Liputan6.com, Dharmasraya - Partisipasi perempuan dalam ranah politik di Indonesia masih menghadapi tantangan besar, terutama ketika mereka maju sebagai calon kepala daerah dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Stereotip gender yang mengakar di masyarakat seringkali menjadi hambatan utama, karena perempuan kerap dianggap kurang kompeten atau tidak memiliki kemampuan memimpin setara dengan laki-laki.
Baca Juga
Selain itu, sistem politik yang masih didominasi oleh jaringan patriarki membuat perempuan sulit mendapatkan dukungan penuh dari partai politik, baik dalam bentuk pencalonan maupun pembiayaan kampanye yang kompetitif.
Advertisement
Tidak hanya itu, perempuan kandidat Pilkada sering menghadapi kampanye hitam berbasis isu personal seperti kehidupan rumah tangga atau penampilan fisik, yang jarang dialami oleh kandidat laki-laki.
Hambatan ini semakin mempertegas bahwa politik di Indonesia belum sepenuhnya inklusif. Dengan memperbaiki sistem yang lebih inklusif dan memberikan ruang yang setara, peran perempuan dalam politik dapat menjadi motor penggerak perubahan yang signifikan.
Stigma tersebut juga dialami oleh Bupati dan Wakil Bupati Dharmasraya terpilih dalam Pilkada 2024, yaitu Anisa Suci Ramadhani dan Leli Arni.
Anisa-Leli adalah perempuan pertama yang berhasil menduduki kursi kepala daerah di Provinsi Sumatera Barat, yang memiliki 19 kabupaten/kota. Sumatera Barat, memiliki budaya matrilineal atau sistem kekerabatan yang diwariskan melalui garis ibu. Perempuan Minang juga dikenal dengan sebutan Bundo Kanduang.
Sebagai perempuan Minang, mereka mendapatkan tantangan saat maju dalam Pilkada 2024 Kabupaten Dharmasraya.
Perempuan di Daerah Matrilineal
"Ndak ado urang laki-laki di Dharmasraya tu? (Di Dharmasraya sudah tidak ada laki-lakinya?)" tulis akun Instagram @Adri**********.
"Lah hilang marwah laki-laki di sinan, masa iyo ndak ado laki-laki yang jadi calon pemimpin (Sudah hilang marwah laki-laki di sana, masa iya tidak ada laki-laki yang menjadi calon pemimpin)," kata akun @Ahmad********.
"Pitih e banyak, jadi takuik urang malawan e, ndak tabayang dek den do, kalau batino alay mode ko jadi pemimpin (Duitnya banyak, jadi orang takut melawannya. Saya tidak terbayang kalau perempuan alay seperti ini menjadi pemimpin)," tulis akun @kuc*******.
Komentar-komentar di atas hanya sebagian kecil dari banyaknya tanggapan yang ditulis warganet pada unggahan tentang pencalonan Bupati Dharmasraya, Anisa-Leli, selama masa kampanye Pilkada serentak 2024.
Unggahan tersebut dipublikasikan di akun Instagram salah satu media di Sumatera Barat pada tanggal 1 September 2024.
Sumatera Barat memiliki budaya matrilineal atau sistem kekerabatan yang diwariskan melalui garis ibu. Perempuan Minang juga dikenal dengan sebutan Bundo Kanduang.
Bundo Kanduang adalah julukan untuk perempuan Minangkabau yang telah menikah dan memiliki peran penting dalam masyarakat Minangkabau. Namun, sistem matrilineal dan konsep Bundo Kanduang di Sumatera Barat tidak serta merta membuat perempuan di daerah ini menjadi berdaya dan merdeka dari kungkungan patriarki.
Dalam jurnal 'Bundo Kanduang: (Hanya) Pemimpin di Rumah (Gadang)', yang ditulis oleh Arifin, seorang pengajar Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Andalas, disebutkan bahwa Bundo Kanduang sering digambarkan dalam pepatah adat sebagai limpapeh rumah nan gadang, yakni pemimpin atau penguasa rumah gadang.
