Liputan6.com, Jakarta - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami tekanan berat pada perdagangan Kamis, 6 Februari 2025. IHSG turun 2,12 persen ke posisi 6.875,54 sementara indeks saham regional yang justru bergerak menguat.
Pasar tampaknya merespons dengan kekhawatiran tinggi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia setelah rilis data Produk Domestik Bruto (PDB) 2024 yang mencatatkan angka 5,03%, lebih rendah dibandingkan pencapaian tahun sebelumnya sebesar 5,05%, dan jauh dari 5,31% pada 2022.
Advertisement
Data ini memicu sentimen negatif di pasar, terutama karena tren perlambatan ekonomi mulai terasa nyata di tengah berbagai tekanan global dan kebijakan domestik yang berpotensi menghambat laju pertumbuhan ke depan.
Advertisement
Di samping itu, Pengamat pasar modal sekaligus Founder Stocknow.id, Hendra Wardana mengatakan, kebijakan efisiensi APBN dan APBD yang dituangkan dalam Instruksi Presiden No. 1/2025, yang menargetkan pemangkasan belanja sebesar Rp 306 triliun, menjadi faktor lain yang membuat investor cemas.
“Konsumsi pemerintah merupakan salah satu motor utama pertumbuhan ekonomi, dan langkah efisiensi ini dikhawatirkan akan memperlambat ekspansi ekonomi lebih lanjut. Investor semakin khawatir bahwa kebijakan ini, meskipun bertujuan menjaga stabilitas fiskal, justru akan berdampak pada daya beli masyarakat dan investasi di sektor riil,” kata Hendra, Jumat (7/2/2025).
Saham Perbankan KO
Di sisi lain, tekanan terbesar datang dari saham-saham perbankan papan atas yang kompak melemah setelah laporan kinerja kuartal IV-2024 menunjukkan perlambatan pertumbuhan laba secara kuartalan (QoQ). Bank Central Asia (BBCA), yang mencatatkan pertumbuhan laba 12,7% YoY, justru mengalami penurunan laba 3,1% QoQ, sementara Bank Negara Indonesia (BBNI) hanya tumbuh 2,7% YoY, tetapi tergerus 8% QoQ.
Kondisi yang lebih berat dialami Bank Mandiri (BMRI), di mana pertumbuhan laba hanya 1,3% YoY, namun merosot 11% QoQ. Data laba dari Bank Rakyat Indonesia (BBRI) masih ditunggu, namun pasar sudah bereaksi negatif terhadap tren pelemahan di sektor ini.
“Koreksi tajam pada saham perbankan tidak bisa dihindari karena sektor ini memiliki bobot besar dalam IHSG, sehingga tekanan jual semakin dalam dan menyeret indeks turun lebih tajam dibandingkan bursa regional,” ulas Hendra.
Bursa Regional
Sementara IHSG tertekan, indeks saham di kawasan Asia justru bergerak menguat. Pasar global saat ini tengah merespons data ekonomi Amerika Serikat yang melemah, di mana PMI non-manufaktur AS turun dari 54,0 pada Desember menjadi 52,8 pada Januari, menandakan perlambatan ekonomi yang bisa mempercepat keputusan The Fed untuk menurunkan suku bunga. Harapan terhadap pemangkasan suku bunga The Fed menjadi katalis positif bagi pasar global, terutama karena imbal hasil obligasi AS mulai turun, yang berpotensi mendorong aliran dana ke aset-aset berisiko seperti saham.
Selain itu, meredanya ketegangan perang dagang AS-China setelah munculnya harapan diskusi antara Presiden Donald Trump dan Presiden Xi Jinping juga menjadi angin segar bagi pasar Asia.
Advertisement
Nasib IHSG dan Rekomemdasi Saham
Melihat kondisi ini, tekanan pada IHSG diperkirakan masih bisa berlanjut dalam beberapa hari ke depan, terutama jika belum ada katalis positif yang mampu mengimbangi sentimen negatif dari dalam negeri. Namun, peluang bisa mulai muncul jika investor melihat koreksi yang terjadi sudah cukup dalam dan mulai mencari saham dengan valuasi menarik.
“Beberapa saham yang masih layak dicermati di tengah tekanan pasar antara lain SCMA dengan target 199, ACES dengan target 830, dan BRIS yang memiliki target 3.130,” sebut Hendra.
Investor disarankan untuk tetap berhati-hati dalam mengambil keputusan investasi dalam jangka pendek, sembari mencermati perkembangan global dan arah kebijakan ekonomi domestik yang bisa menjadi penentu utama pergerakan IHSG ke depan.
![Loading](https://cdn-production-assets-kly.akamaized.net/assets/images/articles/loadingbox-liputan6.gif)