Liputan6.com, Jakarta - Saham bank di dunia merosot setelah masalah di salah satu bank Amerika Serikat (AS) memicu kekhawatiran masalah yang lebih luas untuk sektor keuangan.
Dikutip dari BBC, Sabtu (11/3/2023), pada Kamis, 9 Maret 2023, saham Silicon Valley Bank, pemberi pinjaman untuk perusahaan rintisan teknologi anjlok setelah mengumumkan rencana untuk menopang keuangannya. Hal ini berdampak langsung dengan empat bank terbesar Amerika Serikat yang kehilangan kapitalisasi pasar lebih dari USD 50 miliar atau sekitar Rp 775,38 triliun (asumsi kurs Rp 15.507 per dolar AS).
Saham Silicon Valley Bank alami penurunan satu hari terbesar karena anjlok lebih dari 60 persen. Bahkan kembali tertekan 20 persen pada perdagangan setelah jam kerja. Penurunan terjadi sehari setelah bank mengumumkan penjualan saham senilai USD 2,25 miliar atau setara 1,9 miliar pound sterling untuk meningkatkan keuangannya.
Advertisement
SVB meluncurkan penjualan saham setelah kehilangan USD 1,8 miliar saat melepas portofolio aset terutama obligasi pemerintah Amerika Serikat. Namun, hal yang lebih memprihatinkan bagi pihak bank, beberapa startup yang sudah setor uang disarankan untuk menarik dananya.
Saham Silicon Valley Bank kembali anjlok berlanjut pada Jumat, 10 Maret 2023. Hal tersebut berdampak terhadap saham bank di seluruh dunia.
Saham SVB kembali anjlok sebelum bank ditutup oleh regulator. Kegagalan itu menimbulkan kekhawatiran lebih banyak bank akan alami kerugian besar pada portofolio obligasinya. CEO SVB Greg Becker melakukan panggilan dengan klien pada Kamis sore untuk menenangkan ketakutan mereka.
Saham Bank di Dunia Anjlok
Dikutip dari CNBC, saham SVB turun 62 persen dalam perdagangan pre market sebelum dihentikan karena menanti berita.
Saham bank di Asia dan Eropa juga turun tajam pada Jumat, 10 Maret 2023. Di antara bank-bank Inggris, saham HSBC turun 4,8 persen dan Barclays merosot 3,8 persen.
Kepada BBC, Pendiri Blank Ventures, Hannah Chelkowski menuturkan, sebuah dana yang berinvestasi dalam teknologi keuangan kalau situasinua “liar”. Ia menyarankan perusahaan dalam portofolionya untuk menarik dana.
“Sungguh gila bagaimana terurai begitu saja. Menariknya, ini adalah bank yang paling ramah terhadap startup dan sangat mendukung startup selama COVID-10. Sekarang VC menyuruh perusahaan portofolio mereka untuk menarik dana mereka,” ujar dia.
"Ini brutal,” ia menambahkan.
Adapun pemberi pinjaman penting untuk bisnis tahap awal, SVB adalah mitra perbankan untuk hampir setengah dari perusahaan teknologi dan perawatan kesehatan yang terdaftar di pasar saham tahun lalu.
Sementara itu, SVB belum menanggapi permintaan dari BBC.
Di sisi lain, pasar yang lebih luas, ada kekhawatiran tentang nilai obligasi yang dimiliki bank karena kenaikan suku bunga membuat obligasi itu menjadi kurang berharga.
Bank Sentral di Dunia Dongkrak Suku Bunga
Bank-bank sentral di seluruh dunia termasuk the Federal Reserve Amerika Serikat dan Bank of England telah menaikkan suku bunga secara tajam karena ingin meredam inflasi.
Bank cenderung memiliki portofolio obligasi yang besar dan akibatnya berada pada potensi kerugian yang signifikan. Turunnya nilai obligasi yang dipegang bank belum tentu menjadi masalah kecuali mereka terpaksa menjualnya. Namun, jika seperti Silicon Valley Bank, pemberi pinjaman harus menjual obligasi yang dipegang dengan kerugian. Hal itu berdampak pada keuntungannya.
"Bank-bank adalah korban dari kenaikan suku bunga,” ujar Pendiri dan Chief Executive Constellation Research, Ray Wang.
“Tidak seorang pun di Silicon Valley Bank dan di banyak tempat berpikir kalau kenaikan suku bunga ini berlangsung selama ini. Saya pikir itulah yang sebenarnya terjadi. Taruhan mereka salah,” ia menambahkan.
Direktur Investasi AJ Bell, Russ Mould mengatakan, efek riak dari masalah di SVB menunjukkan peristiwa semacam ini sering mengisyaratkan kerentanan dalam sistem lebih luas. “Fakta penempatan saham SVB telah disertai dengan penjualan portofolio obligasi menimbulkan kekhawatiran,” kata dia.
Advertisement
AS Tutup Silicon Valley Bank
Sebelumnya, regulator keuangan Amerika Serikat (AS) telah menutup Silicon Valley Bank (SVB) dan mengambil kendali atas depositonya. Hal itu diumumkan Federal Deposit Insurance Corp pada Jumat, 10 Maret 2023.
Dikutip dari CNBC, Sabtu (11/3/2023), penutupan Silicon Valley Bank merupakan kegagalan bank terbesar di Amerika Serikat (AS) sejak krisis keuangan global lebih dari satu dekade lalu. Runtuhnya SVB, pemain kunci dalam komunitas teknologi dan modal ventura membuat perusahaan dan individu kaya tidak yakin apa yang akan terjadi dengan uangnya.
Berdasarkan siaran pers dari regulator,the California Department of Financial Protection and Innovation menutup SVB dan menyebutkan FDIC sebagai penerima. FDIC pada gilirannya telah menciptakan the Deposit Insurance National Bank of Santa Clara, yang sekarang memegang simpanan yang diasuransikan Silicon Valley Bank.
Dalam pengumumkan FDIC mengatakan, deposan yang diasuransikan akan memiliki akses ke simpanan paling lambat Senin pagi, 13 Maret 2023. Kantor cabang SVB juga akan dibuka kembali pada saat itu, di bawah kendali regulator. Berdasarkan siaran pers, pemeriksaan SVB akan terus dilakukan.
Asuransi standar FDIC mencakup hingga USD 250.000 per deposan, per bank untuk setiap kategori kepemilikan akun. FDIC mengatakan deposan yang tidak diasuransikan akan mendapatkan sertifikat penerima untuk saldo mereka.
Regulator mengatakan akan membayar dividen lanjutan kepada deposan yang tidak diasuransikan pada pekan depan dengan potensi pembayaran dividen tambahan karena regulator menjualan aset SVB.
Apakah deposan dengan lebih dari USD 250.000 pada akhirnya mendapatkan semua uang mereka kembali akan ditentukan oleh jumlah uang yang didapat regulator saat menjual aset Silicon Valley atau jika bank lain mengambil alih kepemilikan aset yang tersisa.
Ada kekhawatiran dalam komunitas teknologi hingga proses itu terungkap, beberapa perusahaan mungkin mengalami masalah dalam membuat daftar gaji.