Selain itu, Bundo Kanduang juga digambarkan sebagai ambun puruik rumah gadang, pamacik kunci nan di dalam, yang berarti pusat atau muara rumah gadang sekaligus pemegang kunci bagian dalam.
Arifin menulis bahwa jika dicermati lebih jauh, rumah gadang dalam konteks adat matrilineal Minangkabau bukan sekadar sebuah bangunan tempat tinggal. Rumah gadang juga memuat berbagai atribut yang mengikutinya, seperti asal-usul keturunan (kelompok kekerabatan), sako (gelar adat), dan pusako (harta ulayat).
Sebagai contoh, pewarisan sako (gelar datuak) hanya diberikan sesuai dengan garis keturunan dari rumah gadang pemiliknya (matrilineal). Dengan kata lain, gelar datuak atau jabatan penghulu hanya boleh dijabat oleh saudara laki-laki Bundo Kanduang (MoBr) dan diwariskan kepada kemenakannya (SiSo), bukan kepada anaknya (So).
Persoalannya, ungkapan rumah gadang yang selama ini berkembang sering dimaknai sebatas sebagai tempat tinggal semata. Akibatnya, tugas dan fungsi seorang Bundo Kanduang pun menjadi terbatas hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan rumah gadang.
Misalnya, hal ini terlihat dari pernyataan beberapa penghulu di Nagari Pamuncak dan Nagari Lembah, yang menyatakan bahwa tugas Bundo Kanduang hanya berkaitan dengan berbagai urusan dalam rumah gadang, seperti tata cara berpakaian, pernikahan, makanan, dan persoalan lainnya yang berhubungan dengan perempuan.
Dengan kata lain, peran Bundo Kanduang sering kali dipersempit hanya pada lingkup rumah (gadang), sementara urusan adat dan hal-hal di luar rumah (gadang) seolah-olah bukan menjadi tanggung jawabnya.
Advertisement
Tantangan Anisa-Leli
Lalu, apakah di tanah yang keturunannya ditarik dari garis perempuan, di mana istilah Bundo Kanduang disematkan, perempuan benar-benar bisa berdaya di tengah masyarakat, apalagi dalam ranah politik?
Tantangan berat perempuan Minang ketika maju dalam ranah politik dirasakan oleh Bupati dan Wakil Bupati Dharmasraya terpilih dalam Pilkada 2024, yaitu Anisa Suci Ramadhani dan Leli Arni.
Anisa dan Leli maju dalam Pilkada Dharmasraya 2024 dengan dukungan dari sembilan partai, yaitu Hanura, PKS, PAN, PKB, Golkar, Gerindra, PPP, PDIP, dan Demokrat, dengan total 29 kursi dari 30 kursi DPRD Dharmasraya.
Pasangan Anisa-Leli dalam Pilkada tersebut melawan kotak kosong.
Saat maju dalam kontestasi politik, keduanya kerap menerima serangan berupa komentar-komentar pedas dari netizen selama masa kampanye. Mulai dari pernyataan bahwa perempuan tidak layak menjadi pemimpin hingga kritik terhadap pakaian yang mereka kenakan.
Anisa Suci Ramadhani (34) menyatakan bahwa selama masa kampanye Pilkada serentak 2024, isu gender menjadi alat yang paling efektif untuk menjatuhkan elektabilitasnya.
"Saya tahu isu yang mereka gunakan untuk menjatuhkan saya adalah soal gender, logika yang dipakai adalah bahwa perempuan tidak pantas maju di politik," katanya kepada Liputan6.com pada Sabtu (18/1/2024).
Anisa menjelaskan bahwa perjuangannya selama kampanye cukup berat. Meski melawan kotak kosong, ia mengungkapkan adanya perlawanan secara politis di Dharmasraya.
