Hadapi Utang Besar, Kondisi Garuda Indonesia Sulit

PT Garuda Indonesia Tbk masih mencatat liabilitas besar dan alami rugi hingga semester I 2021. Mampukah bertahan?

oleh Agustina Melani diperbarui 10 Nov 2021, 19:00 WIB
Diterbitkan 10 Nov 2021, 19:00 WIB
Garuda Indonesia meluncurkan livery khusus yang menampilkan visual masker pada bagian depan (hidung) pesawat Airbus A330-900 Neo yang merupakan livery masker pesawat pertama yang ada di Indonesia.
Garuda Indonesia meluncurkan livery khusus yang menampilkan visual masker pada bagian depan (hidung) pesawat Airbus A330-900 Neo yang merupakan livery masker pesawat pertama yang ada di Indonesia.

Liputan6.com, Jakarta - PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) menghadapi situasi sulit seiring kinerja keuangan yang belum positif. Pengamat menilai, kinerja keuangan ini menjadi masalah utama Garuda Indonesia hingga kini.

Kepala Riset PT Samuel Sekuritas Suria Dharma menuturkan, kondisi Garuda Indonesia saat ini berat. Lantaran utang perseroan lebih besar ketimbang ekuitas.

Total liabilitas tercatat naik menjadi USD 12,96 miliar atau sekitar Rp 184,69 triliun per 30 Juni 2021 dari Desember 2020 sebesar USD 12,73 miliar atau sekitar Rp 181,37 triliun.

Sementara itu, ekuitas minus USD 2,84 miliar atau sekitar Rp 40,58 triliun Pandemi COVID-19 yang terjadi juga menambah tekanan terhadap kinerja perseroan.

"Sebelum COVID-19, kondisi keuangan sudah berat. Total utang dibandingkan equity tidak cukup. Antara kewajiban dan modal tidak seimbang. Kondisi sulit,” ujar dia saat dihubungi Liputan6.com, Rabu (10/11/2021).

Suria mengakui pilihan sulit antara menyelamatkan Garuda Indonesia dan tidak. Hal ini lantaran Garuda Indonesia juga maskapai nasional. Di sisi lain, kalau dipertahankan harus mengucurkan modal agar dapat bertahan. Meski demikian, hal itu tidak dapat terus dilakukan. "Pinjaman lebih besar dari ekuitas. Kalau ditolong disuntikkan modal,” ujar dia.

Selain itu, ia mengatakan, proses restrukturisasi juga tidak mudah lantaran total utang sudah besar. Garuda Indonesia juga harus membayar bunga meski utang diperpanjang.

"Restrukturisasi tidak gampang. Pinjaman diperpanjang tetapi bayar bunga berat. Cash flow negatif. Serba sulit. Restrukturisasi dan jual aset belum tentu cukup," kata dia.

Hal senada dikatakan Direktur Asosiasi Riset dan Investasi Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus. Ia mengatakan, upaya restrukturisasi yang dilakukan Garuda Indonesia bukan sesuatu yang mudah. Apalagi dengan melihat kinerja keuangan yang belum menguntungkan.

Oleh karena itu, ia menilai Garuda Indonesia perlu upaya transformasi dan restrukturisasi secara masif agar bisa bertahan ke depan.

“Garuda Indonesia harus memilih rute-rute yang menguntungkan seperti penerbangan domestik dan efisiensi dari operasional. Ini salah satu upaya,” kata dia.

Meski demikian, kondisi pandemi COVID-19 yang melandai, menurut Nico menjadi angin segar untuk Garuda Indonesia. Hal itu menurut dia dapat memperbaiki kondisi Garuda Indoneisa ke depan.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Tergantung Pemilik Garuda Indonesia

Desain masker baru pesawat Garuda Indonesia pada armada B737-800 NG
Desain masker baru pesawat Garuda Indonesia pada armada B737-800 NG (dok: GIA)

Sementara itu, pengamat penerbangan Alvin Lie mengatakan, kondisi keuangan merupakan masalah utama yang dihadapi Garuda Indonesia. Kewajiban makin besar sehingga makin berat yang dihadapi.

"Tidak bisa utang lagi karena utang menumpuk. Kondisi keuangan bermasalah. Praktik-praktik manajemen kurang efisien, korupsi, dan pengadaan pesawat terlalu mahal, ujungnya seperti sekarang,” kata dia saat dihubungi Liputan6.com.

Untuk mempertahankan Garuda Indonesia, menurut Alvin kini tergantung komitmen dari pemiliknya dalam hal ini pemerintah dan pemegang saham lainnya. Ia menilai, pemerintah memiliki pertimbangan seperti nilai-nilai strategis yang mengemban misi-misi pemerintah sehingga dipertahankan.

