Liputan6.com, Jakarta - Bursa Asia dibuka melemah pada perdagangan di awal pekan ini. Pelemahan ini menyusul kejatuhan bursa saham Amerika Serikat (AS) pada penutupan perdagangan Jumat lalu.
Mengutip CNBC, Senin 5/2/2018), indeks acuan Australia ASX 200 turun 1,31 persen menjadi 6.041,40 di awal perdagangan. Sebagian besar sektor pembentuk indeks berada di zona merah. Sektor keuangan turun 1,07 persen dan sektor energi tertekan 2,14 persen.
Advertisement
Advertisement
Baca Juga
Saham-saham di sektor perbankan mengalami tekanan yang cukup tinggi. Saham ANZ melemah 1,2 persen, Commonwealth Bank tertekan 0,89 persen, Westpac turun 1,23 persen dan National Australia Bank terjatuh 1,12 persen.
Tak berbeda jauh dengan saham-saham di sektor pertambangan. Saham Rio Tinto turun 2,36 persen, Fortescue turun 1,4 persen dan BHP Billiton turun 2,69 persen.
"Pelemahan di AS menjadi menekan bursa saham di seluruh dunia," jelas analis i AMP Capital,Oliver.
Di Jepang, Nikkei 225 turun 2,06 persen pada awal perdagangan, sementara indeks acuan saham Topix turun 1,71 persen. Indeks Kospi Korea Selatan turun 1,66 persen.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Penutupan Bursa AS
 Wall Street jatuh terkapar dengan indeks acuan Dow Jones Industrial Average (DJIA) jatuh 666 poin dan mencetak penurunan terbesar dalam 20 bulan pada penutupan perdagangan Jumat lalu.
Tiga indeks utama Wall Street mencetak kerugian mingguan terbesar dalam dua tahun setelah pada pekan sebelumnya mencetak rekor tertinggi.
Dow Jones Industrial Average turun 665,75 poin atau 2,54 persen menjadi 25.520,96. Untuk S&P 500 kehilangan 59,85 poin atau 2,12 persen menjadi 2.762,13. Sedangkan Nasdaq Composite turun 144,92 poin atau 1,96 persen menjadi 7.240,95.
Salah satu pemicu kejatuhan Wall Street adalah laporan dari Depatemen Tenaga Kerja Amerika Serikat (AS). Dalam laporan tersebut dituliskan bahwa angka pekerjaan pada Januari tumbuh lebih cepat dari perkiraan para analis dan ekonom dengan kenaikan upah terbesar dalam lebih dari 8 tahun.
Kenaikan upah yang cukup besar tersebut memicu ekspektasi inflasi dan bisa mendorong Bank Sentral AS atau the Federal Reserve (the Fed) untuk mengambil pendekatan lebih agresif dengan menaikkan suku bunga acuan di tahun ini lebih besar dari perkiraan.
Hal tersebut menyebabkan imbal hasil dari obligasi pemerintah AS dengan jangka waktu 10 tahun melonjak menjadi 2,8450 persen, yang merupakan angka tertinggi sejak Januari 2014. Kenaikan imbal hasil ini membuat surat utang pemerintah AS lebih menarik jika dibandingkan dengan saham.
Advertisement