Sebagai perempuan, lanjutnya, Anisa merasakan beban ganda yang ia pikul ketika memasuki ranah politik. Menurutnya, ketika laki-laki yang maju, jarang sekali muncul persoalan yang mempertanyakan kemampuan mereka dalam memimpin.
"Saya tak pernah menganggap kontestasi politik ini sebagai kompetisi antara laki-laki dan perempuan. Bagi saya, ini adalah soal gagasan," jelasnya.
Profil Annisa Suci Ramadhani dan Leli Arni
Annisa Suci Ramadhani, seorang putri asli Sumatera Barat, lahir di Padang pada 19 April 1990. Kini, perempuan dengan senyum lebar yang khas ini telah berusia 34 tahun.
Meski masih terbilang muda, Annisa memiliki latar belakang pendidikan yang mumpuni di bidang hukum, khususnya dengan spesialisasi pada perekonomian dan bisnis. Ia menyelesaikan studi Sarjana Hukum (S1) di Universitas Indonesia pada tahun 2012.
Setelah itu, Annisa melanjutkan pendidikannya ke tingkat internasional dengan meraih gelar Master of Laws (LL.M) di Columbia University, Amerika Serikat.
Sepulangnya ke Indonesia, Annisa memulai kariernya sebagai seorang profesional hukum. Ia bergabung dengan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) dan turut berkontribusi melalui Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Riau, sebuah lembaga yang dikenal memberikan layanan hukum gratis (pro bono) kepada masyarakat.
Sepanjang perjalanan kariernya, Annisa pernah menjadi pembicara dalam seminar berjudul “Overview on One-Tier Board Legal System and Its Comparison with Indonesia Legal System”.
Pengalamannya di bidang pemerintahan juga cukup mumpuni. Annisa pernah menjabat sebagai staf khusus Komisi IX DPR RI yang membawahi sektor perbankan dan layanan keuangan selama satu tahun, dari Januari 2017 hingga Januari 2018.
Kemudian, ia menjabat sebagai staf khusus Ketua DPR RI dari Januari 2018 hingga Agustus 2019. Dalam hal komunikasi, Annisa fasih menggunakan dua bahasa, yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.
Sementara itu, wakilnya, Leli Arni (66) memiliki rekam jejak yang kuat di dunia birokrasi sebelum terjun ke politik.
Leli pernah menjabat sebagai anggota DPRD Sumatera Barat periode 2019–2024 melalui Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Pada pemilihan legislatif terakhir, ia juga mencalonkan diri untuk DPR RI, namun belum berhasil mendapatkan kursi.
Sebelum memasuki dunia politik, Leli menjabat sebagai Penjabat Sekretaris Daerah (Pj Sekda) Kabupaten Dharmasraya dari tahun 2016 hingga 2018. Pengalaman ini membuatnya sangat akrab dengan dunia birokrasi.
Leli lahir di Koto Baru pada 17 April 1958 dan kini berusia 66 tahun. Ia menempuh pendidikan formal mulai dari SD Ampang Kuranji (1970), PGA Muhammadiyah Solok (1975), PGAN Padang (1977), KPG Jambi (1979), D-II Universitas Terbuka (1995), S1 STKIP Bangko (1995), hingga S2 Universitas Andalas (2012).
Selain pengalamannya di pemerintahan, Leli juga aktif di berbagai organisasi nonpemerintah, termasuk organisasi perempuan, koperasi, dan yayasan.
Advertisement
Maskulinnya Politik Indonesia
Pengamat Politik Universitas Negeri Padang, Dr. Eka Vidya, menyatakan bahwa perempuan menghadapi jalan terjal ketika maju dalam kontestasi politik. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, mulai dari sistem politik Indonesia, sistem kepartaian, hingga sosial budaya.
