Goldman Sachs Ramal Wall Street Koreksi, Ini Penyebabnya

Analis di Goldman Sachs, Scott Rubner memperkirakan saham Wall Street berisiko mengalami koreksi. Simak selengkapnya.

oleh Natasha Khairunisa Amani Diperbarui 23 Feb 2025, 18:00 WIB
Diterbitkan 23 Feb 2025, 18:00 WIB
Wall Street
Pedagang bekerja di New York Stock Exchange, New York, 10 Agustus 2022. (AP Photo/Seth Wenig, file)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta - Analis di Goldman Sachs, Scott Rubner memperkirakan saham Wall Street akan mengalami koreksi karena gejolak di pasar opsi.

Mengutip US News, Minggu (22/2/2025) Rubner mengatakan dalam sebuah catatan bahwa derivatif pasar saham AS senilai USD 2,7 triliun akan berakhir pada Jumat, yang jika tidak dilaksanakan akan memberi tekanan pada pasar saham dan memicu volatilitas.

Pada hari Selasa 18 Februari 2025, posisi S&P 500 dan pasar saham Eropa sempat mencapai rekor tertinggi, tetapi sejak itu menurun di tengah peringatan kebijakan tarif terbaru  Presiden AS Donald Trump pada farmasi, chip semikonduktor, dan kayumemperburuk kekhawatiran akan perang dagang hingga membuat investor gelisah.

Pembelian saham mungkin melambat karena alasan lain juga, menurut Rubner.

Salah satunya, pedagang eceran di AS melakukan perdagangan yang lebih sedikit karena harus membayar pajak tahunan, dan arus rata-rata dari dana pensiun ke reksa dana dan dana yang diperdagangkan di bursa biasanya berkurang pada bulan Maret, kata Rubner.

"Sekitar USD 2,7 triliun opsi ekuitas, atau derivatif yang memungkinkan pedagang bertaruh bahwa saham akan mencapai harga tertentu, akan berakhir pada hari Jumat," demikian catatan Goldman.

Derivatif ini mencakup taruhan pada S&P 500, serta dana yang diperdagangkan di bursa AS dan saham tunggal.

"Bank dan perantara yang membantu memasang taruhan ini memiliki lebih dari USD 9 miliar lindung nilai terhadap perdagangan ini. Posisi ini telah bertindak sebagai peredam volatilitas, mendukung kelemahan dan meredam reli," bebernya.

 

Aksi Jual yang Besar

Pasar Saham AS atau Wall Street.Unsplash/Aditya Vyas
Pasar Saham AS atau Wall Street.Unsplash/Aditya Vyas... Selengkapnya

Dan Izzo, pendiri dana lindung nilai BLKBRD Asset Management dan mantan pedagang bank, mengungkapkan bahwa, jika nvestor tidak kembali untuk memperbarui taruhan opsi mereka, maka perantara juga harus melepas dana lindung nilai mereka.

"Itu berarti tekanan sesaat yang besar. Risiko yang lebih besar adalah jika tidak ada yang mau membeli dampak itu, kita bisa melihatnya memicu aksi jual yang lebih besar," kata Izzo.

IHSG Melambung 2,48 Persen pada 17-21 Februari 2025, Ini Sentimennya

Terjebak di Zona Merah, IHSG Ditutup Naik 3,34 Poin
Layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di BEI, Jakarta, Rabu (16/5). Sejak pagi IHSG terjebak di zona merah. (Liputan6.com/Angga Yuniar)... Selengkapnya

Laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat signifikan pada periode 17-21 Februari 2025. Penguatan IHSG ini dinilai didukung neraca perdagangan Indonesia.

Mengutip data Bursa Efek Indonesia (BEI), ditulis Sabtu (22/2/2025), IHSG melonjak 2,48 persen ke posisi 6.803 pada 17-21 Februari 2025. Pekan lalu, IHSG turun 1,5 persen ke posisi 6.638.

Kenaikan IHSG juga diikutp kapitalisasi pasar bursa. Kapitalisasi pasar bursa melonjak 3,37 persen menjadi Rp 11.786 triliun dari pekan lalu Rp 11.401 triliun.

Selain itu, rata-rata volume transaksi harian bursa melambung 18,99 persen menjadi 18,38 miliar saham dari 15,45 miliar saham pada pekan lalu.

Rata-rata frekuensi transaksi harian bursa melonjak selama sepekan. Rata-rata frekuensi transaksi harian bursa naik 6,17 persen menjadi 1,23 juta kali transaksi dari 1,16 juta kali transaksi pada pekan lalu.

Selama sepekan, rata-rata nilai transaksi harian bursa merosot 3,74 persen menjadi Rp 11,78 triliun dari Rp 12,24 triliun pada pekan lalu. Sepanjang 2025, investor asing jual saham Rp 11,68 triliun.

Analis PT MNC Sekuritas, Herditya Wicaksana menuturkan, selama sepekan IHSG naik 2,48 persen yang didorong sejumlah faktor. Pertama, rilis data neraca dagang Indonesia yang masih surplus. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan neraca perdagangan Indonesia surplus USD 3,45 miliar pada Januari 2025.  Di sisi lain, suku bunga acuan tetap 5,75 persen. Kedua, pergerakan nilai tukar rupiah yang masih cenderung tertekan terhadap dolar Amerika Serikat.

"Ketiga, perkembangan dari pertemuan FOMC, di mana diperkirakan cenderung berhati-hati dalam penerapan kebijakan moneter ke depannya sembari mencermati dan mempertimbangkan terhadap beberapa rilis data yang akan datang, tetapi demikian secara konsensus diperkirakan the Federal Reserve (the Fed) masih akan cenderung pertahankan suku bunga acuan,” ujar Herditya saat dihubungi Liputan6.com.

Keempat, aliran dana investor asing yang keluar dari IHSG masih cenderung besar dan diperkirakan masih mencapai Rp 1 triliun. Sepanjang 2025 saja, investor asing jual saham Rp 11,68 triliun.

Pada pekan depan, Herditya prediksi IHSG berpeluang naik dengan level support di 6.656 dan level resistance 6.932. Pergerakan IHSG masih akan dipengaruhi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

"Kedua, ada rilis data GDP dan PCE AS," kata Herditya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya