Liputan6.com, Jakarta - Lembaga pemeringkat internasional S&P mempertahankan peringkat investasi Indonesia. Meski demikian, pasar modal Indonesia masih menarik bagi investor asing.
Analis PT Danareksa Sekuritas Lucky B. Purnomo menuturkan pelaku pasar akan menanggapi pasif rilis peringkat investasi dari S&P tersebut. Sentimen tersebut membuat laju IHSG bergerak terbatas pada perdagangan saham Kamis pekan ini.
Berdasarkan data RTI, IHSG sempat dibuka melemah tipis ke level 4.836,50 pada perdagangan saham Kamis pekan ini. Pada pukul 11.01 WIB, IHSG naik tipis 8,3 poin atau 0,19 persen ke level 4.848,83. IHSG sempat berada di level tertinggi 4.860,86 dan terendah 4.834,19.
S&P tetap mempertahankan peringkat investasi itu, Lucky menilai lantaran S&P belum melihat perubahan kondisi ekonomi Indonesia."S&P tidak menawarkan sesuatu baru jadi sama saja," ujar Lucky saat dihubungi Liputan6.com seperti ditulis Kamis (2/6/2016).
Baca Juga
Akan tetapi, Lucky menilai sentimen S&P hanya sementara saja. Pihaknya tetap yakin IHSG dapat sentuh level 5.200 pada akhir 2016. Ia menuturkan, hal itu didukung dari investor asing yang melihat pasar modal Indonesia masih menarik. Selain itu, potensi penurunan suku bunga acuan/BI Rate juga berdampak ke pasar modal Indonesia. Saat ini BI Rate berada di level 6,75 persen.
"Pemerintah Indonesia mendorong suku bunga single digit. Dengan suku bunga rendah diharapkan mata uang rupiah banyak keluar sehingga mendorong rupiah meguat dan dolar melemah," tutur dia.
Sementara itu, Kepala Riset PT Bahana Securities Harry Su menilai S&P tidak menaikkan peringkat investasi Indonesia menunjukkan tidak ada kepercayaan terhadap rencana tax amnesty. Hal ini dapat mengecewakan pelaku pasar. Harry pun memperkirakan S&P belum akan menaikkan peringkat investasi Indonesia pada tahun ini.
Seperti diketahui, Lembaga pemeringkat dunia Standard and Poor's (S&P) akhirnya mempertahankan peringkat Indonesia di level BB+/positive outlook pada 1 Juni 2016. Keputusan tersebut didukung beberapa faktor yakni perbaikan kebijakan, tata kelola kelembagaan fiskal, kebijakan moneter yang kredibel, dan pertumbuhan ekonomi yang baik. (Ahm/Ndw)