Liputan6.com, Yogyakarta - Belum pulihnya krisis global sejak pandemi COVID-19 menjadi salah satu penyebab tren daya beli masyarakat menurun. Dosen Departemen Ekonomika dan Bisnis (DEB) Sekolah Vokasi (SV) UGM, Yudistira Hendra Permana kondisi ini karena pengaruh kondisi global.
“Kondisi global juga menghadapi krisis seperti krisis ekonomi, energi, dan geopolitik. Tentunya, Indonesia sebagai bagian dari perekonomian global, maka dampak berbagai level itu pasti terdampak dan ini sesuatu yang jelas menyebabkan berbagai tekanan ekonomi bagi menurunnya kemampuan daya beli masyarakat,” katanya Sabtu 15 Februari 2025.
Menurutnya pascapandemi dampak krisisnya tidak langsung dirasakan pada tahun 2022, namun baru terasa sekarang. Paling krusial adalah ketidakmampuan pemerintah dalam mengantisipasi hal tersebut terjadi pada tahun 2024 dan 2025.
Advertisement
Baca Juga
“Kita lihat terjadi deflasi secara gradual sampai hari ini. Kondisi yang sempat membaik di akhir tahun memunculkan optimisme, namun momentum Pilkada dan libur natal dan tahun baru tidak akan berlangsung lama,” tegas Yudistira.
Yudistira menyatakan kondisi ekonomi Indonesia tidak baik-baik saja berdasarkan angka pertumbuhan ekonomi pasca pandemi covid-19 stagnan di sekitar lima persen. Ditambah, masyarakat tida memiliki kepastian yang tinggi termasuk tren daya beli masyarakat menurun dari kondisi lapangan pekerjaan dan upah yang tidak terjamin.
“Kondisi ini membuat masyarakat lebih waspada dalam membelanjakan uangnya dan menahan konsumsi,” ujarnya.
Kondisi inilah yang menurut Yudistira menyebabkan banyak masyarakat menahan tingkat konsumsi seperti bahan pangan hingga bahan tersier.
“Ketika permintaan menurun, produsen juga akan berhitung yang dapat berdampak pada layoff pegawai, PHK, dan sebagainya,” tambahnya.
Kondisi seperti inilah menurut Yudistira, masyarakat dan pemerintah harus waspada dan melakukan antisipasi sebab tren menurunnya kemampuan daya beli ini akan berdampak jangka panjang bila tidak diurus dengan baik. Momen bulan puasa dan lebaran ini menurutnya bahkan dapat menjadi salah satu pembuktian sebab biasanya tingkat konsumsi naik pada momen ini.
“Menurut saya, tahun ini akan sedikit berbeda pola konsumsi umumnya. Masyarakat lebih akan menyimpan dananya sampai akhir tahun lagi,” jelasnya.
Maka pemerintah harus mengantisipasi tren daya beli masyarakat menurun ini. Salah satunya dengan memangkas anggaran perjalanan dinas dan seremoni yang sekarang sedang ramai dibahas.
“Tentunya biaya perjalanan dinas dan seremoni bisa dipangkas, tetapi kalau kemudian faktanya seperti ada glamping untuk kepala daerah yang baru dilantik menunjukkan bahwa cara-cara pemerintah tidak berubah, tidak ada pikiran untuk mitigasi dan sense of crisis-nya,” ujarnya.
Ia mengatakan pemerintah perlu melakukan efisiensi anggaran, namun, relokasi anggaran perlu dilakukan dengan tepat. Salah satu yang disorot Yudistira adalah komposisi kabinet yang saat ini cukup ‘gemuk’ dengan penambahan beberapa kementerian menambah jumlah pos anggaran.
Yudistira melihat program Makan Bergizi Gratis (MBG) belum matang dari aspek anggaran yang belum stabil maka bisa dipertimbangkan kembali program ini. Walaupun program MBG ini merupakan janji kampanye politik Prabowo.
“Adanya pengetatan anggaran MBG ini pun sebenarnya perlu diperhatikan sebab sekarang anggaran pendidikan dan kesehatan terkena imbasnya dan dianggap hanya sebagai sektor penunjang saja,” imbuhnya.
Yudistira menyebut anggaran pendidikan dan kesehatan seharusnya tidak dipangkas, sebab pembangunan SDM di masa mendatang ditentukan dari tingkat pendidikan dan kesehatan SDM.
“Untuk landasan transformasi yang dibangun adalah modal manusianya melalui pendidikan dan kesehatan, jadi jangan sampai anggarannya dipotong,” harap Yudistira.