Namun, kalau dilhat dari segi bisnis, Ia menilai,tidak dipertahankan karena kewajiban perseroan yang besar.

"Kalau hanya murni bisnis sudah tidak dipertahankan. Lebih mudah dan murah bangun airline baru cukup Rp 3 triliun-Rp 5 triliun,” ujar dia.

Di sisi lain, ia menilai restrukturisasi untuk membantu Garuda Indonesia juga perlu negosiasi. Negosiasi ini akan mudah jika berhadapan dengan pihak afiliasi misalkan Pertamina.

“(Utang-red) ke Pertamina Rp 11 triliun, pertamina beri tiga tahun diangsur. Kreditur, vendor dan lessor lain butuh kejelasan, dapat berapa dan kapan. Ini butuh sumber daya keuangan, ini butuh dana segar,” ujar dia.

Menurut dia, ada sejumlah cara untuk membantu kewajiban Garuda Indonesia dengan menjual aset yang dimiliki. Selain itu menjual saham anak usaha. Akan tetapi, hal itu juga butuh persetujuan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). “Ini di tangan pemilik Garuda Indonesia,” kata dia.

 

Kinerja Keuangan hingga Semester I 2021

Garuda Indonesia
Ilustrasi maskapai penerbangan Garuda Indonesia saat berhenti di apron Bandara Adi Soemarmo.(Liputan6.com/Fajar Abrori)

Berdasarkan laporan keuangan yang disampaikan ke Bursa Efek Indonesia (BEI), PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) mencatat pendapatan USD 696,80 juta atau setara Rp 9,92 triliun (asumsi kurs Rp 14.240 per dolar AS) hingga semester I 2021. Pendapatan itu turun 24,03 persen dari periode sama tahun sebelumnya USD 917,28 juta atau sekitar Rp 13,06 triliun.

Rincian pendapatan itu antara lain dari penerbangan berjadwal turun menjadi USD 556,53 juta hingga semester I 2021 dari periode sama tahun sebelumnya USD 750,25 juta. Penerbangan tidak berjadwal naik menjadi USD 41,63 juta hingga semester I 2021 dari periode sama tahun sebelumnya USD 21,54 juta. Di sisi lain, pendapatan lainnya merosot 32,2 persen dari USD 145,47 juta hingga semester I 2020 menjadi USD 96,63 juta.

Perseroan menekan beban usaha sepanjang semester I 2021. Beban usaha susut 15,99 persen dari USD 1,64 miliar pada semester I 2020 menjadi USD 1,38 miliar pada semester I 2021.

Garuda Indonesia mencatat keuntungan kurs USD 50,57 juta hingga semester I 2021. Realisasi keuntungan kurs ini naik 149,4 persen dari periode sama tahun sebelumnya USD 20,27 juta.

Perseroan membukukan rugi usaha turun tipis 0,5 persen menjadi USD 703,34 juta hingga semester I 2021 dari periode sama tahun sebelumnya USD 707,22 juta. Garuda Indonesia mencatat kenaikan rugi yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk sebesar 26,08 persen menjadi USD 898,65 juta atau sekitar Rp 12,80 triliun hingga semester I 2021 dari periode sama tahun sebelumnya USD 712,72 juta atau sekitar Rp 10,15 triliun.

Garuda Indonesia mencatat ekuitas minus USD 2,84 miliar atau sekitar Rp 40,58 triliun per 30 Juni 2021 dari Desember 2020 minus USD 1,94 miliar atau sekitar Rp 27,68 triliun.

Total liabilitas tercatat naik menjadi USD 12,96 miliar atau sekitar Rp 184,69 triliun per 30 Juni 2021 dari Desember 2020 sebesar USD 12,73 miliar atau sekitar Rp 181,37 triliun.

Rincian total liabilitas itu antara lain liabilitas jangka panjang sebesar USD 7,90 miliar hingga 30 Juni 2021 dari Desember 2020 sebesar USD 8,43 miliar. Sementara itu, total liabilitas jangka pendek sebesar USD 5,05 miliar hingga Juni 2021 dari Desember 2020 sebesar USD 4,29 miliar.

Total aset Garuda Indonesia turun menjadi USD 10,11 miliar atau setara Rp 144,07 triliun hingga 30 Juni 2021 dari Desember 2020 sebesar USD 10,78 miliar atau setara Rp 153,70 triliun. Perseroan kantongi kas USD 78,69 juta atau sekitar Rp 1,12 triliun per 30 Juni 2021 dari Desember 2020 sebesar USD 200,97 juta atau sekitar Rp 2,86 triliun.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya