan atas tanah Palestina adalah legal secara hukum menjadikan penduduk Palestina tetap memberikan perlawanan bagi Israel dan juga Amerika Serikat."

Kuliah umum daeri International Program of International Relations (IPIREL) UMY ini juga membahas bagaimana respon dunia internasional atas situasi di Gaza dan Palestina, dan bagaimana peran organisasi internasional dalam membangun perdamaian. Yasmi Adriansyah yang juga pembicara mengatakan Organisation of Islamic Cooperation (OIC) menjadi organisasi internasional yang sangat responsif atas situasi di Palestina, sejak awal didirikan hingga saat ini.

“Bahkan, alasan terbentuknya OIC adalah sebagai tanggapan atas situasi pembakaran di beberapa bagian Masjid Al-Aqsa pada 1969. Komitmen OIC dalam pemberian dukungan yang besar bagi Palestina pun terus terbukti hingga saat ini,” imbuhnya.

Yasmi anggota pimpinan Lembaga Hubungan dan Kerja Sama Internasional, Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini juga mengingatkan jika mandat yang dimiliki OIC tidak lebih berpengaruh dari PBB. Menurutnya, PBB melalui Dewan Keamanan lebih memiliki wewenang dalam menjalankan misi penjagaan perdamaian karena memiliki otoritas militer. Walaupun demikian, OIC tetap memiliki pengaruh dalam menentukan keputusan politik dan bantuan kemanusiaan bagi Palestina.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya