Liputan6.com, Jakarta - Perkembangan dana kelolaan atau Asset Under Management (AUM) reksa dana dalam tiga tahun terakhir cenderung stagnan.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), AUM atau Nilai Aktiva Bersih (NAB) reksa dana per September 2024 tercatat sebesar Rp 490,12 triliun. Jumlah itu tak jauh berbeda dari posisi akhir tahun lalu sebesar Rp 484,34 triliun.
Baca Juga
Meski relatif stagnan, Kepala Divisi Fixed Income Research Mandiri Sekuritas, Handy Yunianto menjelaskan, terdapat dua instrumen reksa dana yang meningkat. Yakni reksa dana fixed income dan reksa dana pasar uang atau money market.
Advertisement
"Di 2019, total outstanding reksa dana fixed income Rp 121 triliun, sekarang naik menjadi Rp 149 triliun. Di 2019, money market hanya Rp 69 triliun, sekarang sudah Rp 80 triliun," papar Handy dalam Seminar bertajuk Sekuritas Bank Indonesia: Kondisi di Pasar dan Peluang Investasi, Senin (14/10/2024).
Hendy menjelaskan, peningkatan itu disebabkan oleh keadaan yang tidak pasti. Di antaranya seperti perekonomian global yang mengalami perlambatan, memicu para investor mencari alternatif instrumen investasi.
"Investor pasti ingin cari instrumen yang lebih sip, money market ini akan menjadi salah satu pilihan dan fixed income dan tentunya dengan banyak instrumen money market ini akan semakin mendorong pendalaman pasar dari sisi money market," imbuh Hendy.
Dalam risetnya, Hendy menyebutkan, total outstanding penempatan reksa dana pasar uang saat ini mencapai Rp 80 triliun. Hasil riset tersebut menunjukan dari lima sampel reksa dana yang dihitung, sebanyak 66 persen menaruh dananya di obligasi dengan tenor kurang dari satu tahun, dan sisanya 34 persen pada deposito.
"Saya coba, berapa outstanding obligasi korporasi kurang dari satu tahun, itu cuma Rp 134 triliun sizenya, terlalu kecil. Itu 29 persen dari total outstanding obligasi korporasi," ujar Hendy.
Obligasi Pemerintah
Sementara, untuk obligasi pemerintah kurang dari satu tahun memiliki size sebesar Rp 470 triliun. Jika dibandingkan dengan total outstanding pemerintah yang mencapai Rp 5.000 triliun, hanya mengambil porsi sebanyak delapan persen dari total outstanding.
"Jadi pilihannya enggak banyak. Tentunya dengan adanya SRBI yang size-nya sudah Rp 900 triliun bisa tradable, liquid, tentu ini akan memberikan salah satu alternatif pilihan investasi yang menarik dari sisi produk reksa dana pasar uang, ini menurut saya sesuatu yang tentunya akan bergerak secara positif," pungkas Handy.
SRBI adalah salah satu instrumen investasi yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia untuk menarik lebih banyak modal asing ke Indonesia. SRBI adalah surat berharga dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan utang berjangka waktu pendek dengan menggunakan underlying asset berupa surat berharga milik Bank Indonesia.
Sejak diperkenalkan pada 15 September 2023, outstanding SRBI telah mencapai Rp 928,2 triliun per 4 Oktober 2024. SRBI menjadi salah satu instrumen pengelolaan likuiditas bagi pelaku pasar dan outlet utama inflow portofolio asing. Tercatat per 4 Oktober 2024, kepemilikan non-residen di SRBI mencapai Rp 252 triliun atau setara 27,2%.
Volume transaksi SRBI terus meningkat dari volume harian Rp 1,03 triliun (mtd September 2023) menjadi Rp 12,86 triliun (mtd Oktober 2024). Transaksi SRBI didominasi oleh tenor 12 bulan. Sementara itu, volume transaksi SVBI dan SUVBI relatif masih terbatas.
Advertisement
PHEI Luncurkan Harga Pasar Wajar Sekuritas Bank Indonesia
Sebelumnya, PT Penilai Harga Efek Indonesia (PHEI) resmi meluncurkan Harga Pasar Wajar (HPW) Sekuritas Bank Indonesia yang terdiri dari Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), Sekuritas Valas Bank Indonesia (SVBI) dan Sukuk Valas Bank Indonesia (SUVBI).
Penerbitan HPW instrumen Sekuritas Bank Indonesia secara perdana ini dilakukan setelah PHEI ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagai pihak yang melakukan penilaian dan penerbitan HPW instrumen Sekuritas Bank Indonesia. Selain itu, PHEI juga telah mengantongi izin dari Otoritas Jasa Keuangan sebagai syarat bagi PHEI untuk dapat melakukan penilaian dan penerbitan HPW instrumen Sekuritas Bank Indonesia.
Direktur Utama PHEI, M. Kadhafi Mukrom menyampaikan, peluncuran HPW instrumen Sekuritas Bank Indonesia merupakan upaya kolektif untuk memperkuat stabilitas sistem keuangan nasional. Hal ini diharapkan dapat turut menciptakan iklim investasi yang kondusif dan transparan.
Dhafi juga berharap hadirnya HPW Sekuritas Bank Indonesia dapat menjadi pendorong bagi peningkatan integritas dan kredibilitas pasar keuangan Indonesia di mata dunia.
Pakai Sumber Data Primer
"Perhitungan dan penilaian harga pasar wajar instrumen Sekuritas Bank Indonesia ini melengkapi penilaian dan penetapan HPW atas EBUS dan surat berharga lainnya yang PHEI lakukan, meliputi 1.304 seri jenis instrumen Efek bersifat utang dan Sukuk, baik yang diterbitkan oleh Pemerintah maupun korporasi dengan total jumlah outstanding mencapai Rp7.552,23 Triliun," jelas Dhafi, Senin (14/10/2024).
Lebih lanjut, Dhafi menyampaikan, Penilaian dan penetapan HPW dilakukan PHEI dengan menggunakan sumber data primer yang terverifikasi serta sumber data sekunder yang juga reliable. Metodologi yang digunakan juga secara luas digunakan oleh lembaga penilaian harga efek di beberapa negara.
PT Penilai Harga Efek Indonesia adalah Lembaga Penilaian Harga Efek (LPHE) yang didirikan berdasarkan Peraturan Bapepam-LK Nomor V.C.3 tentang Lembaga Penilaian Harga Efek. PHEI memiliki peran dan fungsi melakukan penilaian dan penetapan atas harga pasar wajar efek bersifat utang di Indonesia secara harian.
Data harga pasar wajar atas efek bersifat utang yang diterbitkan oleh PHEI digunakan oleh industri keuangan sebagai acuan transaksi efek bersifat utang, penilaian aset, acuan lelang surat utang negara, acuan dalam kegiatan audit, serta acuan dalam penilaian kinerja portofolio.
Advertisement