"Politik Indonesia itu masih sangat maskulin. Politik kerap diidentikkan dengan keberanian yang ‘macho’, mobilitas tinggi, kemampuan melobi, keluar malam, bahkan keberanian melakukan praktik-praktik abu-abu," ujarnya.
Ia menambahkan bahwa ketika ada perempuan dengan kapasitas besar, sistem politik dan partai politik Indonesia sering kali tidak memberikan dukungan yang cukup untuk membantu mereka masuk ke panggung kontestasi.
"Jadi perempuan sudah lebih dahulu dijegal sebelum berkompetisi, oleh apa? Oleh budaya dan sistem," jelas Eka.
Ia juga mengkritisi regulasi kuota 30 persen untuk keterwakilan perempuan yang sering kali hanya menjadi formalitas.
"Kuota ini seharusnya bukan hanya hitung-hitungan angka politik, tetapi tentang memastikan suara perempuan benar-benar tersampaikan," katanya.
Dalam ranah politik, perempuan yang mencoba maju sering kali dihadapkan pada pertanyaan mendasar, seperti apakah ia anak dari seorang tokoh terkenal, istri seorang politisi, atau sekadar perpanjangan tangan seorang laki-laki.
"Simbolik seperti ‘di balik kesuksesan laki-laki, ada perempuan hebat’ justru menegaskan perempuan sebagai pendukung, bukan pengambil keputusan utama," lanjut Eka.
Majunya pasangan Annisa-Leli dalam Pilkada Dharmasraya, yang kemudian terpilih, disebut Eka sebagai sebuah gebrakan besar dalam kontestasi politik.
Ia menyebut bahwa, dalam sistem demokrasi, Pilkada Dharmasraya memang menyisakan pro dan kontra karena pasangan ini melawan kotak kosong. Namun, dalam konteks perempuan, Annisa-Leli telah berhasil mematahkan stigma yang menempatkan perempuan pada posisi kedua.
Eka menegaskan perlunya perubahan sistem politik dan sistem partai untuk mengatasi masalah ini. Menurutnya, diperlukan pemimpin partai yang memahami isu gender dan memiliki kemauan untuk melakukan perubahan.
Mengakarnya budaya patriarki
Aktivis perempuan sekaligus akademisi, Rozidateno Putri Hanida, menyatakan bahwa hambatan bagi perempuan yang masuk ke ranah politik berakar pada budaya yang secara tradisional menempatkan laki-laki sebagai pemimpin.
"Budaya kita terbiasa meletakkan perempuan di posisi kedua, bukan setara sebagai manusia. Begitu perempuan hadir dalam konteks sosial atau politik, orang merasa berhak untuk melabelinya. Sementara laki-laki, apa pun keadaannya, cenderung lebih mudah diterima," ujar Rozi, yang juga merupakan Bundo Kanduang asal Solok.
Ia menambahkan bahwa beban yang dihadapi perempuan dalam kontestasi politik jauh lebih berat.
Dalam persoalan Pilkada Dharmasraya yang melibatkan kotak kosong sebagai lawan, hal tersebut sering dijadikan alasan untuk menyerang pribadi Annisa Suci Ramadhani, yang menurutnya tidak adil.
"Jika laki-laki melawan kotak kosong, tidak ada yang mempersoalkan fisik atau gendernya. Tetapi ketika perempuan maju, fisik dan gendernya sering kali menjadi bahan komentar negatif," katanya, merujuk pada realitas politik di beberapa daerah.
Sistem politik dan partai, menurutnya, juga harus memberikan dukungan yang lebih besar kepada perempuan. Sebab, tanpa dukungan struktural, perempuan akan terus menghadapi kendala yang membuat mereka sulit berkembang.
"Perempuan yang maju dalam politik harus didampingi dan mendapat dukungan, terutama dari sesama perempuan. Kita tidak bisa membiarkan mereka berjuang sendirian," tegasnya.
Di balik segala tantangan, Rozidateno percaya bahwa perempuan memiliki potensi besar untuk membawa perubahan positif di dunia politik. Namun, potensi ini hanya akan terwujud jika sistem politik mampu menciptakan ruang yang adil dan inklusif.
"Perempuan dalam politik bukan hanya soal representasi angka, tetapi soal memastikan bahwa suara dan kepentingan mereka benar-benar didengar," ujar Rozi.
Ia menilai bahwa dengan segala beban yang harus ditanggung, perempuan di dunia politik membutuhkan lebih dari sekadar keberanian. Mereka membutuhkan dukungan dari seluruh lapisan masyarakat, terutama untuk menghapus stereotip dan bias gender yang selama ini menghambat langkah mereka.
Advertisement
Menanti Sepak Terjang Bupati Perempuan Pertama di Sumatera Barat
Sementara itu Annisa Suci Ramadhani percaya bahwa keterwakilan perempuan dalam berbagai sektor adalah kunci menuju kemajuan. Dalam pandangannya, semakin beragam pihak yang terlibat dalam sistem, semakin baik pula keputusan yang dihasilkan.
"Ketika keterwakilan perempuan dan minoritas mengambil bagian dalam sistem, hasilnya akan lebih inklusif. Saya mendukung hal itu," ujar Annisa.
Baginya, demokrasi yang ideal adalah sistem yang membuka ruang bagi semua pihak untuk berkontribusi tanpa terkecuali.
Salah satu misi utama Annisa adalah memberdayakan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang dikelola perempuan. Ia menyadari bahwa perempuan memiliki peran besar dalam menggerakkan roda ekonomi, terutama di Dharmasraya.
"Ketika kita berbicara soal Indonesia emas, keterlibatan perempuan dalam UMKM adalah kuncinya," jelasnya.
Bagi Annisa, memberdayakan perempuan dalam sektor ekonomi bukan hanya soal angka, tetapi juga soal memberikan kesempatan yang setara. "Jika perempuan memiliki ekonomi yang baik, dampaknya akan langsung terasa pada keluarga mereka," tambahnya.
Tak hanya di bidang ekonomi, Annisa juga menaruh perhatian besar pada perlindungan hukum bagi perempuan dan anak. Ia percaya bahwa perempuan Minang memiliki kapasitas besar untuk menjadi pemimpin yang hebat.
"Saya tidak pernah melihat ini sebagai kompetisi antara laki-laki dan perempuan. Yang penting adalah bagaimana kita bekerja sama untuk membangun Dharmasraya yang lebih baik," jelasnya.
Sebagai pemimpin perempuan, Annisa menyadari bahwa tantangan yang dihadapinya tidaklah mudah. Politisasi gender dan komentar-komentar miring kerap menghampirinya. Namun, ia memilih untuk fokus pada pekerjaannya dan membuktikan kepada masyarakat bahwa dirinya mampu.
"Sekarang tugas saya adalah membuktikan kepada masyarakat bahwa bupati perempuan juga bisa sukses," kata Annisa.
Dalam perjalanannya, Annisa berkomitmen untuk membawa semangat bundo kanduang, perempuan Minangkabau yang dikenal bijaksana, ke dalam kepemimpinannya. Dengan semangat itu, ia berharap dapat membuka lebih banyak ruang bagi perempuan untuk berkontribusi, baik di Dharmasraya maupun di Indonesia secara keseluruhan.
Sejumlah program Annisa-Leli yang berkaitan dengan perempuan meliputi bantuan untuk ibu hamil dalam memenuhi kebutuhan gizi dan mencegah stunting, pelayanan cek kesehatan gratis dan rutin untuk lansia langsung ke rumah, peningkatan kader Posyandu, serta bantuan pembinaan untuk UMKM di Dharmasraya.
"PR besar saya adalah membuktikan bahwa perempuan bisa membawa perubahan nyata. Dan saya percaya, kita semua bisa mewujudkannya bersama," tambahnya.