Dampak Rencana Tapering The Fed terhadap Obligasi RI Tak Separah 2013

Mandiri Sekuritas melihat dampak tapering the Federal Reserve (the Fed) tidak akan semasif pada 2013. Ini faktornya.

oleh Dian Tami Kosasih diperbarui 29 Jun 2021, 21:47 WIB
Diterbitkan 29 Jun 2021, 21:47 WIB
20170210- IHSG Ditutup Stagnan- Bursa Efek Indonesia-Jakarta- Angga Yuniar
Suasana pergerakan saham di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Jumat (10/2). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Perubahan lebih ketat yang dilakukan bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserve (the Fed), terkait kebijakan moneter seperti menaikkan suku bunga acuan dan menyetop pembelian US Treasury biasa disebut taper tantrum atau tapering.

Baru-baru ini The Fed mengumumkan bila pihaknya akan mulai meningkatkan suku bunga acuannya pada 2023. Meski terdapat kebijakan tapering, Kepala Ekonom Mandiri Sekuritas Leo Putera Rinaldy mengatakan, hal ini tak akan lebih parah dengan keputusan yang pernah diambil 2013.

"Kami melihat bahwa dampak tapering QE seyogyanya tidak akan semasif seperti yang terjadi di tahun 2013, di mana pada saat itu, rupiah melemah lebih dari 26 persen terhadap USD dan yield SUN juga naik sebesar 3ppt menjadi 9 persen," katanya secara virtual, Selasa (29/6/2021).

Leo juga menjelaskan, setidaknya terdapat dua faktor utama terkait hal ini, pertama ialah dukungan dari investor domestik semakin besar dan beragam.

"Sebagai gambaran pada saat Covid-19 mewabah di tahun 2020, pasar obligasi masih bisa memberikan return plus 14 persen meskipun asing mencatatkan net sell Rp88 triliun. Di tahun 2021, peningkatan demand investor domestiknya pun lebih beragam tidak hanya tergantung dari Bank Indonesia," ujarnya.

Faktor utama meningkatnya demand dari lokal adalah melimpahnya likuiditas domestik yang tercermin dari rendahnya Loan to Deposit Rasio Perbankan, sehingga mendorong suku bunga deposito terus turun, dan trend volatilitas inflasi yang juga semakin turun dalam 10 tahun terakhir. Ini juga membuat investor domestik lebih berani melakukan investasi jangka panjang di pasar obligasi.

"Faktor kedua ialah external risk factors di Emerging Markets (EM) termasuk Indonesia jauh lebih baik dibandingkan posisi 2013, tercermin dari penurunan CAD yang signifikan. Selain itu porsi kepemilikan asing di pasar obligasi juga sudah jauh lebih rendah dibandingkan 2013 dari level 40 persen menjadi di bawah 23 persen," tuturnya.

Leo juga menegaskan, hal menarik lainnya, yakni kepemilikan long term investor asing yang juga turut meningkat, menjadi lebih dari 25 persen dari sebelumnya hanya 18 persen pada 2018. Hal ini akan mengurangi tekanan jual asing jika terjadi gejolak di pasar global.

"Kami juga perkirakan bahwa the Fed akan lebih bagus dalam mengkomunikasikan rencana tapering QEnya mengingat dampak negative yang pernah terjadi di tahun 2013," tegasnya.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

Tapering Diprediksi Dilakukan pada 2022

IHSG Merosot hingga Diberhentikan Sementara
Pergerakan saham pada layar elektronik pergerakan saham di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Kamis (10/7/2020). IHSG pada perdagangan di BEI turun tajam karena pengumuman Gubernur DKI Anies Baswedan terkait dengan rencana penerapan PSBB secara ketat. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Sementara itu, Direktur PT Panin Asset Management, Rudiyanto menuturkan, tapering the Fed kemungkinan dilakukan pada kuartal I 2022.

Hal ini seiring bank sentral Amerika Serikat (AS) atau the Federal Reserve mempertimbangkan pemulihan ekonomi yang belum merata secara global. Rudiyanto menuturkan, bank sentral AS akan berhati-hati dalam berkomunikasi terkait taper tantrum sehingga tidak menimbulkan gejolak di pasar.

“Kuartal I 2022 (tapering-red). The Fed sudah belajar, tapering tiba-tiba guncang pasar. Sekarang belum pulih, ada negara yang bisa nonton bola, sekolah. Sekarang ada mau dipikir lockdown, atau tidak. Ekonomi masih fragile,” ujar dia dalam diskusi virtual, Minggu, 27 Juni 2021.

Rudiyanto menuturkan, the Fed akan jauh-jauh hari memberi sinyal untuk menggelar taper tantrum. Dengan demikian pasar dapat menyesuaikan lebih cepat dan tidak kaget. “Saat ini (bank sentral AS-red) concern pasar. Naikkan dengan tidak buat pasar bergejolak,” kata dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya